Bagikan:

JAKARTA - Aktivitas berburu pernah langgeng di Batavia (kini: Jakarta). Golongan elite Belanda adalah penikmat utamanya. Dari Gubenur Jenderal hingga serdadu Belanda. Koningsplein (kini: Lapangan Monas) dianggap sebagai lokasi perburuan yang populer. Namun, kegiatan berburu mulai terlarang pada 1830.

Pemerintah kolonial Belanda tak kehabisan akal untuk meramaikan Koningsplein. Pembenahan pun dilakukan. Lapangan itu diubahnya jadi pusat hiburan. Menghadirkan gelaran pacuan kuda, salah satunya.

Sebagian besar wilayah Batavia adalah hutan belantara. Itulah fakta yang tak dapat sangkal banyak orang. Dulu kala orang Belanda pikir panjang untuk meluaskan wilayah Batavia. Ancaman bandit dan binatang buas jadi kendalanya. Kehidupan orang Belanda melulu dihabiskan di Oud Batavia (kini: kawasan Kota Tua).

Kehidupannya begitu monoton. Hiburan pun dibutuhkan untuk mengusir kesunyian. Berburu hewan buas jadi ajian. Aktivitas berburu itu didukung penuh pula oleh maskapai dagang Belanda, VOC. Mereka turut memberikan bonus bagi orang Belanda yang berhasil berburu harimau.

Arena pacuan kuda Lapangan Koningsplein yang kini dikenal sebagai Lapangan Monas tampak dari udara. (Wikimedia Commons)

Aktivitas berburu pun langgeng. Golongan elite Batavia banyak yang menggeluti hobi baru itu. Mereka pun mencari banyak lokasi perburuan. Buffelsveld yang berarti Lapangan Banteng adalah lokasi yang kesohor. Lokasi itu sama populernya dengan Lapangan Paviljoen (kini justru dikenal dengan satu-satunya Lapangan Banteng).

Buffelsveld menyajikan buruan yang menjanjikan. Kerbau, babi, kijang hingga harimau. Cerita kesuksesan orang Belanda membawa buruan besar dari Buffelsveld jadi daya tarik tersendiri. Karenanya, Buffelsveld dikenal sebagai salah satu tempat berburu kesohor di Batavia.

“Hampir tak dapat dibayangkan, bahwa di daerah ini pada tahun 1644 orang memburu harimau serta banteng. Baru 1830 berburu dengan senapan di Koningsplein dilarang oleh polisi, walaupun sampai 1853 kompi-kompi mortir masih melakukan latihan menembak di medan ini. Lapangan luas namun kosong dimanfaatkan untuk membuat batu bata, sehingga terdapat banyak kubang besar penuh air yang disukai kerbau.”

“Maka nama pertamanya adalah Buffelsveld, yang berarti Lapangan Banteng. Nama ini sudah tertulis dalam Daghregister tahun 1659, waktu Gubenur Jenderal Maetsuyker dengan penjagaan ketat melancong sampai boven naar’t bosch ini het buffelsveld, artinya ke Lapangan banteng di selatan hutan besar,” ungkap Sejarawan Adolf Heuken dalam buku Medan Merdeka: Jantung Ibu Kota RI (2008).

Pacuan Kuda

Era peralihan VOC ke pemerintah kolonial Hindia-Belanda berpengaruh besar bagi Buffelsveld. Lapangan tempat berburu itu jadi dikenal dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya, Champ de Mars dan yang paling kesohor adalah Koningsplein.

Bersamaan dengan itu, Belanda mulai melarang aktivitas berburu pada 1830. Mereka tak mau rugi. Koningsplein mulai disulapnya jadi pusat rendezvous-nya orang Belanda. Apalagi kawasan Koningsplein tak jauh dari pusat pemerintahan Belanda yang baru, Weltevreden (kini: kawasan sekitar Lapangan Banteng).

Belanda pun juga bersiasat. Mereka menjadikan sebagian Koningsplein sebagai arena pacuan kuda. Demi meningkatkan atensi masyarakat Batavia, pikirnya. Nyatanya, siasat itu berhasil seiring tumbuhnya Perkumpulan Berkuda Batavia-Buitenzorg, Batavia-Buitenzorg Wedloop Societeit.

Saban hari arena pacuan kuda digunakan untuk latihan berkuda golongan elite Belanda. Aktivitas itu tak melulu bertujuan melanggengkan hobi belaka. Konon, latihan berkuda jadi ajang diplomasi politik di Hindia-Belanda. Dari tawar-menawar kebijakan hingga mufakat jahat.

Kawasan sekitar Lapangan Koningsplein atau yang kini bernama Lapangan Monas. (Wikimedia Commons)

Koningsplein baru kemudian ramai ketika perlombaan berkuda diselenggarakan secara resmi. Tercatat, dua perlombaan besar diselenggarakan tiap tahun. Hajatan itu acap kali memancing atensi orang banyak. Bahkan, beberapa di antara penonton tak hanya hadir dari luar daerah, tapi luar negeri.

Belanda untung besar dengan kehadiran hajatan itu. Beberapa keuntungan dari pacuan kuda digunakan penguasa untuk disumbangkan kepada acara amal. Pun kehadiran pacuan kuda dapat menunjang perkembangan kehidupan bermasyarakat dengan cara barat.  

“Di belakang stasiun terdapat lapangan milik Batavia-Buitenzorg Wedloop Societeit (Perkumpulan Berkuda Batavia-Buitenzorg). Di sini dua kali setahun diselenggarakan perlombaan yang selalu ramai dikunjungi. Banyak orang Inggris dari Selat Malaka juga datang dan ikut serta, baik dengan kuda maupun tanpa kuda.”

“Saat ini kami berada di sebelah utara Koningsplein. Setelah melewati rel kereta Batavia (benedenstad)- Buitenzorg, kami baru sadar bahwa di sudut sebelah timur Koningsplein tidak berbentuk persegi empat, tapi jalan di sini agak membuat belokan zig-zag,” tutup H.C.C. Clockener Brusson dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2017).