Bagikan:

JAKARTA - Kuala Lumpur (KL) pernah dianggap terlalu sumpek. Ragam masalah mengkhawatirkan ada di KL seperti kepadatan penduduk, kemacetan, dan udara tak sehat – polusi. Mahathir Mohamad ambil sikap. Perdana Menteri (PM) Malaysia itu mencanangkan kota baru untuk berbagi peran dengan KL sebagai Ibu Kota Negara.

Putrajaya, namanya. KL dijadikan pusat ekonomi. Putrajaya jadi pusat pemerintahan. Hasilnya signifikan. Macet, apalagi polusi takkan ditemukan di Putrajaya. Satu-satunya masalah yang dihadapi mereka yang ditinggal di Putrajaya adalah kesepian.

Tak sedikit tokoh Malaysia yang menganggap KL kota yang kurang merepresentasikan orang Melayu. Mahathir, salah satunya. KL dianggapnya hanya sebuah kota yang menjadi penanda penjajahan Inggris dan eksistensi etnis China membangun kerajaan bisnisnya.

Kritik kepada KL terus dilakukan oleh Mahathir. PM Malaysia itu menganggap KL sudah tak laik lagi dijadikan pusat pemerintahan. KL memiliki bejibun masalah. Padat, Macet, dan penuh polusi. Kondisi itu membuat pemerintahan tak berjalan efektif.

Mahathir lalu menggelorakan pembangunan kota baru untuk pusat kekuasaan pada 1989. Ia ingin membangun pusat kekuasaan yang kental dengan kejayaan orang Melayu dan Islam. Alih-alih langsung diterima, ide Mahathir justru memancing kritik dari sana-sini.

Perkebunan kelapa sawit Prang Besar sebelum diubah menjadi Ibu Kota Negara Malaysia yang baru, Putrajaya. (Perbadanan Putrajaya)

Keinginan Mahathir dianggap terlalu muluk-muluk. Sebab, keuangan Malaysia sedang terbatas. Kritik pun mereda seiring waktu. Kondisi itu dimanfaatkan secara maksimal untuk melobi anggota parlemen. Wakil rakyat pun secara mengejutkan mempertimbangkan ide Mahathir.

Mereka pun membantu pemilihan lokasi calon pusat pemerintahan yang baru, Prang Besar. Nama Prang Besar lalu diubah Mahathir menjadi Putrajaya yang berarti Pangeran yang mulia membawa kejayaan. Pembangunannya pun berjalan pada 1995. Sekalipun secara diam-diam.

Mahathir memilih hemat berbicara di media massa. Siasat itu dilakukan supaya pembangunan Putrajaya berlanjut. Sekalipun Malaysia diterpa krisis ekonomi pada 1997. Pembangunan pun sudah setengahnya rampung beberapa tahun setelahnya. 

Mahathir lalu dengan bangga memperkenalkan Putrajaya sebagai pusat pemerintahan baru pada 1999. Seluruh kantor pemerintah dipindahkan ke Putrajaya, kecuali anggota parlemen. Mereka memilih tetap di KL.

Mahathir tak ambil pusing. Ia menganggap Putrajaya adalah investasi jangka panjang yang akan menguntungkan bagi Malaysia di masa yang akan datang.

Putrajaya saat dalam taraf pembangunan dilihat dari bukit PICC. (Perbadanan Putrajaya)

“Mahathir sangat membela Putrajaya. Ia menyebut Putrajaya sebagai investasi untuk masa depan jangka panjang Malaysia. Mahathir mengungkap ia tak membangun suatu legasi. Pemeirntahan justru membangun sebuah kota yang dapat berguna bagi bangsa Malaysia di masa yang akan datang.”

 “Ini dimaksudkan untuk pemerintahan di masa depan, mungkin 100 tahun, 300 tahun, 1.000 tahun. Saya tidak tahu, saya tidak akan ada saat itu,” ungkap Tandai Landler dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Putrajaya Journal; A Leader's Buildings Succeed, at Least in Excess (1999).

Tiada Polusi

Mahathir pun langsung memilih menempati kediaman resmi PM dan berkantor di Putrajaya pada Juni 1999. Ia datang ke Putrajaya bersama dengan 800 pegawai negeri sipil. Mulanya citra Putrajaya sempat menyeramkan di awal.

Putrajaya dianggap sarang penyakit malaria. Kawasan tempat jin buang anak. Segala macam fasilitas macam kesehatan dan pendidikan tak banyak. Pun dunia hiburan cukup terbatas. Kondisi itu membuat banyak pegawai tak mau pindah. Kondisi itu diikuti pula oleh para duta besar yang tetap berkantor di KL.

Belakangan Mahathir mulai fokus mengembangkan Putrajaya. Pun kota itu berhasil jadi antitesis dari KL. Jika di KL di mana-mana selalu macet, di Putrajaya hal itu takkan terlihat. Mahathir memang memikirkan benar hal itu. ketiadaan macet itu membuat tidak ada polusi di Putrajaya.

Sepinya jalanan di Putrajaya. (ANTARA)

Ketiadaan polusi memang disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang utama adalah karena penduduknya masing terbatas. Selebihnya karena memang tata kota tak menghendaki ruas jalan kecil dan pabrik-pabrik masuk ke Putrajaya.

Kondisi itu membuat orang-orang yang berada di Putrajaya tak perlu takut dengan polusi. Satu-satunya yang perlu mereka takutkan ada kesepian. Sebab, populasi Putrajaya hanya berkisar di angka 30 ribu jiwa pada 2007. Suatu jumlah yang terlampau sedikit dibanding Ibu Kota Negara lainnya. Itupun penduduknya didominasi oleh pegawai pemerintahan.

“Kehadiran Putrajaya menciptakan rasa eksklusif, dipisahkan dari ibu kota tua yang tercemar polusi KL. Imajinasi Kemurnian etnis Melayu tertanam di Putrajaya. Putrajaya juga jadi kota murni. Itu bisa dikontrol. Semuanya direncanakan oleh pemerintah Islam. Tidak ada klub malam, kehidupan malam, tidak ada imigran ilegal, dan lain-lain.”

“Itu kontras dengan KL. Putrajaya mencerminkan keinginan untuk kehidupan Melayu Muslim, yang tidak tercemar oleh cara hidup yang Barat di kota KL. Yang penting adalah bahwa Putrajaya dapat menunjukkan budaya Melayu otentik dan nilai-nilai Islam. Kondisi itu berbeda dengan sekularisme, ciri khas orang China,” ungkap Yat Ming Loo dalam buku Architecture and Urban Form in Kuala Lumpur (2016).