Cerita Gus Dur Enggan Tinggal di Rumah Pemberian Negara
Rumah pribadi mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA – Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah jabatan penuh tanggung jawab. Segala macam instrumen negara mendukung langkah mereka memimpin bangsa dan negara. Apalagi, ketika mereka tak lagi menjabat.

Negara tetap memberikan hak istimewa. Rumah yang layak, salah satunya. Niatan itu sesuai Undang-Undang (UU) dari tahun 1978. Namun, tak semua pemimpin bangsa senang hadiah rumah. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), contohnya. Ia justru ogah menempati rumah pemberian negara.

Tiada seorang pemimpin bangsa yang mampu memimpin Indonesia seumur hidup. Itulah yang disadari oleh Presiden Soeharto. Ia menganggap kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia ada batasnya. Apalagi setelah masa jabatan berakhir, keduanya kembali menjadi warga negara biasa dan menua.

Ia pun tak ingin pemimpin bangsa yang akan datang nasibnya tak dipedulikan oleh negara. Sebagai apresiasi atas sumbangsih kepada negara, Soeharto mengeluarkan UU No. 7/1978 tentang Hak Keuangan Administrasi Presiden dan Wakil Presiden atau mantan Presiden dan Wakil Presiden.

Isinya tak lain untuk menjamin kehidupan pemimpin bangsa yang sedang memimpin maupun purna tugas. Aturan itu salah satunya memberikan mantan pemimpin bangsa sebuah rumah yang layak dan lengkap dengan perlengkapannya.

Gus Dur saat menjabat Presiden RI dan wakilnya, Megawati Soekarnoputri. (Wikimedia Commons)

Ketentuan itu dikuatkan pula oleh hadirnya surat Keputusan Presiden No. 81/2004 pada 27 Desember 2004 yang dikeluarkan Megawati Soekarnoputri. Kehadiran Keppres mendukung UU sebelumnya. Namun, Megawati membatasi pembangunan rumah yang diperuntukkan untuk Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tak lebih dari Rp20 miliar.

Kepres itu mengatur pula pula negara juga memberikan sejumlah tunjuangan perawatan rumah, kendaraan berikut sopir, listrik, air, telepon, dan biaya kesehatan. Semuanya demi terjaminnya kehidupan mantan pemimpin bangsa di hari tua.

“Menurut Menteri Sekretaris Negara, Bambang Kesowo, keputusan presiden itu merujuk tiga undang-undang, yaitu UU No. 7/1978 tentang Hak Keuangan Administrasi Presiden dan Wakil Presiden atau Mantan Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sesuai dengan keputusan. Mega hanya menerima satu rumah. Tampaknya, yang didambakan adalah rumah di Jalan Teuku Umar.”

“Hadiah rumah bagi mantan presiden dan wakil presiden bukan hal baru. Sejumlah mantan wakil presiden, seperti Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno sudah menerima bantuan itu. Uniknya, malah ketiga mantan presiden belum satu pun yang menerima. Soeharto, misalnya, akan menerima rumah ‘pesangon’ itu semasa B.J. Habibie menjadi presiden. Rencana itu urung karena gelombang protes merebak – tapi diberikan juga di masa Megawati” ungkap Widiarsi Agustina dan Sapto Pradityo dalam laporannya di Majalah Tempo berjudul Rumah Hari Tua Itu (2004).

Tak Ditinggali

Inisiatif hadiah rumah diterima baik segenap pemimpin bangsa. Namun, tak semuanya setuju dengan hadiah rumah. Mantan Presiden Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid, misalnya. Pria yang akrab disapa Gus Dur kurang sreg dengan hadiah rumah yang berlokasi dekat rumah mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno di Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

Gus Dur beranggapan memiliki rumah gedong bukan prioritasnya. Sebab, ia sudah punya rumah di Ciganjur, Jakarta Selatan. Ia pun ingin pemerintah memberikan ‘mentahnya’ saja. Uang senilai Rp20 miliar itu ingin digunakan Gus Dur untuk membangun pesantren dan lembaga kajian Keislaman di rumahnya. Gus Dur bertujuan supaya lebih dekat dengan jemaahnya.

Keinginan itu menurut Gus Dur cukup masuk akal. Apalagi Gus Dur menilai Presiden Soeharto juga meminta mentahnya saja. Soeharto mendapatkan Rp26,6 miliar. Uang itu untuk mengganti harga tanah dan biaya bangunan dari rumah Puri Jati Ayu yang dibangun pada 1970-an di kawasan sekitar Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Sri Sultan Hamengkubuwono X, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Amien Rais di Rumah CIganjur 1998. (Perpusnas)

Akan tetapi, pemerintah tak mengindahkan keinginannya. Sekalipun Gus Dur tak menolak diberikan rumah. Namun, ia ogah tinggal di Mega Kuningan. Apalagi istrinya, Sinta Nuriyah memilih untuk tetap berada di Ciganjur. Gus Dur pun berpikir untuk menjual rumah itu dikemudian hari ketika mencapai harga yang cocok.

"Ya, sekarang saya tungguin saja sampai harga tanahnya naik. Ya sampai Rp50 miliar, sekarang sih masih Rp30 miliar," ujar Gus Dur di Kantor Pusat PBNU sebagaimana dikutip laman Okezone, 15 April 2008.