JAKARTA - Penjajahan Belanda meninggalkan luka mendalam bagi segenap kaum bumiputra. Empunya kuasa menempatkan kaum bumiputra di strata paling rendah kehidupan di Hindia-Belanda (kini: Indonesia). Penjajah itu acap kali berlaku diskriminatif dan rasis.
Apalagi kaum bumiputra diminta menghormati penguasa tertinggi Belanda, Ratu Wilhelmina. Mereka dipaksa untuk merayakan ulang tahun Wilhemina sebesar-besarnya tiap 31 Agustus. Perayaan itu bak tamparan: Belanda menari-nari di atas penderitaan kaum bumiputra.
Bodoh, malas, sukanya berperang. Itulah anggapan umum penjajah Belanda menilai kaum bumiputra. Kaum jelata apalagi. Akses pendidikan ataupun kesehatan sengaja dibuat terbatas. Supaya kaum bumiputra enggan melawan kuasa Belanda.
Narasi itu telah bertahan sejak dulu kala. Sejak maskapai dagang Belanda VOC berkuasa, hingga digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Kaum bumiputra dipaksa menempati strata terendah dalam masyarakat. Bahkan, acap kali disamakan dengan hewan. Kehidupan orang Belanda diutamakan. Sedang empunya tanah kelahiran terpinggirkan.
Gelora rasisme itu menyebar hingga lorong transportasi massal di Hindia-Belanda. Kaum bumiputra dipaksa menempati gerbong kelas tiga saat naik kereta ataupun trem. Gerbong itu dikenal pula sebagi gerbong kelas kambing. Semuanya tak lain karena gerbong kelas tiga juga mengangkut serta hewan-hewan. Utamanya kambing.
Nasib kaum bumiputra semakin menyedihkan ketika masa tanam paksa. Mereka diperas tenaganya bak sapi perah. Alias, kaum bumiputra dipaksa banting tulang. Sementara orang Belanda memaksa mereka menjual hasil pertanian atau perkebunan dengan harga yang murah. Perlakuan tidak manusiawi itu terus terekam dalam tiap sanubari kaum bumiputra. Soekarno, salah satunya.
“Aku ingin menyampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan "Bangsa yang pandir" seperti orang Belanda berulang‐ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi "Inlander goblok hanya baik untuk diludahi" seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali‐kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing yang berjulan menyuruk‐nyuruk dengan memakai sarung dan ikat kepala, merangkak‐rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan‐majikan kolonial di masa yang silam.”
“Setelah Republik Rakyat Tiongkok, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa yang ke lima di dunia dalam hal jumlah penduduk. 3000 dari pulau‐pulau kami dapat didiami. Tapi tahukah Saudara berapa banyak rakyat yang tidak mengetahui tentang Indonesia? Atau di mana letaknya? Atau tentang warna kulitnya, apakah kami sawo matang, hitam, kuning atau putih?” ungkap Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2013).
Ulang tahun Ratu Wilhelmina
Makin hari, penderitaan kaum bumiputra tak kunjung berkurang. Apalagi empunya kuasa turut memperparah dengan memaksa kehadiran perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina (ia lahir pada 31 Agustus 1880) di seluruh tanah koloni, termasuk Hindia-Belanda.
Perayaan itu telah berlangsung dari tanggal 31 Agustus 1885. Ulang tahunnya dirayakan dengan gegap-gempita bak peristiwa besar. Pesta, dekorasi, hingga permainan disiapkan. Semuanya demi merayakan hasrat kuasa Sang Ratu Belanda.
Peristiwa itu harus dirayakan pula oleh segenap kaum bumiputra. Mereka dipaksa untuk mengibarkan bendera Belanda. Kadang kala, kaum bumiputra diminta untuk mengumpulkan sumbangan demi sukses perayaan ulang tahun Wilhelmina.
Tak hanya itu. kaum bumiputra juga diminta untuk menghormati lagu kebangsaan Belanda. Pemaksaan itu dianggap kaum bumiputra sebagai letupan untuk segera merdeka. Banyak di antara kaum bumiputra menolak merayakan ulang tahun Wilhelmina. Ada yang menolak mengibarkan bendera Belanda – seperti tokoh Betawi, M.H. Thamrin. Ada pula yang menolak menghafal lagu kebangsaan Belanda.
“Pada 10 Mei 1932, Wilhelmus resmi menjadi lagu kebangsaan Belanda. Sebelum tanggal tersebut, di samping Wilhelmus lagu Wien Neerlands Bloed juga luas digunakan sebagai semacam lagu nasional. Pemerintah Belanda mengambil keputusan untuk menyudahi perdebatan panjang tentang status kedua lagu itu yang digunakan sebagai lagu kebangsaan dalam acara-acara resmi. Selama beberapa waktu sebetulnya Wien Neerlands Bloed pernah lebih populer daripada Wihelmus, khususnya di kalangan orang-orang Katolik di Belanda.”
“Keputusan resmi itu, yang dibuat di Den Haag, tidak hanya berimplikasi untuk Belanda melainkan juga mengubah kedudukan lagu itu di Hindia Timur Belanda maupun di Suriname dan Antilles Belanda. Memang mulai 1932 dan seterusnya Wilhelmus juga menjadi lagu kebangsaan resmi di koloni-koloni Belanda. Sebelum waktu tersebut lagu ini dikenal baik di Hindia Timur Belanda dalam beragam versi dan sering dinyanyikan pada hari ulang tahun Ratu Wilhelmina,” terang Gerard A. Person dalam buku Merenungkan Gema: Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda (2016).