Bagikan:

JAKARTA - Sumatra Barat identik dengan rendang, rumah gadang, hingga budaya merantaunya. Sejumlah kota di provinsi ini tidak kalah terkenal, misalnya, Bukittinggi yang punya jam gadang, atau Padang yang pernah jadi kota pelabuhan terpenting di zaman kolonial.

Begitu pula Sawahlunto, kota yang berjarak sekitar 100 km dari Padang itu ternyata menyimpan keunikan tersendiri karena merupakan kota tambang batu bara terkenal pada zaman kolonial Belanda.

Gedung kantor utama PT Bukit Asam (Persero) Tbk Unit Pertambangan Ombilin (UPO) di Sawahlunto, Sumatra Barat. Gedung peninggalan Belanda itu pada 1916-1942 silam merupakan kantor perusahaan penambangan batu bara Ombilin atau Hoofdkantoor Ombilinmijn Sawahloento. (Antara/Ade Irma Junida)

Sawahlunto, tepatnya Ombilin, bahkan telah menyandang titel World Heritage alias Situs Warisan Dunia dari UNESCO atas warisan tambang batu bara bawah tanah terbesar dan tertua di Asia Tenggara pada 2019.

Warisan Budaya Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (WTBOS/Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto) dinilai sebagai contoh luar biasa dari teknologi awal yang dibangun para insinyur Eropa untuk menambang batu bara di wilayah koloni mereka.

Sejarah Penambangan Masa Kolonial

Eksploitasi batu bara di Ombilin dimulai saat Willem Hendrik De Greve menemukan potensi deposit tambang batu bara Ombilin pada 1868. Temuan "emas hitam" itu begitu diperjuangkan pemerintah kolonial Belanda yang kala itu sudah masuk masa revolusi industri.

Meskipun lokasinya susah diakses, Belanda berhasil membangun kawasan industri tambang batu bara bawah tanah di Ombilin. Negeri Kincir Angin butuh waktu sekitar 10 tahun untuk membangun infrastruktur tambang bawah tanah.

Selain membangun infrastruktur tambang, pengembangan tambang batu bara juga dilengkapi dengan transportasi yang khusus untuk membawa keperluan pembangunan tambang sekaligus pengangkut batu bara untuk dikirimkan ke tempat lain.

Jalur kereta api dari Padang menuju Sawahlunto pun mulai dibangun pada 1887. Namun, jalur yang dibangun bukan jalur rel kereta biasa lantaran kontur tanah di kawasan Lembah Anai, memiliki tingkat kecuraman ekstrem. Konstruksi khusus hingga mesin lokomotif bergerigi dibutuhkan untuk mengendalikan laju kereta api.

Tambang batu bara Ombilin, Sawahlunto, Sumatra Barat pada 1915. (Wikimedia Commons)

Bahkan, angkutan batu bara dibagi menjadi setidaknya tiga pergantian lokomotif. Pertama, dari Sawahlunto hingga Padang Panjang, dilanjutkan dari Padang Panjang hingga Kayu Tanam, dan kemudian dari Kayu Tanam menuju Padang. Pergantian lokomotif ini disesuaikan dengan kemampuan kereta api agar dapat menempuh jalur yang ada.

Setelah diangkut dari lokasi pertambangan, batu bara dibongkar dari rangkaian kereta di Silo Gunung, Padang, untuk dimuat ke kapal di Pelabuhan Teluk Bayur (dahulu disebut Emmahaven). Selain jadi tempat bongkar muat, silo tersebut dibangun pula sebagai gudang penyimpanan.

Selanjutnya, batu bara dibawa dengan kapal menuju tempat-tempat lain di Hindia Belanda, atau kemudian Indonesia, dan belahan dunia lain sebagai sumber energi yang menghidupkan industri dan transportasi.

Kisah Tragis “Orang Rantai”

Sayangnya, di balik peran batu bara yang telah menerangi Sawahlunto, masa penjajahan Hindia Belanda kala itu juga turut memberikan kisah pedih. Pasalnya, bongkahan batu bara dikeruk oleh para kuli kontrak, pekerja lepas, serta para tahanan tanpa nama yang disebut "orang rantai".

Sebutan "orang rantai" ditujukan untuk para tahanan yang dikirim langsung dari berbagai wilayah jajahan Hindia Belanda di Tanah Air untuk kerja paksa (rodi) di tambang Ombilin. Alih-alih nama, para tahanan yang dirantai selama kerja paksa itu ditandai dengan urutan nomor yang mereka bawa hingga akhir hayat.

Para pekerja rodi itu dipaksa untuk bekerja di dalam lubang bawah tanah yang gelap dan menyesakkan hingga mengembuskan napas terakhir. Mereka yang mencoba melarikan diri dihukum cambuk dan dipenjarakan. Bahkan, hingga kini, hanya batu nisan dengan identitas nomor saja yang tersisa dari sejarah orang rantai.

Pekerja tambang batu bara Ombilin, Sawahlunto yang biasa disebut sebagai "orang rantai". (KITLV Leiden)

Berdasarkan pernyataan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudrisktek), atas pertukaran teknologi pertambangan yang dilakukan Belanda di daerah jajahannya serta tantangan ekstrem alam yang dihadapi, UNESCO menilai pembangunan tambang batu bara Ombilin dan jalur kereta api merupakan sebuah "misi mustahil" yang berhasil ditunaikan.

Ada nilai universal luar biasa dalam proses pembangunan dan masa eksploitasi tambang batu bara berlangsung pada zaman kolonial. Dan, ketika tambang batu bara itu sudah berhenti, nilai universal itu tetap menjadi bagian dari sejarah Indonesia yang perlu dipelihara dan dimanfaatkan.

Pengelolaan Warisan Dunia

Situs cagar budaya wilayah tambang batu bara Ombilin Sawahlunto terbagi menjadi tiga area yaitu, Kota Tambang Sawahlunto; fasilitas dan infrastruktur perkeretaapian; dan fasilitas penyimpanan batu bara di Emmahaven atau Pelabuhan Teluk Bayur. Ketiga area tersebut tersebar di tujuh kota/kabupaten di Sumatra Barat.

Sebagai dukungan untuk menjaga aset warisan dunia itu, Pemerintah Kota Sawahlunto membentuk citra sebagai kota cagar budaya berbasis heritage. Hal itu dirumuskan dalam Visi Kota Sawahlunto sebagai "Kota Sawahlunto Tahun 2020 menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya" yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 2 Tahun 2001.

Dibutuhkan waktu sekitar 3,5 jam untuk sampai di Sawahlunto dari Bandara Internasional Minangkabau lewat jalur jalan raya Padang-Solok. Pemandangan hijau dengan kontur jalan berkelok jadi teman selama perjalanan menuju kota tambang tertua di Indonesia itu.

Lanskap hijau, teduh, dan berkelok masih akan ditemui sesampainya di Kota Sawahlunto. Maklum saja, nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata “Sawah” yang menggambarkan hamparan sawah dan kata “Lunto” yang diambil dari nama Sungai Batang Lunto yang mengelilingi daerah itu.

Pengangkutan batu bara menggunakan troli listrik di Tambang Ombilin, Sawahlunto. (Wikimedia Commons)

Tidak hanya asri, deretan bangunan yang berdiri di Sawahlunto punya ciri khas yang berbeda dengan bangunan di daerah Sumatra Barat lainnya yang identik dengan atap runcing.

Bangunan-bangunan berarsitektur khas Belanda, di Sawahlunto, utamanya di pusat kota, masih berdiri kokoh dan megah. Beberapa di antaranya telah dialih fungsi menjadi gedung perkantoran, hotel, sekolah, hingga museum.

Selain instagrammable, bangunan tua di Sawahlunto memang tidak boleh sembarangan dipugar.

Sebagai penyandang titel Situs Warisan Dunia, ada panduan khusus yang telah ditetapkan UNESCO agar warisan dunia itu tidak rusak dan tetap terjaga keasliannya.

Panduan itu antara lain, memahami nilai universal luar biasa situs; menjaga kelestarian situs dan lingkungan; tidak mengubah bentuk dan tampak bangunan asli; tidak menambah luas dan ketinggian bangunan asli, serta tidak melakukan pembangunan baru; serta berkoordinasi dengan instansi terkait dalam penanganan bangunan dan lingkungan.

Seorang pengunjung tengah berada di dalam terowongan tambang batu bara bawah tanah di Museum Lubang Tambang Mbah Soero di Sawahlunto, Sumatra Barat, Senin (4/3/2023). (Antara/Ade Irma Junida)

Total ada 119 unit cagar budaya di seluruh areal cagar budaya Ombilin, di mana sebanyak 68 unit di antaranya merupakan milik PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA) dan jadi objek pengelolaan BUMN batu bara tersebut.

Sejumlah gedung utama, di antaranya Hoofdkantoor Ombilinmijn Sawahloento yang kini menjadi gedung kantor utama PTBA Unit Pertambangan Ombilin (UPO); Woning 51 yang kini jadi Museum Tambang PTBA; Societiet Gluck Auf atau Gedung Pusat Kebudayaan; juga Keuken Ombilinmijnen atau dapur umum di zaman dahulu yang kini menjadi Museum Goedang Ransoem.

Ada pula Tunnel Soegar atau yang kini dijadikan sebagai Museum Lubang Tambang Mbah Soero serta Hotel KHAS Ombilin yang dahulu merupakan asrama tentara Belanda. Selain itu, juga ada Lubang Sawahluwung yang kini digunakan sebagai lokasi praktik kegiatan penambangan di bawah Balai Diklat Tambang Bawah Tanah (BDTBT) Kementerian ESDM.

Revitalisasi Aset BUMN

Sebagai pemilik dan pengelola sejumlah aset cagar budaya di Ombilin, PTBA mendukung penuh visi Sawahlunto sebagai destinasi wisata tambang yang berbudaya.

Pariwisata pascatambang yang memamerkan teknologi awal dan sejarah pertambangan diharapkan bisa memberikan pengetahuan dan pengalaman betapa teknologi Hindia Belanda di abad 18 sudah sangat visioner dan maju.

Guna mendukung visi Sawahlunto sebagai kota wisata tambang, General Manager Unit Pertambangan Ombilin PT Bukit Asam (Persero) Tbk Yulfaizon menjelaskan perseroan akan merevitalisasi gedung kantor utamanya menjadi hotel heritage berskala bintang empat. Pada 1916-1942 silam, gedung kantor utama PTBA itu merupakan kantor perusahaan penambangan batu bara Ombilin.

“Nantinya akan ada 11 kamar kelas presidential suite di gedung utama ini dan 33 kamar di gedung belakang gedung utama. Gedung belakang adalah gedung perencanaan yang dibangun tahun 1980-an dan bukan bangunan heritage sehingga bisa kami renovasi menjadi kamar-kamar,” katanya dikutip Antara.

Tidak hanya gedung kantor utama dan gedung perencanaan, upaya revitalisasi juga meliputi tiga bangunan lainnya, yaitu Wisma 14, Wisma 15, dan Wisma 16 yang berlokasi di kompleks KHAS Hotel, serta Gedung Pusat Kebudayaan (Societiet) yang sempat terbakar pada 2022.

Kota Sawahlunto dilihat dari ketinggian Puncak Sawah. (Wikimedia Commons)

Upaya revitalisasi aset merupakan langkah strategis yang dilakukan perusahaan itu untuk turut melestarikan dan memberdayakan potensi yang dimiliki demi mendukung visi Sawahlunto menjadi destinasi pariwisata unggulan.

Karena visi misi Sawahlunto menjadi kota wisata tambang berbudaya, maka dalam mendukung tujuan itulah pihaknya memberi dukungan, salah satunya pengadaan penginapan. Walaupun kini banyak homestay,  hotel berskala besar belum ada.

PTBA UPO sendiri telah mengantongi semua izin, termasuk kajian Heritage Impact Assesment (HIA) hingga uji kuat bangunan, untuk melakukan revitalisasi aset di kawasan cagar budaya UNESCO. Begitu pula kajian dari Kemendikbudristek soal ketentuan khusus terkait revitalisasi warisan budaya tersebut.

Targetnya, semua revitalisasi bisa rampung pada akhir tahun 2024.

Meski pada masa itu ada kepedihan di balik penjajahan, Hindia Belanda telah melakukan alih teknologi dan pengetahuan ke Indonesia. Belanda tidak hanya mewariskan tambang dan gedung-gedung, tetapi juga kebudayaan dan sistem pengembangan kota yang terintegrasi sesuai dengan potensi kekayaan alam yang ada.

Melihat Sawahlunto ibarat melihat “Belanda kecil” yang telah ditata sedemikian rupa oleh para kompeni agar jadi pusat ekonomi yang nyaman ditinggali.

Di balik penjajahan yang menyisakan sisi kelam, menakjubkan rasanya membayangkan lebih dari 130 tahun lalu Belanda sudah terpikir untuk membangun tambang bawah tanah dan segala pendukungnya, menyiapkan fasilitas pendukung masyarakat mulai dari permukiman, gedung pertunjukan, rumah sakit, dapur umum dan tempat jagal, pembangkit listrik tenaga uap, hingga rumah ibadah.