Naypyidaw, Ibu Kota Myanmar yang Dianggap Gagal karena Sepi
Kompleks parlemen di Naypyidaw pada saat dibangun sebelum resmi digunakan pada 2008. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Myanmar pernah buru-buru memindahkan Ibu Kota Negara dari Yangoon ke Naypyidaw. Empunya kuasa berharap pusat kekuasaan baru dapat disambut dengan gegap gempita. Alias Naypyidaw menjelma bak mercusuar peradaban bangsa.

Jauh panggang dari api. Pembangunan yang terburu-buru justru membuat Naypyidaw tak dibangun selayaknya kota ideal. Fasilitas umum serba terbatas. Banyak di antara rakyat Myanmar ogah pindah. Alhasil, Naypyidaw jadi kota sepi nan sunyi.

Rencana pemindahan Ibu Kota Negara bukan hal yang mudah. Pemerintah Myanmar pernah merasakannya. Perilaku junta militer yang paranoid kekuasaannya segera runtuh jadi musabab. Junta militer menganggap Yangoon tak layak lagi sebagai pusat kekuasaan.

Tiada yang dapat dibangun lagi di Yangoon – dari fasilitas pemerintahan hingga militer. Pun Yangoon mudah diserang musuh dari segala penjuru jika terjadi perang. Jika tidak ada serangan dari musuh, maka Yangoon dikhawatirkan takluk kala ada aksi massa skala besar.

Foto paling ikonik yang menggambarkan kondisi Naypyidaw, yaitu jalan raya dengan puluhan lajur yang tidak dilintasi sebuah kendaraan pun. (Jeroen de Bakker Photography/go-myanmar.com)

Narasi itu membuat Jenderal Than Shwe –konon, atas saran penasihat spiritualnya-- ambil sikap. Pemimpin Junta Militer itu merestui pembangunan ibu kota baru yang berjarak 400 kilometer dari Yangoon dilakukan.

Pembangunan itu dimulai pada 2000-an. Pemerintah menggunakan jasa hingga 80 ribu pekerja untuk membangun ibu kota idaman. Segala macam alat berat hilir-mudik untuk membangun kota baru. Pemerintah Myanmar membangun lima bagian kota baru, yakni Oathara Thiri, Dekkina Thiri, Poppha Thiri, Zapu Thiri, dan Zeyar Thiri.

Aktivitas pembangunan pun tak dibiarkan bocor ke publik. Barang siapa yang merekam akan diganjar penjara. Pembangunan pun separuhnya rangkum beberapa tahun kemudian. Empunya kuasa lalu resmi memindahkan pusat pemerintahan dari Yangoon ke ibu kota baru pada 6 November 2005.

Belakangan, Jendral Than Shwe baru menamakan kota tersebut Naypyidaw (Singgasana Raja) pada 27 Maret 2016. Suatu hari yang bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata Myanmar. Pemerintah pun mulai secara perlahan mendatangkan pegawai negeri untuk tinggal di Naypyidaw.

Kepindahan itu bahkan diiming-imingi kenaikan gaji yang cukup besar. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar. Mereka harus rela hidup berjauhan dengan keluarga yang notabene masih menetap di Yangoon. Semuanya karena fasilitas memadai seperti pusat pendidikan dan kebutuhan sehari-hari belum lengkap di Naypyidaw.

“Banyak berita menyebar tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan keluarga mereka yang tidak puas dengan dipaksa meninggalkan Yangoon dan tinggal di Naypyidaw. Mereka menuduh junta mengabaikan seluruh negeri dengan memindahkan ibu kota secara kasar. Pemindahan itu dianggap hanya membuat situasi ekonomi yang sudah buruk menjadi lebih buruk.”

“Biaya besar digelontorkan untuk konstruksi Naypyidaw yang diharapkan dapat menampung satu juta orang. Biayanya diperkirakan akan menghabiskan dana sebanyak 4-5 miliar dolar AS. Suatu jumlah yang cukup besar di tengah pendapatan tahunan rakyatnya rata-rata hanya 280 dolar AS per orang,” ungkap Daniel Goma dalam buku Burma Or Myanmar? The Struggle for National Identity (2010).

Kota Sepi

Jenderal Than Shwe berharap Naypyidaw dapat menjelma sebagai kota yang nyaman. Pemerintah pun telah menyediakan beberapa zona. Antara lain pemukiman, area bisnis, militer, hotel, rekreasi, hingga zona internasional.

Empunya kuasa sampai menyediakan tanah untuk pembangunan gedung kedutaan hingga organisasi internasional. Pembangunan itu di atas kertas dianggap mendatangkan narasi sebagai kota ideal. Nyatanya, harapan tinggal harapan.

Alih-alih mampu mendatangkan investor, Naypyidaw justru tak menarik bagi ASN setempat. Kekurangan fasilitas umum jadi musababnya. Naypyidaw dianggap tak mampu menghadirkan fasilitas pendidikan, kesehatan, hingga perniagaan.

Mereka yang hanya ingin gaji besar saja mau datang ke Naypyidaw. Kemudian, gaji itu dihabiskan dan digunakan di Yangoon. Kondisi itu membuat Naypyidaw bak kota sepi. Hiruk-pikuk bak Ibu Kota negara takkan didapatkan di Naypyidaw.

Kompleks parlemen di Naypyidaw pada saat dibangun sebelum resmi digunakan pada 2008. (Wikimedia Commons)

Barang siapa yang baru dapat ke kota itu akan merasakan kesepian yang amat dalam. Keterbatasan itu telah diungkap oleh beberapa pemimpin negara sahabat yang pernah datang ke Naypyidaw. Kadang kala tak sedikit pula yang menyebut Naypyidaw sebagai Ibu Kota Negara yang gagal.

“Enam tahun setelah Myanmar meresmikan Naypyidaw (diucapkan nay-pee-daw) sebagai ibu kota barunya, kota ini tetap sepi dan seringkali tidak bernyawa. Padahal, Naypyidaw bak sebuah monumen mahal bagi penguasa militer yang tidak lagi berkuasa, sejak junta menyerahkan kekuasaan pada bulan Maret kepada pemerintah pertama di negara tersebut. Pemerintahan sipil dalam hampir 50 tahun.”

“Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjadikan kota ini lebih ramah terhadap masyarakat. Di Naypyidaw bahkan terdapat sebuah taman hiburan yang didedikasikan untuk membangkitkan semangat patriotik dan sebuah air mancur besar di mana ASN dapat menyaksikan aliran air yang deras diiringi lagu-lagu pop Barat dengan lirik Burma. Namun, hampir setiap malam, keheningan menyelimuti Naypyidaw,” tertulis dalam laporan laman The New York Times berjudul Surrounded by Poverty, a Lifeless Capital Stands Aloof (2011).