Bagikan:

JAKARTA - Ambisi Mahathir Mohamad mengembangkan Malaysia tak berjalan mulus. Ide-idenya kerap dianggap kontroversial. Opsi membangun pusat pemerintahan baru di Putrajaya, misalnya. Kritik mendatanginya. Perdana Menteri (PM) Malaysia itu tak peduli.

Ia ngotot memindahkan pusat pemerintahan hingga berhasil. Mahathir tak ambil pusing dengan nada miring pembangunan Putrajaya. Mahathir kemudian memilih Kuala Lumpur tetap jadi Ibu Kota Negara (IKN). Namun, pusat pemerintahan dialihkan ke Putrajaya. Opsi itu berjalan efektif.

Eksistensi Kuala Lumpur sebagai IKN telah berlangsung sejak lama. Kondisi itu telah hadir saat penjajah Inggris berkuasa di Malaysia. Kuala Lumpur dianggap sebagai pusat kekuasaan yang strategis.

Imbasnya ke mana-mana. Citra Kuala Lumpur sebagai pusat kegiatan ekonomi dan politik mengemuka. Orang-orang pun berdatangan ke Kuala Lumpur untuk mengadu nasib. Perputaran uang dan lapangan pekerjaan yang besar jadi muaranya.

Mahathir Mohammad, sosok yang pernah menjabat sebagai PM Malaysia ke-4 (1981-2004) dan PM Malaysia Ke-7 (2018-2020). (Wikimedia Commons)

Narasi itu membuat Kuala Lumpur kian berkembang pesat. Apalagi, kala Malaysia merdeka. Pembangunan bak tersentral di Kuala Lumpur. Kuala Lumpur jadi simbol kemajuan dan modernitas Malaysia. Pandangan itu diamini banyak orang. Namun, tidak oleh Mahathir Mohamad.

Sosok yang kemudian dikenal sebagai PM Malaysia ke-4 merasa Kuala Lumpur sudah tak laik berdiri sendiri sebagai IKN. Ragam permalasalahan ada di baliknya. Banjir, kepadatan penduduk, kemacetan, hingga polusi udara.

Kondisi itu membuat narasi Kuala Lumpur jadi simbol Negeri Jiran diremehkan dunia. Mahathir pun tak ingin kondisi itu berlarut-larut. Ia beride supaya Malaysia mulai memikirkan pemindahan pusat kekuasaan supaya efektif pada 1980-an.

Usulan Mahathir dipertimbangkan Parlemen Malaysia. Empunya kuasa pun mulai survei lokasi yang tepat untuk pemerintahan yang baru. Alih-alih hanya satu wilayah saja dijadikan opsi, rencana wilayah yang jadi pilihan ada banyak. Wilayah itu adalah North West Rawang, Janda Baik/Bukit Tinggi, North Port, Dickson, Sepang Coast, Kanaboi, dan Prang Besar.

Kantor Perdana Menteri Malaysia di Putrajaya. (Wikimedia Commons)

Pemeritah Malaysia mengambil pilihan. Mereka memilih Prang Besar sebagai lokasi pusat pemerintahan baru. Mahathir pun mengubah nama Prang Besar jadi Putrajaya.

“Akhirnya, Prang Besar dipilih oleh pemerintah Malaysia. Alasannya, daerah itu lebih memenuhi syarat: biaya akuisisi tanah dan infrastruktur lebih murah, lokasi yang strategis, akses yang baik ke jaringan transportasi utama (kereta api, jalan raya dan pelabuhan).”

“Lokasi itu berpotensi memberikan dampak positif kepada daerah sekitarnya, adanya vegetasi alami dan konjungtur tanah yang menunjang, serta minimnya dampak negatif kepada masyarakat lokal. Kawasan Prang Besar saat itu adalah ladang perkebunan kelapa sawit seluas 4.931 hektar yang terpencil dan minim penduduk di negara bagian Selangor,” terang Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sumarno dalam penelitiannya berjudul Pelajaran dari Malaysia dalam Pemindahan Ibu Kota Negara (2020).

Bangun Putrajaya

Ide Mahathir membangun Putrajaya sebagai pusat pemerintahan disetujui Parlemen Malaysia pada 1993. Parlemen Malaysia sepaham dengan Mahathir menganggap bahwa Kuala Lumpur sudah tak dapat menampung urusan pemerintahan. Sekalipun sebagai pusat ekonomi masih mampu.

Proyek mercusuar Putrajaya digulirkan. Matathir senang bukan main. Apalagi dalam bahasa Melayu, Putra berarti pangeran yang mulia, serta jaya membawakan narasi kejayaan. Karenanya, Putra Jaya diharapkan dapat membawa kejayaan baru bagi Malaysia yang akan datang.

Rencana pembangunan pun rangkum. Mega proyek Putrajaya mulai dibangun pada 1995. Tenaga kerja banyak didatangkan dari Bangladesh dan Indonesia. Badan Pengelolaan pembangunan kota pun dibentuk. Putrajaya Corporation, namanya.

Putrajaya pun mengusung konsep pembangunan Kota Taman Cerdas. Corak pembangunannya bernuansa ala peradaban Malaysia dan Islam. Pembangunan meliputi segala fasilitas penunjang pemerintahan. Dari kantor kementerian hingga fasilitas pendukung lainnya – sekolah, rumah sakit, dan hiburan.

Uang pembangunan berasal dari APBN dan kas investasi. Kondisi itu membuat badai kritikan datang. Proyek itu disebut sebagai pemborosan. Padahal, kondisi ekonomi Malaysia sedang tidak baik-baik saja. Orang-orang menyebut pemindahan kekuasaan bukan waktu yang sebentar. Proyek Putrajaya saja diramalkan akan rangkum secara paripurna dalam waktu 15 tahun.

Pemandangan ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur di malam hari. (Wikimedia Commons)

Mahathir bersiasat meredam kritikan. Pembangunan Putrajaya dilanggengkan secara 'diam-diam.' Alias, tak sampai menarik perhatian media. Sebab, pembangunan itu dapat berpotensi gagal. Hasilnya gemilang. Pemerintah Malaysia mulai menempati Putrajaya sebagai pusat pemerintahan pada 1999 setelah beberapa bangunan rangkum.

Mahathir pun segera berkantor di Putrajaya bersama dengan 300 orang staf PM Malaysia tahap pertama pada 1999. Semenjak itu Mahathir mulai menggelorakan narasi bahwa Kuala Lumpur tetap jadi IKN. Sedang Putrajaya jadi pusat pemerintahan.

Keputusan itu membuat Malaysia bak memiliki dua IKN mulai mendatangkan pujian. Malaysia jadi contoh negara-negara ASEAN lainnya dalam hal pemerataan pembangunan tak harus pindah IKN. Apalagi, jarak Kuala Lumpur dan Putrajaya hanya berjarak 25 Kilometer.

Pejabat dapat dengan mudah datang dan pergi. Anak-anak mereka jadi dapat bersekolah di Kuala Lumpur. Kondisi itu membawa keuntungan yang besar. Semuanya karena roda pemerintahan jadi berfokus di Putrajaya tanpa ada gangguan seperti macet dan lain-lainnya.

“Kota yang rapi dan terorganisir ini menjadi puncak pencapaian PM Mahathir, sebuah warisan setelah 18 tahun berkuasa. Lokasi kota baru ini memiliki arti penting bagi Mahathir. Beliaulah yang membantu mengubah Malaysia dari negara yang bergantung pada komoditas – minyak sawit, karet, dan timah.”

“Malaysia di bawahnya menjadi negara dengan salah satu perekonomian paling terdiversifikasi dan dinamis di Asia. PM Mahathir juga meresmikan daftar panjang mega proyek: di antaranya bandara internasional Kuala Lumpur dan gedung tertinggi di dunia, Menara Petronas,” tulis Thomas Fuller dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Malaysia Shy About Cost as a Grand New City Arises (1999).