Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 15 tahun yang lalu, 9 Januari 2009, Pemerintah Malaysia merestui Indonesia untuk membangun Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang kedua di Putrajaya. Restu itu didapat setelah Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Kedubes Malaysia di Jakarta berjumpa.

Sebelumnya, keinginan Malaysia memiliki pusat pemerintahan tanpa memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) gemilang. Kuala Lumpur tetap jadi IKN, sedangkan Putrajaya jadi pusat pemerintahan yang baru.

Kuala Lumpur (KL) pernah dianggap tak layak lagi sebagai IKN. Perkembangan KL yang terlampau cepat jadi musababnya. Sekalipun narasi itu membuat KL jadi simbol kemajuan dan modernitas Malaysia. Masalah baru pun muncul. Pemerintah Malaysia tak memiliki ruang lagi untuk membangun.

Kondisi itu diperparah oleh ragam masalah yang hadir di KL. Banjir, kepadatan penduduk, kemacetan, hingga polusi udara. Perdana Menteri Malaysia (PM) Mahathir Mohamad ambil sikap. Ia memilih tak ingin mengganti KL sebagai IKN.

Ia hanya ingin memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan yang lebih luas lagi. Ide pembangunan pun disetujui Parlemen Malaysia pada 1993. Opsi mencari pusat pemerintahan baru dilakukan. Kawasan Prang Besar yang tak jauh dari KL dipilih. Matathir pun mengubah nama Prang Besar jadi Putrajaya.

Suasana jalan raya di Putrajaya, Malaysia. (Pixabay)

Mega Proyek Putrajaya mulai dibangun pada 1995. Pembangunan itu meliputi fasilitas penunjang pemerintahan, transportasi, dan kesehatan. Pemerintah Malaysia kemudian mulai menempati Putrajaya pada 1999.

Perlahan-lahan staf pemerintahan mulai pindah ke Putrajaya. Semenjak itu Putrajaya dikenal efektif sebagai pusat pemerintahan Malaysia yang baru.

“Kota yang rapi dan terorganisir ini menjadi puncak pencapaian PM Mahathir, sebuah warisan setelah 18 tahun berkuasa. Lokasi kota baru ini memiliki arti penting bagi Mahathir. Beliaulah yang membantu mengubah Malaysia dari negara yang bergantung pada komoditas – minyak sawit, karet, dan timah.”

“Malaysia di bawahnya menjadi negara dengan salah satu perekonomian paling terdiversifikasi dan dinamis di Asia. PM Mahathir juga meresmikan daftar panjang mega proyek: di antaranya bandara internasional Kuala Lumpur dan gedung tertinggi di dunia, Menara Petronas,” tulis Thomas Fuller dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Malaysia Shy About Cost as a Grand New City Arises (1999).

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, Malaysia. (Antara/Raffiudin)

Kehadiran Putrajaya membuat Malaysia aktif mengajak bangsa-bangsa lainnya untuk pindah berkantor di Putrajaya. Indonesia, utamanya. Pemerintah Malaysia memahami benar jika Indonesia telah memilih KBRI di KL.

Namun, pemerintah Malaysia justru terus menawarkan kepada Indonesia untuk membangun KBRI yang kedua di Putrajaya. KBRI di Kuala Lumpur tetap dan akan menjadi pusat pelayanan keimigrasian dan ketenagakerjaan. Sedangkan rencana kehadiran KBRI di Putrajaya lebih pada pemerintahan atau politik.

Dukungan itu kemudian diutarakan langsung oleh Dubes Malaysia,Zainal Abidin Mahamad Zain. Ia mewakili pemerintah Malaysia berjumpa dengan perwakilan Kemenlu memberikan restu membangun KBRI baru di Putrajaya pada 9 Januari 2009. Sekalipun keinginan itu masih dalam tahap perencanaan hingga kini.

“Selanjutnya dalam kesempatan pertemuan antara Kedubes Malaysia dan Kementerian Luar Negeri RI pada tanggal 9 Januari 2009, pihak Malaysia menyampaikan bahwa pemerintahnya telah memberikan dukungan penuh dan fasilitasi yang diperlukan dalam pembangunan Kantor Perwakilan RI yang baru di Kawasan Putrajaya,” ungkap Arif Sumantri Harahap dalam buku Invisible Diplomacy: The Untold Story Behind The Career of An Indonesian Diplomat (2022).