JAKARTA – Sejarah hari ini, 54 tahun yang lalu, 16 Desember 1968, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin mendirikan Yayasan Penyelenggaraan Pekan Rakyat Jakarta. Ali mendirikan yayasan itu setelah Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair ke-1 sukses besar.
Ia menganggap PRJ harus digarap serius. Tidak boleh tidak. Sebab, PRJ menguntungkan pemerintah dan warga Jakarta. Sebelumnya, Ali Sadikin tertarik membuat PRJ karena terinspirasi perayaan serupa di masa penjajahan Belanda: Pasar Gambir.
Penobatan Ratu Wilhelmina yang digelar pada 31 Agustus 1898 adalah peristiwa besar. Setidaknya bagi negeri koloninya, Hindia-Belanda. Peristiwa itu dirayakan secara besar-besaran. Bahkan, tumbuh ide untuk mengelar suatu pasar malam tiap tahun sebagai bentuk rasa syukur.
Perayaan itu dimulai pada 1906. Pasar Gambir, namanya. Perayaannya dimulai dari 31 Agustus hingga pertengahan September di Koningsplein (kini: Kawasan Monumen Nasional). Sebuah lokasi yang sengaja dipilih karena cukup luas dan mampu menjadi magnet yang mendatangkan orang banyak.
Antusias pengunjung Pasar Gambir tiada dua. Keramaian dan keragaman menyatu di dalamnya. Sebab, semua suku bangsa ikut datang dan menikmati hajatan Pasar Gambir. Tanpa terkecuali. Mereka dapat menikmati segala macam hiburan. Ada hiburan untuk anak-anak. Ada pula hiburan untuk orang dewasa.
Pun di Pasar Gambir orang-orang dapat menyaksikan pameran rumah-rumah adat bak miniatur Nusantara. Semua itu jadi bukti bahwa Belanda dapat menganggabungkan tiga hal (pesta, pameran, dan hura-hura) dalam satu waktu.
“Pasar yang riuh. la terdiri dari sebuah tanah lapang, rumah-rumah berarsitektur etnik dari bambu, atap rumbia, dan tuan Belanda berpantalon gelap, kemeja putih berkanji, dasi kupu-kupu, dan rambut yang mengkilat.”
“Ada stan tembakau, papan luncur yang dikerubuti anak-anak, dan tak lupa, ketika matahari tenggelam, dansa-dansi ala Eropa dan minuman beraroma anggur yang pekat,” Arif Zulkifli dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Pasar Gambir di Era Jajahan (1999).
Kekaguman akan Pasar Gambir tak lantas hilang setelah Indonesia merdeka. Sekalipun wujudnya sudah hilang semenjak meletusnya Perang Dunia II. Cerita-cerita terkait keseruan Pasar Gambir tetap lestari di benak banyak orang. Ali Sadikin, salah satunya.
Gubernur DKI Jakarta itu sering diceritakan oleh kakaknya terkait megahnya Pasar Raya Gambir. Namun, ia sendiri kerap tak dapat hadir ke Pasar Gambir. Cerita-cerita itulah yang mengispirasi Ali Sadikin untuk membuat hiburan serupa di Jakarta.
Ambisi itu membuat Ali Sadikin menggagas Pekan Raya Jakarta (PRJ). PRJ serupa dengan Pasar Gambir. Bentuk hiburannya banyak diadopsi oleh PRJ. Pamerannya, apalagi. PRJ digarap serius oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk memperingati Hari Jadi Kota Jakarta. Alhasil, PRJ Ke-1 diresmikan di Monas pada 5 Juni 1968. Pasar malam itu berlangsung selama 14 hari.
PRJ ke-1 terbilang sukses. PRJ mampu membuka lapangan kerja bagi warga Jakarta. Ali Sadikin pun ingin melanggengkan PRJ sebagai perayaan tahunan. Sebagai bentuk keseriusan, ia mendirikan Yayasan Penyelenggaraan PRJ pada 16 Desember 1968. Tujuannya supaya PRJ terkelola dengan baik di tahun-tahun mendatang.
“Mengingat pentingnya kegiatan ini kemudian saya kukuhkan kelembagaannya dengan Peraturan Daerah (Perda) sebulan setelah PRJ ke-1 itu. Untuk melembagakan pekan raya ini saya bentuk Yayasan Penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta sebagai badan penyelenggaraannya di akhir tahun 1968. Karena dengan panitia saja tidak mungkin kami dapat mengelola dengan baik pekan raya yang cukup besar itu,” ungkap Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).