Bagikan:

JAKARTA - Ambisi Malaysia ingin memiliki dua Ibu Kota Negara (IKN) sekaligus dianggap revolusioner. IKN Kuala Lumpur sebagai pusat ekonomi. Sedang IKN yang baru, Putrajaya sebagai pusat administrasi. Rencana itu disetujui anggota DPR Malaysia.

Pucuk dicinta ulam tiba. Putrajaya mulai ditempati pada 1999. Namun, tak semua pejabat mau pindah ke Putrajaya. Anggota DPR yang paling mendukung rencana pendirian Putrajaya justu enggan pindah. Mereka tetap berkantor di Kuala Lumpur.

Mahathir Mohamad pernah ngebet ingin memindahkan IKN Malaysia pada 1986. Perdana Menteri Malaysia itu menganggap Kuala Lumpur tak lagi laik mengemban status sebagai IKN. Ragam masalah yang menahun di Kuala Lumpur jadi muaranya.

Banjir, padat penduduk, kemacetan, hingga polusi udara adalah beberapa di antaranya. Kondisi itu diperparah dengan tiada lagi tempat membangun gedung-gedung pemerintah dan fasilitas lainnya. Alih-alih mendapatkan dukungan penuh, rencana Mahathir banjir kritik.

Mahathir Mohammad, sosok yang pernah menjabat sebagai PM Malaysia ke-4 (1981-2004) dan PM Malaysia Ke-7 (2018-2020). (Wikimedia Commons)

Perihal pemindahan IKN dianggap tak efesien dan buang-buang uang. Mahathir tak lantas menyerah. Kritikan ditampungnya. Ia tak lagi ngebet mengganti IKN, melain Mahathir hanya ingin memindahkan pusat pemerintahan (administrasi) ke tempat yang baru.

Usulan Mahathir mulai dipertimbangkan anggota DPR Malaysia. Empunya kuasa pun mulai melirik lokasi baru. Opsi pun bermunculan. Wilayah yang diyakini dapat jadi lokasi mulai dari  North West Rawang, Janda Baik/Bukit Tinggi, North Port, Dickson, Sepang Coast, Kanaboi, dan Prang Besar.

Prang Besar pun terpilih. Mahathir kemudian mengubah nama Prang Besar jadi Putrajaya. Sebuah nama yang diambil dari  bahasa Melayu, Putra berarti pangeran yang mulia, serta Jaya membawakan narasi kejayaan.

Pembangunannya mendapatkan lampu hijau dari Parlemen Malaysia pada 1993. Mahathir pun membayangkan pembangunan Putrajaya dapat berjalan lancar sedari 1995. Namun, gonjang-ganjing krisis ekonomi sempat mengganggu pembangunan pada 1997.

Kantor Perdana Menteri Malaysia di Putrajaya. (Wikimedia Commons)

Mahathir tak mau proyek mercusuarnya lantas berhenti. Diam-diam proyek itu terus berlanjut. Hasilnya pun kelihatan. Mahathir lalu dengan bangga memperkenalkan Putrajaya sebagai pusat administratif IKN baru pada 1999.

“Meskipun Kuala Lumpur akan tetap menjadi pusat keuangan dan komersial, Putrajaya akan menjadi pusat pemerintahan dan fokus simbolis bagi negara. Keduanya terhubung dengan jalur angkutan cepat ringan. Putrajaya dimaksudkan sebagai kota mandiri yang mempekerjakan pegawai pemerintah federal dan mereka dalam posisi industri jasa untuk melayani mereka (juru masak, transportasi, pekerja, pembersih, tukang kebun, teknisi, dll).”

“Sebagai simbol proyek kesayangan Mahathir yang paling kuat dan mahal, Putrajaya tidak dapat dipisahkan dari mantan Perdana Menteri tersebut. Ini membuat Putrajaya sekaligus rentan terhadap kemungkinan pengabaian oleh pemimpin masa depan yang menentang Mahathir dan mega proyeknya dan sebagai model bagi kota-kota Malaysia di masa depan,” terang Sarah Moser dalam tulisannya di Jurnal Elsevier berjudul Putrajaya: Malaysia’s New Federal Administrative Capital (2009).

Parlemen Malaysia Tak Pindah

Empunya kuasa berpuas diri dengan sebagian besar pembangunan Putrajaya yang rangkum. Namun, hal berbeda justru dialami oleh pegawai pemerintahan. Banyak di antara mereka yang ogah pindah ke Putrajaya.

Penolakan itu muncul dengan ragam alasan. Suara yan paling nyaring karena fasilitas di Putrajaya terbatas, dari fasilitas pendidikan hingga kesehatan. Langkah itu diikuti oleh para duta besar negara-negara sahabat yang enggan memindahkan kantor kedutaannya.

Jangankan pegawai pemerintahan dan para duta besar, anggota DPR yang notebene mendukung kehadiran IKN baru justru enggan berkantor di Putrajaya. Mereka memutuskan tetap berkantor di Gedung Parlemen di Kuala Lumpur.

Gedung Parlemen Malaysia (sering disebut pula sebagai Gedung Dewan Rakyat Malaysia). (Wikimedia Commons)

Keengganan itu karena segenap anggota DPR menganggap Kuala Lumpur lebih strategis dibanding Putrajaya. Mereka pun berasumsi bahwa sebaik Putrajaya berfokus kepada urusan administrasi. Sedang Kuala Lumpur sebagai pusat kebijakan dan Parlemen Malaysia harus hadir di dalamnya.

Anggota DPR tak ingin berjarak dengan rakyat Malaysia. Selebihnya, tanpa kehadiran Gedung Parlemen di Putrajaya, pemerintah dapat berhemat banyak dana. Sederet alasan itu membuat anggota DPR tetap berkantor di Gedung parlemen Kuala Lumpur hingga hari ini.

“Dijadikannya Putrajaya sebagai pusat pemerintahan Malaysia sejatinya mengambil contoh Canberra, ibu kota yang menjadi pusat pemerintahan Australia. Bukan tanpa hambatan ketika kawasan ini baru dibangun. Hingga awal 2000, belum banyak pegawai pemerintahan yang berminat pindah dari Kuala Lumpur, meski sudah diperintahkan.”

“Jarak Kuala Lumpur ke Putrajaya sekitar 40 kilometer dan saat itu ditempuh dengan kendaraan pribadi sekitar 1,5 jam. Infrastruktur jalan dan transportasi belum memadai dan rawan akan penyakit malaria. Pada awal dibangun, sedikit pegawai yang mau pindah. Jauh dari mana-mana dan bahkan disebut daerah jin buang anak,” ujar Sukma Loppies dalam tulisannya di koran Tempo berjudul Kota yang Bermula dari Prang Besar (2019).