Sejarah Pekan Raya Jakarta yang Terinspirasi Perayaan Penobatan Ratu Belanda Wilhelmina
PRJ di Monas (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Tiada yang salah dengan julukan Jakarta sebagai pusat hiburan Tanah Air. Gemerlap hiburan di Jakarta kesohor sejak zaman Belanda. Wujud itu hadir dalam bentuk Pasar Gambir. Konsep Pasar Gambir kemudian menginsipirasi Gubernur Jakarta Ali Sadikin (1966-177) untuk membuat Jakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta (PRJ).

Di tangannya, PRJ kemudian jadi buah bibir hingga ke pelosok negeri. Lebih lagi, PRJ menjelma menjadi acara besar tiap Jakarta ulang tahun. Kemunculan gelaran Pasar Gambir di Batavia (Jakarta) yang dimulai pada 1906 bukanlah suatu kebetulan.

Pasar malam digarap serius oleh pemerintah kolonial Belanda atas hajat memperingati penobatan Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus 1898. Pun pelaksanaannya dimulai dari 31 Agustus hingga pertengahan September tiap tahun.

Alhasil, tiap gelarannya di Koningsplein --sekarang Monumen Nasional-- selalu ditunggu-tunggu penduduk Batavia. Selain gelaran pameran, Pasar Gambir memiliki ragam hiburan. Ada hiburan untuk anak-anak, ada pula hiburan untuk orang dewasa.

Beberapa di antaranya adalah bioskop terbuka atau gambar idoep --dalam ucapan orang Betawi, pertunjukan musik, hingga pertandingan tinju. Bersamaan dengan itu, ragam makanan khas Betawi seperti kerak telor, tampak dijajahkan pada tiap sudut Pasar Gambir.  Lantaran itu Pasar Gambir secara paripurna dapat memuculkan tiga hal: pesta, pameran dan hura-hura.

“Pasar yang riuh. la terdiri dari sebuah tanah lapang, rumah-rumah berarsitektur etnik dari bambu, atap rumbia, dan tuan Belanda berpantalon gelap, kemeja putih berkanji, dasi kupu-kupu, dan rambut yang mengkilat. Ada stan tembakau, papan luncur yang dikerubuti anak-anak, dan tak lupa, ketika matahari tenggelam, dansa-dansi ala Eropa dan minuman beraroma anggur yang pekat,” Arif Zulkifli dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Pasar Gambir di Era Jajahan (1999).

Pekan Raya Jakarta (Sumber: Commons Wikimedia)

Pameran produk-produk di Pasar Gambir pun tampak menarik. Apalagi, dalam stan-stan yang ada dalam pasar malam dirancang khusus oleh arsitek kenamaan Batavia J.H. Antoinisse. Ia sering kali mengambil konsep rumah daerah secara berganti-ganti: Bali, China, atau Minangkabau.

Tiap pengunjung pun dengan bebas memilih stan mana yang minati. Perkara sama juga berlaku untuk hiburan. Di mana mereka bebas memilih menikmati hiburan yang disukai. Tambah menarik lagi, sejak acara pembukaan dan penutupan selalu diadakan pesta kembang api.

“Selain pameran, juga diisi dengan berbagai hiburan, seperti bioskop terbuka dan tertutup, berbagai permainan ketangkasan, kongkurs keroncong (live Java) dan konser musik. Pasar Gambir mengalami perubahan sejak 1921 dengan penampilannnya yang berkesan modern. Kegiatan pasar tersebut berakhir pada 1939,” ungkap Zeffry Alkatiri dalam buku Pasar Gambir, Komik Cina dan Es Shanghai (2010).

“Tidak sedikit tokoh penghibur muncul dan ternama berkat pasar tersebut. Contohnya adalah Miss Riboet, Annie Landouw, Bram Titaley atau Bram Aceh dan Abdullah sebagai penyanyi keroncong. Beberapa petinju, seperti Kid Bellel, Kid Darlin, Kid Yusuf, Young Sattar dan Boby Nyo. Mereka menjadi lebih dikenal karena sering adu jotos di ring boksen yang disediakan setiap malam Minggu (selama gelaran Pasar Gambir),” tambahnya.

Pasar Gambir cikal bakal PRJ

PRJ di Lapangan Merdeka (Sumber: Commons Wikimedia)

Sekalipun selepas masa Jepang Pasar Gambir sempat tak beroperasi lama, dalam ingatan banyak orang gaung kebesaran Pasar Malam itu tetap terjaga. Termasuk dalam ingatan Ali Sadikin. Semasa kecil, Ali ingin seperti kakak-kakaknya yang mendapatkan kesempatan berkunjung ke Pasar Gambir.

Sayang, Perang Dunia II mengandaskan impiannya. Satu-satu cara untuk mengetahui cerita menyenangkan terkait Pasar Gambir hanya didapat melalui cerita dan surat kabar Bandung Java Bode.

Buahnya, semenjak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dirinya ingin “balas dendam” untuk membuat hal serupa seperti Pasar Gambir. Kebetulan salah satu yang terlintas di otaknya adalah nama Jakarta Fair. Nama itu muncul seiring kehadiran pusat hiburan besar di berbagai negara dunia, seperti Hambur Fair, Leipzig Fair.

Untuk itu, Ali Sadikin beranggapan bahwa di mana-mana ada istilah “fair” yang sifatnya promosi, berarti di situ ada pula hiburan sebagai pemanisnya. Dalam masa itu Ali Sadikin menggabungkan antara Pasar Gambir dengan pekan industri dalam Jakarta Fair pertama pada 1968 di Gambir. Jakarta Fair kala itu dihadirkan untuk merayakan ulang tahun Jakarta yang jatuh pada 22 Juni. Perayaan itu berlansung selama kurang lebih dua bulan berturut-turut.

Gubernur DKI Ali Sadikin (Sumber: Commons Wikimedia)

“Pekan Raya Jakarta yang pertama diselenggarakan pada tanggal 15 Juni 1968 dalam rangka memeriahkan peringatan HUT Kota Jakarta ke-441 dengan tema ‘Pembangunan, Kemajuan & Kesejahteraan.’ Pada waktu itu Bapak Presiden Suharto telah berkenan meresmikan pembukaan Pekan Raya Jakarta yang pertama ini,” tulis Ali Sadikin dalam bukunya Gita Jaya (1977).

Ali menambahkan wadah seperti PRJ ini sangat dibutuhkan oleh Jakarta. Sebab, di samping sebagai wadah pameran dan promosi, PRJ dijadikan pula sebagai upaya mencukupi tempat-tempat hiburan dan rekreasi yang sehat dan murah bagi warga Jakarta.

Maka, di dalam PRJ warna-warni hiburan dipadukan dengan cahaya lampu yang cemerlang, penuh gebyar lewat promosi yang besar-besaran. Tujuannya agar PRJ mampu menyedot pengunjung, terutama mereka dari kota-kota lainnya. Setelahnya acara itu kemudian diselenggarakan rutin setiap tahun untuk merayakan ulang tahun Jakarta.

Pelaksanaannya lalu dinanti oleh banyak orang. Sebagai bentuk antisipasi, tepat ketika Bandara Kemayoran dipindahkan ke Cengkareng, Jakarta, pemerintah DKI memindahkan PRJ ke Kemayoran. Pada lokasi baru itulah, PRJ menjadi makin bergengsi, diikuti dengan berubahnya sebutan Jakarta Fair menjadi PRJ.

“Begitu sebutannya pada mulanya: Jakarta Fair. Tapi di tengah perjalanannya saya ganti sebutannya dengan PRJ, berbarengan dengan usaha mengurangi sebutan-sebutan dalam bahasa asing di tengah kehidupan di ibu kota ini. Ya, ada masanya saya kumandangkan suara saya untuk mempergunakan lebih banyak sebutan-sebutan dalam bahasa asing,” ungkap Ali Sadikin dikutip Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya

a