Gus Dur Sebut Umat Muslim Tak Dilarang Merayakan Natal dalam Sejarah Hari Ini, 20 Desember 2003
Presiden Gus Dur mengisi acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa dan Sebaliknya di Perpustakaan Nasional RI, 31 Oktober 2000. (Perpusnas)

Bagikan:

JAKARTA - Sejarah hari ini, 19 tahun yang lalu, 20 Desember 2003, Mantan Presiden Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid mengungkap umat Muslim tak dilarang merayakan Natal. Penyataan itu diungkapnya dalam tulisan yang ditulis di Yerusalem, Israel berjudul Harlah, Natal, Maulid.

Pandangan Gus Dur di atas adalah bentuk kritisnya terhadap perdebatan yang kerap membedakan Natal dan Hari Maulid. Padahal, keduanya memilih satu benang merah: hari kelahiran. Karenanya, umat Muslim tak dilarang merayakan hari Natal, selama yang diyakininya adalah hari lahir Nabi Allah, Nabi Isa.

Pluralisme adalah harga mati untuk Indonesia. Pesan itu kerap didengungkan oleh Gus Dur semasa hidupnya. Paham yang menghargai perbedaan dianggapnya jadi kunci utama dalam membangun Indonesia. Apalagi Indonesia sendiri suku bangsa dan agama yang beragam.

Umat Muslim tak boleh merasa unggul karena agama mayoritas. Begitu pula sebaliknya. 'Senjata' pluralisme itulah yang kemudian dapat digunakan untuk mengembangkan mimpi Indonesia menjadi bangsa yang besar. Sebab, dengan saling menghargai kedamaian dan kemajuan dapat tercipta.

Ornamen Natal dijual di sebuah toko di Riyadh, Arab Saudi. (Tehran Times)

Gus Dur tak pernah mundur dengan sikapnya terkait toleransi agama. Ia bahkan berani berbeda dengan pendapat ulama kebanyakan, termasuk perihal ucapan hari Natal. Gus Dur justru berani mengungkap salamat hari Natal kepada rekan-rekannya yang beragama Nasrani.

Bahkan, hal itu diucapkannya tiap tahun tak pernah absen. Ia punya alasan tersendiri untuk itu. Kedekatan itu membuat Gus Dur memiliki hubungan baik dengan ragam pemuka agama lain hingga menjelang akhir hayatnya.

“Di tengah sakit yang mendera, pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih menyempatkan menelpon untuk mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru, sekaligus menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan rekan-rekan sejawat lainnya,” ungkap Benny Susetyo dalam buku Damai Bersama Gus Dur (2010).

Keberanian Gus Dur berucap selamat Natal nyatanya memiliki alasan yang spesifik. Ia sampai menuliskan pemikirannya di Yerusalem pada 20 Desember 2003. Tulisan itu berjudul Harlah, Natal, Maulid. Menurutnya, perihal Natal telah disebut dalam Al-Quran. Natal disebut sebagai yauma wulida (hari kelahiran).

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Amien Rais dalam suatu acara di tahun 1999. (Wikimedia Commons)

Kemudian, Gus Dur mencontohkan salah satu larik dari firman Allah dalam surah Al-Maryam yang menyebut kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku. Menurut Gus Dur, penegasan itu merujuk kepada ucapan Nabi Isa. Untuk itu, Gus Dur tak masalah jika umat Muslim merayakan natal, asalkan hari kelahiran yang diyakini adalah hari lahir Nabi Isa.

“Bahwa kemudian Nabi Isa ‘dijadikan’ Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu.Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci Al-Quran, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga.”

“Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan. Jika penulis merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT,” ungkap Gus Dur dalam tulisan Harlah, Natal, Maulid sebagaimana dikutip laman nu.or.id.