JAKARTA – Memori hari ini, 25 tahun yang lalu, 12 Februari 1998, aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Ribka Tjiptaning Proletariyati membentuk Komite Pendukung Megawati (KPM). Gerakan KPM pun diresmikannya di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta.
Kehadiran KPM menjelma sebagai ruang kaum miskin kota hingga mahasiswa mendukung penuh Megawati Soekarnoputri untuk jadi Presiden Indonesia yang baru. Sebab, mereka percaya Megawati adalah simbol perlawanan wong cilik.
Dunia perpolitikan Indonesia dibuat gempar pada 1993. Pemerintahan Orde Baru (Orba), utamanya. Kegemparan itu bermuara pada Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya. Hasil KLB itu mendaulat anak kedua Soekarno, Megawati yang notabene anak baru di politik Indonesia sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kala itu, Soeharto dan Orba laksana mendapatkan penantang serius. Kepemimpinan Megawati di PDI dielu-elukan oleh segenap rakyat Indonesia. Figurnya dianggap dapat membawa harapan baru. Suatu harapan supaya Indonesia tak lagi dipimpin oleh rezim otoriter.
Orba merasa terganggu dengan kehadiran Megawati. Empunya kuasa bersiasat. Mereka membuat KLB baru di Medan pada 1996. KLB itu memenangkan Soerjadi sebagai ketua Ketua Umum PDI yang sah. Sedang status kubu Megawati dianggap tidak sah.
Puncak dualisme itu membuat simpatisan Megawati diteror. Kubu Megawati yang mendiami markas ‘Banteng’ di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta pusat diserang simpatisan kubu Soerjadi yang didukung unsur militer Orba.
Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai Peristiwa 27 Juli 1996 atau disingkat Kudatuli. Semenjak itu simpati kepada Megawati meningkat. Segenap rakyat Indonesia mendukungnya. Aktivis PRD, Ribka Tjiptaning, salah satunya.
“PDI adalah satu-satunya partai yang berani menentang rezim Orba. Sedangkan dua partai lainnya ada dalam kendali pemerintah. Megawati adalah lambang perlawanan rakyat terhadap kesewenang-wenangan Orba. Rakyat yang ada di pihak Megawati. Karena itu, peristiwa Kudatuli justru membuat dukungan rakyat semakin besar dan meluas.”
“Rakyat bersimpati pada keluarga Bung Karno yang sejak dulu ditindas oleh Orba, terutama Megawati yang menjadi ketua partai. Pemerintah berusaha membungkam perjuangan Megawati dan para pengikutnya. Namun, usaha itu tidak membuahkan hasil bahkan semakin membuat nama Megawati semakin berkibar,” ungkap Ribka Tjiptaning dalam buku Megawati: Anak Putra Sang Fajar (2012).
Simpati Ribka (yang kemudian jadi politikus PDI Perjuangan) terus berlanjut. Baginya, Megawati sudah selayaknya menjadi pemimpin Indonesia. Kepemimpinan Megawati yang tidak mudah dipengaruhi orang lain jadi muara. Itulah yang membedakan Megawati dengan orang lain.
Ia dan kawan-kawannya pun berinsiatif membentuk KPM. Gerakan itu diresmikannya di kantor YLBHI, Jakarta pada 12 Februari 1998. Gerakan ini memiliki keinginan supaya Megawati dapat menjelma sebagai orang nomor satu Indonesia yang baru.
Dukungan kepada KPM pun terus mengalir. Apalagi KPM tak membatasi anggotanya dari mana saja. Dari kaum miskin kota, buruh, hingga mahasiswa. KPM lalu segera muncul diberbagai daerah. Sedang ditingkat nasional, Ribka sendiri yang memimpin.
“KPM, Komite Pendukung Megawati yang sangat fanatik dan notabene beranggotakan kaum miskin kota, serta beberapa organisasi mahasiswa independen,” terang Anders Uhlin dalam tulisannya di Jurnal Wacana berjudul Demokrasi di Indonesia: Peluang dan Hambatan (1999).