Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah kolonial Hindia Belanda tak pernah sembarang memberlakukan taman. Empunya kuasa menyadari keindahan taman adalah sebentuk investasi jangka panjang. Alias taman harus ditata dan rawat supaya indah.Taman Lapangan Banteng, misalnya.

Taman yang bersalin nama berkali-kali bak lokasi rendezvous anak muda Batavia. Dari yang kasmaran hingga cari jodoh. Konser musik dan latihan militer jadi hiburan yang dinanti. Karenanya, mereka yang datang acap kali bertujuan untuk unjuk gaya.

Dulu kala, kawasan sekitar Batavia (kini: Jakarta) masih hutan belantara. Ancaman binatang buas di mana-mana. Pun kadang kala ancaman binatang buas lebih menakutkan dibanding dengan bandit-bandit jahat. Namun, tak semua orang di Batavia lantas takut.

Beberapa di antaranya justru memiliki ide untuk melanggengkan hobi berburu. Perburuan pun dilakukan dengan beramai-ramai. Mereka berburu segala macam hewan. Yang pasti bukan sembarang hewan. Hewan buruan didominasi oleh kijang, babi, hutan, harimau, hingga banteng.

Perburuan kerap dilakukan di Lapangan Pavilljoen (cikal-bakal Lapangan Banteng). Lapangan itu mengambil nama dari pemiliknya sang tuan tanah, Anthonie Paviljoen. Mereka yang berburu cukup terhibur dan tertantang. Keanekaragaman hewan buruan jadi muaranya.

Keramaian di Lapangan Banteng, Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Mereka yang berburu selalu untung besar. Sekalipun mereka harus membayar pajak 10 persen kepada empunya kuasa untuk tiap buruannya. Namun, seiring masifnya pembukaan lahan, lapangan yang awalnya jadi tempat berburu mulai mempercantik diri. Lapangan itu jadi lokasi melepas penat farovit warga Batavia.

Utamanya, ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels memindahkan pusat pemerintahan pada 1808. Dari Oud Batavia (Batavia lama) ke kawasan Weltevreden (kawasan sekitar Lapangan Banteng).

“Catatan tertua menyebutkan lapangan itu pada tahun 1623 merupakan tanah milik Anthonie Paviljoen Sr. Lapangan di sebelah barat Sungai Ciliwung dan sebagian besar berawa-rawa. Pada akhir abad ke-18, lapangan yang sudah berganti tangan beberapa kali itu dibeli pemerintah untuk tangsi tentara Prancis dari Mauritius yang diperbantukan ke Batavia. Lalu setelah penghuninya sering berganti, lapangan disebut Paradeplaats atau Lapangan Parade.”

“Sekitarnya menjadi asrama tentara yang meluas sampai ke Taman Pejambon dan Taman du Bus di belakang Departemen Keuangan sekarang, Di sisi selatannya, di tempat yang kini menjadi Hotel Borobudur ada tujuh asrama tentara. Di belakangnya ada tujuh asrama lagi. Ketiga sisi lain lapangan itu menjadi perumahan perwira,” ungkap Siswadhi dalam buku Ketoprak Betawi (2000).

Unjuk Gaya di Lapangan Banteng

Pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai mempercantik taman tersebut. Taman itu lantas dikenal dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya Lapangan Parade, Waterlooplein, Lapangan Singa, hingga Lapangan Banteng. Teduhnya suasana dan udara segar membuat orang-orang di Batavia berbondong-bodong ke Lapangan Banteng.

Puncak keramaian dari Lapangan Banteng terjadi pada pertengahan abad ke-19. Lapangan itu langgeng dikenal sebagai rendezvous atau pusat berkumpulnya anak muda Batavia. Momentum itu dimanfaatkan oleh mereka untuk unjuk gaya.

Anak-anak muda datang ke Lapangan Banteng kerap mengenakan setelan terbaiknya. Apalagi ketika Kamis malam dan Minggu malam. Kedua hari itu jadi yang paling ditunggu-tunggu oleh anak muda. semua itu karena korps musik garnisun Batavia mengadakan konser musik yang bagus.

Mereka yang menikmati tontonan biasa duduk di atas kereta kuda. Bak memamerkan kekayaan. Sedang kaum prianya duduk mengelilingi orkes sambil mengisap cerutu. Namun, bukan berarti Lapangan Banteng hanya monopoli kaum elitis belaka.

Lapangan Banteng dengan patung Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen. (Wikimedia Commons)

Tiap orang, apa pun status sosial dan rasnya bisa datang ke Lapangan Banteng. Kaum bumiputra apalagi. Semuanya bersenang-senang sembari mencari udara segar. Eksistensi Lapangan Banteng sebagai pusat kongko anak muda bertahan lama. Bahkan, sampai tahun 1920-an.

 “Para pemain musik berdiri membentuk lingkaran besar di tengah lapangan rumput. Di depan mereka, masing-masing ada tempat membaca notasi. Di sekeliling mereka sudah berjejal para serdadu, perwira rendahan, dan beberapa letnan dengan pakaian putih. Para kelasi mengenakan seragam khusus di tempat tropis mereka yang cerah dan indah, penduduk pribumi, prajurit perempuan, beberapa orang Tionghoa, noni-noni Indo muda dan langsing, dan para gadis Indo-Eropa yang cantik. Semua hadir di pesta itu.”

“Beberapa pria gagah mempertontonkan keahlian mereka mengendarai kuda. Delapan kereta kuda dengan para wanita Eropa berpakaian indah di dalamnya perlahan-lahan melintas. Para prajurit kami mudah dikenali dengan pipi yang segar dan kemerahan. Mereka sangat menarik perhatian para gadis muda cantik dan beberapa nona tertawa ramah pada mereka,” ungkap H.C.C. Clockener Brousson dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2017).