Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 14 tahun yang lalu, 29 Januari 2009, politikus Andi Mappetahang Fatwa atau A.M. Fatwa dianugerahi penghargaan Pejuang Anti Kezaliman oleh Pemerintah Iran. Penghargaan itu diberikan langsung oleh Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad di Teheran.

Pemerintah Iran menganggapnya sebagai sosok yang bernyali tinggi melawan ketidakadilan. Sebelumnya, A.M. Fatwa dikenal luas sebagai pejuang politik yang pernah berdiri melawan ketidakadilan di dua rezim. Rezim Orde Lama dan Orde Baru (Orba).

Tindak-tanduk A.M. Fatwa dalam dunia politik tak perlu diragukan. Sosok bahkan pernah tercatat sebagai aktivis mahasiswa Angkatan 66. Ia bersama mahasiswa lainnya menentang keras kepemimpinan Soekarno.

Kepemimpinan Soekarno dinilai egois. Perkara proyek mercusuar yang digelorakan Soekarno kerap mengorbankan rakyat. Sikapnya yang kritis pun membuatnya dipenjara selama enam bulan pada 1963. Penjara tak membuatnya kapok. Bahkan, ia bergerak turun ke jelan dengan mahasiswa lain sampai Soekarno lengser.

Ia pun mendukung Jenderal Soeharto menjadi pengganti Bung Karno. A.M. Fatwa menganggap kehadiran The Smiling General mampu membawa secerah harapan. Nyatanya, kepemimpinan Soeharto tak jauh beda dari Bung Karno. Malahan Soeharto jauh lebih ambisius. Soeharto dikenal antikritik.

A.M. Fatwa saat menerima penghargaan dri Pemerintah Iran yang disematkan oleh Presiden Mahmoud Ahmadinejad pada 29 Januari 2009. (Istimewa)

Ia segera melawan Soeharto dan Orba. Ia bahkan berulang kali dijebloskan penjara. Namun, ia tak menyerah. Puncaknya ia bergabung dengan gerakan Petisi 50. Sebuah gerakan yang menentang keras Soeharto menyalagunakan Pancasila untuk memukul mundur lawan politiknya. Ia mendukung pula gerakan yang Abdurrahman Wahid (Gud Dur) gagas.

“Cuma kita sekarang sedang memupuk kebersamaan, setidak-tidaknya dalam citra, justru untuk menetralisir anggapan salah satu pihak tertentu terhadap Petisi 50. Dan yang jelas, tokoh Petisi 50 selalu mendukung, juga merasa bertambah mitra berbobot dengan lahirnya Forum Demokrasi.”

“Kiranya Gus Dur juga masih ingat bahwa Pak Yusuf Hasyim itu bersama sejumlah tokoh NU (paling banyak) dari 19 anggota DPR yang mengajukan pertanyaan kepada Presiden soal Petisi 50, yang dengan itu makin terangkat bobot Petisi 50, sebagai isu nasional yang sekaligus mematerikan suatu tahap perjuangan demokrasi di Indonesia dan telah menjadi sejarah,” tulis A.M. Fatwa dalam suratnya kepada Gus Dur, 1 Februari 1992 sebagaimana dikutip buku Menggugat dari Balik Penjara: Surat-Surat Politik A.M. Fatwa (2004).

Jatuh bangun melawan ketidakadilan tak membuat A.M. Fatwa gerah berpolitik. Di era reformasi pun ia bergerak membangun mesin politiknya. Partai Amanat Nasional (PAN), namanya. Ia pun masuk gelanggang politik Senayan sebagai Anggota DPR-RI dari PAN.

Langkah A.M. Fatwa yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI dikagumi banyak orang. Idealisme membela rakyat membuat Pemerintah Iran kepincut. Sebagai apresiasi, A.M. Fatwa akan diberikan penghargaan di Teheran.

Prosesi pemakaman A.M. Fatwa di TMP Kalibata pada 14 Desember 2017. (Antara/Galih Pradipta)

Presiden Iran, Ahmadinejad pun turun langsung memberikan penghargaan Pejuang Anti Kezaliman kepada A.M. Fatwa pada 29 Januari 2009. Orang nomor satu Iran itu mengaggap A.M. Fatwa sebagai tokoh yang langka di dunia. Apalagi jalan hidupya menentang ketidakadilan di era Orde Lama dan Orde Baru dikagumi banyak pihak. Sebab, perannya mampu menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

“Proses reformasi juga mendorong berlangsungnya rekosiliasi antara pendukung rezim lama dengan kelompok reformasi yang membuat Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga,” ungkap A.M. Fatwa sebagaimana dikutip laman Antara sehari setelahnya, 30 Januari 2009.

Lahir di Bone, Sulawesi Selatan pada 12 Februari 1938, A.M Fatwa meninggal dunia di Jakarta pada 14 Desember 2017 karena penyakit kanker hati. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan.