JAKARTA - Hidup di era penjajahan Belanda tak mudah. Kaum bumiputra -umat Islam terutama- tak melulu berjuang merebut kemerdekaan, tapi juga melawan kebodohan. Kiai Haji (K.H.) Abdul Wahab Hasbullah menyadari hal itu. Baginya pendidikan adalah senjata melawan penjajahan.
Ia pun membangun Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), kemudian Nahdlatul Ulama (NU) bersama gurunya, K.H. Hasyim Asy’ari. Karenanya, NU tumbuh menjadi organisasi besar yang membawa nyawa pembaruan pendidikan dan Islam.
Penyebaran Islam cukup masif di Nusantara. Agama ‘impor’ itu dapat menjelma menjadi kepercayaan yang paling banyak dianut kaum bumiputra. Saban hari praktek agama Islam dilakukan dengan totalitas. Bahkan, kebanyakan kaum bumiputra lebih memilih belajar agama dan naik haji ke Makkah, ketimbang belajar di sekolah Eropa.
Ulama kesohor Kiai Wahab yang notabene murid K.H. Hasyim Asy’ari ikut melestarikan ibadah haji itu. ia berangkat ke Makkah dengan tujuan belajar agama. Namun, ia justru belajar banyak hal termasuk ranah perjuangan.
Semuanya karena ia mendapatkan informasi bahwa di Hindia-Belanda (kini: Indonesia) memiliki organisasi politik Islam pertama, Sarekat Islam. Ia bersama dengan K.H. Mas Mansoer dan ulama lainnya menggagas kehadiran Sarekat Islam cabang Makkah.
Tujuannya sebagai wabah perjuangan umat Islam di Makkah. Kiai Wahab pun pulang ke Nusantara pada 1913. Ia menetap di Surabaya dan menggagas organisasi sekolah Islam modern bersama K.H. Mas Mansoer pada 1916. Nadhlatul Wathan, namanya. Organisasi itu merupakan lembaga pendidikan agama yang bercorak nasionalis moderat pertama di Hindia Belanda.
“Tanpa mendesak perubahan metode pendidikan di pesantren yang sebagian besar menggunakan sistem halakah, Kiai Wahab Hasbullah melalui Nahdlatul Wathan mendirikan madrasah yang memakai sistem sekolah. Lebih jauh, berbeda dengan pesantren yang sepenuhnya di bawah kontrol seorang kiai sebagai satu-satunya tokoh utama, madrasah Nahdlatul Wathan diatur oleh tim, Kiai Wahab Hasbullah selaku pengawas para guru dan Kiai Mas Mansoer sebagai direktur madrasah.”
“Perhatian utama Nahdlatul Wathan adalah pendidikan umat Islam. Dalam lima tahun organisasi ini menunjukkan kemajuan yang berarti, dengan membentuk cabang di sejumlah kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang semuanya mengelola madrasahnya masing-masing,” ungkap Djohan Effendi dalam buku Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi (2010).
Kelahiran Nahdlatul Ulama
Ambisi K.H. Wahab mencerdaskan anak bangsa terus menyala. Ia tak henti-hentinya menelurkan organsasi mewadahi ragam kegiatan umat Islam. Ia menginisiasi hadirnya organisasi pemuda muslim, Sjubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), hingga Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan para Pedagang).
K.H. Wahab pun enggan berpuas diri dengan kehadiran banyak organisasi bentukannya. Apalagi kemudian, ia dan K.H. Mas Mansoer berbeda fokus. K.H. Mansoer menjadi bagian dari Muhammadiyah. Sedang K.H. Wahab tetap pada pendiriannya dalam lajur Islam tradisional. Keduanya pun menjalankan sekolahnya sendiri-sendiri.
Semenjak itu K.H. Wahab ingin membuat organsasi dengan cangkupan yang lebih luas. Ia ingin merangkul segenap ulama-ulama besar yang ada di Nusantara – Pulau Jawa terutama. Semuanya, supaya agenda mencerdaskan anak bangsa dapat dilakukan secara masif.
Ia pun menceritakan niatannya kepada gurunya, K.H. Hasyim Asy’ari. Kiai Wahab pun didukung penuh. Dukungan K.H. Hasyim Asy’ari mampu membuat segenap ulama-ulama yang ada ikut bergabung dalam merumuskan kelahiran organsasi islam yang membawa misi pembaruan pendidikan.
Alhasil, para kiai dan alim ulama berkumpul di kediaman K.H. Wahab di Surabaya untuk membentuk organsasi kemasyarakatan bercorak Ahlussunnah wal Jama’ah pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 Hijriah). Hari itu kemudian dikenang sebagai hari lahir Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama).
Organisasi yang kemudian dikenal dengan NU dibentuk dengan tujuan mengakomodasi kepentingan-kepentingan lembaga pendidikan seperti pesantren di Jawa. Jawa Timur terutama. K.H. Hasyim Asy’ari pun didaulat sebagai pemimpin pertama NU.
BACA JUGA:
Kepemimpinan penuh kesan. Berkat K.H. Hasyim dan muridnya, K.H. Wahab, NU pun eksis hingga kini. Bahkan, usia NU dapat mencapai satu abad pada 7 Februari 2023 (16 Rajab 1444 Hijriah), bukan pada 31 Januari 2023. Semuanya karena NU mengikuti kalender Islam, bukan kalender Masehi.
“Pada 1924, Kiai Hasyim tampaknya belum melihat perlunya mendirikan organisasi semacam itu dan tidak memberikan persetujuannya. Akan tetapi, setelah penyerbuan Ibn Sa'ud atas Makkah, dia berubah pikiran dan menyetujui perlunya dibentuk sebuah organisasi baru pada 1926.”
“Dia kemudian menulis, sebagai pembukaan Anggaran Dasar NU, sebuah risalah berbahasa Arab. Dalam risalah ini ia mengutip beberapa ayat Al Quran yang menyerukan umat Islam bersatu dan ditutup dengan pernyataan bahwa pembentukan sebuah organsasi untuk membela Islam merupakan konsekuensi logis dan perlu dari perintah-perintah ilahi tersebut,” terang Martin van Bruinessen dalam buku NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994).