Bagikan:

JAKARTA - Soeharto dan Orde Baru (Orba) terkenal ‘murah hati’ terhadap pengusaha. Empunya kuasa kerap memberi konsesi lahan untuk tambang kepada kaum berduit. Pemberian itu tak jarang memicu banyak konflik hingga Soeharto lengser.

Kondisi itu sedikit mereda pada masa transisi kekuasaan. Ambil contoh pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Gur). Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) justru digaungkan sebagai satu-satunya presiden yang tak memberikan konsesi tambang ke pengusaha. Benarkah seperti itu?

Pemerintah punya tanggung jawab menaikkan hajat hidup rakyat Indonesia. Keinginan itu dijalankan dengan menggelorakan pertumbuhan ekonomi. Soeharto dan Orba pun bersiasat. Empunya kuasa melirik segala macam potensi kekayaan bumi pertiwi --hutan-- untuk menambah pemasukan negara.

Orba lalu membuat produk hukum yang memungkin untuk penguasaan tanah kawasan hutan jadi milik negara, bukan masyarakat adat. Kondisi itu membuat Orba memiliki kuasa untuk menebar konsesi/izin pemberian, penguasaan, pengelolaan lahan untuk ragam aktivitas. Utamanya, izin pertambangan ke pengusaha nasional maupun transnasional.

Foto udara areal pasca tambang nikel yang sebagian telah di reklamasi di Kecamatan Motui, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. (ANTARA/Jojon/Spt/am)

Pemerintah beranggapan dengan banyak menebar konsesi lahan tambang pemasukan negara akan besar. Keinginan itu pun terwujud. Alih-alih hanya membawa keuntungan, tebar-tebar konsesi lahan juga sering memunculkan konflik agraria.

Gelora protes karena tanah adat diganggu muncul. Orba tak gentar. Perlawanan kerap dalam ditaklukkan dengan kekuatan militer. Penggunaan kekuatan militer untuk menguasai tanah rakyat terhitung efektif.

Pemberian konsesi oleh Orba pun berjalan kian masif. Tokoh bangsa pun sempat melontarkan protes. Gus Dur, utamanya. Tokoh NU itu memang dikenal sering berseberangan dengan pemerintah Orba. Apalagi, kala melibatkan konflik lahan.

Gus Dur dan NU bak oposisi utama Orba. Mereka terjun langsung membantu perjuangan rakyat memperoleh haknya. Masalah muncul. Soeharto dan Orba terlalu kuat. Kondisi itu membuat urusan konsesi lahan tak dapat dibendung.

Izin terus dikeluarkan kepada korporasi. Kondisi itu semakin mematangkan kebencian rakyat adat kepada Orba. Kebencian itu bertahan hingga Soeharto lengser dari kekuasaan pada 1998.

“Satu tahun setelah Jenderal Soeharto berkuasa pada 1966, pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Kehutanan, yakni UU Nomor 5 Tahun 1967, yang tidak lagi merujuk pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-Undang Kehutanan itu menghidupkan kembali prinsip domain negara yang menetapkan bahwa semua tanah dalam 'kawasan hutan' adalah milik negara.”

“UU itu mengutamakan wewenang Menteri Kehutanan untuk menunjuk dan menetapkan kawasan hutan. Tidak diakuinya kepemilikan rakyat dalam kawasan hutan yang ditunjuk atau ditetapkan Menteri Kehutanan menjadi awal tumbuhnya benih-benih perlawanan agraria,” terang Noer Fauzi Rahman dalam buku Land Reform & Gerakan Agraria Indonesia (2017).

Tiada Konsesi Tambang Era Gus Dur

Angin segar terkait nasib lahan hutan Indonesia pernah berhembus di era pemerintahan Gus Dur. Kala itu Gus Dur dianggap bersikap progresif karena berani mengamankan hutan Indonesia dari kuasa pertambangan.

Citra Gus Dur sebagai presiden Indonesia satu-satunya yang tak memberikan konsesi tambang untuk pengusaha muncul. Keberanian itu bersanding dengan kebijakannya yang menutup perusahaan Indorayon di Sumatra Utara pada 1999.

Perusahaan kertas yang beroperasi sedari 1988 dianggap banyak membawa mudarat, ketimbang manfaat. Kehadiran Indorayon diyakini membawa banyak kasus macam pencemaran lingkungan, perampasan lahan, dan penggundulan hutan. Gus Dur tak gentar dan berani menutupnya.

Pengamat Lingkungan Hidup, Yani Sagaroa mengamini Gus Dur tak pernah memberikan konsesi lahan untuk tambang kepada pengusaha. Sikap itu dianggap wajar dan sebenarnya harus dilihat dari berbagai sisi.

Gus Dur memang progresif urusan hajat hidup rakyat Indonesia. Namun, urusan pemberian konsesi bukan melulu karena sikap Gus Dur pro rakyat saja. Yani mengajak khalayak umum melihat kondisi saat Gus Dur naik ke pucuk kekuasaan.

Gus Dur kala itu memimpin di era transisi. Era pemerintahannya pun singkat dari 1999 hingga 2001. Artinya Gus Dur tak banyak berfokus urusan pertambangan. Pun terkait kasus penutupan Indorayon pun sebenarnya kasus itu sudah bergulir sejak lama.

“Sekali lagi, di era Gus Dur perhatiannya belum mengarah kesitu – urusan tata kelola pertambangan. Pemerintah masih berfokus urusan transisi. Jadi, kebijakan yang sifatnya progresif atau signifikan dalam mengatur tata kelola lingkungan hidup belum ada. Kalau merujuk kasus Gus Dur menutup Indorayon itu bisa dikatakan kasus dulu. Prosesnya sudah sejak era Orba.”

“Ujung-ujungnya baru diambil alih oleh Gus Dur untuk penutupan itu. Gus sebenarnya progresif, tapi belum berbuat banyak. Namun, fakta itu tak menghapuskan keberanian Gus Dur dalam menolak isu energi nuklir dan konflik membela rakyat. Dia pasang badan sekali untuk hal-hal seperti itu. Cuman karena keterbatasan waktu dan memang situasi krisis pada saat itu sehingga perhatian terhadap persoalan lingkungan belum begitu banyak,” tegas Mantan Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional era 2008-2012, Yani Sagaroa kala dihubungi VOI, 4 Juni 2024.