Resensi Buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII – Tentang Pelacuran dan Perbudakan di Jakarta
Ilustrasi (VOI/Detha Arya Tifada)

Bagikan:

JAKARTA - Orang-orang memandang Jakarta sebagai kota majemuk yang dihuni dari beragam suku bangsa dengan segala dinamikanya. Hal itu bahkan sudah berlangsung pada awal pembentukan kota yang dulu dikenal dengan sebutan Batavia, yakni abad ke-17. Proses pembentukan kota berikut permasalahannya seperti perbudakan dan pelacuran digambarkan secara gamblang oleh Sejarawan asal Belanda, Hendrik E. Niemejer dalam bukunya Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Pada mula pembentukan Batavia, Niemejer mencatat bahwa kota ini dibangun dari puing-puing kehancuran Jayakarta pada 1619. Penaklukkan Jayakarta itulah yang menjadi penyebab penduduk asli meninggalkan Jayakarta, orang Jawa dilarang tinggal, dan di sekitar hutan masih dihuni banyak binatang buas. Alhasil, Kompeni yang ingin membangun Batavia sebagai kota dagang memilih untuk mendatangkan banyak budak.

Bagi Belanda, mendatangkan budak merupakan opsi utama untuk mendulang keuntungan dari negeri jajahannya. Karenanya budak didatangkan dari berbagai wilayah baik dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri, Kompeni mendatangkan budak dari Maluku, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Sedangkan untuk budak dari luar negeri, Kompeni mendatangkan budak dari India, Sri Langka, hingga Filipina.

Pada akhirnya, kemunculan budak-budak ini menjadi bagian dari sejarah peradaban kota Batavia. Apalagi, sejak awal menjabat, sang pendiri Batavia Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen kemudian menjadikan etnis China sebagai anak emas perputaran ekonomi di Batavia. Langkah itu semakin membuat Batavia menjadi beragam, dan penuh dinamika.

Dinamika-dinamika itulah yang membuat buku ini menjadi penting. Selain itu, empunya buku turut membahas perihal perburuan hewan buas, pelacuran, perlawanan budak, hingga hiburan populer orang Belanda, yakni berkumpul di serambi rumah. Semua itu dijelaskan dengan terperinci. Sebab, Hendrik E. Niemeijer sendiri sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam lautan arsip VOC.

Perburuan hewan buas

Di awal penjajahan Belanda di Batavia, bersantai ria bukanlah sebuah kebiasaan warga. Alasannya, barang siapa yang berani melangkah keluar Nieuwe Poort (Gerbang Baru), lalu melintasi kawasan hutan belukar, mereka harus bertaruh nyawa. Binatang buas, seperti banteng, harimau, badak, babi, dan buaya masih banyak berkeliaran. Lebih lengkapnya kami pernah mengulasnya dalam tulisan “Banyak Buaya di Ciliwung, Perburuan Harimau di Batavia.”

Hendrik menyebut harimau sebagai binatang buas yang sering mangkal di dekat tembok Kota Batavia. Menurutnya, dalam kurun waktu 50 tahun pertama Belanda di koloni, perihal binatang buas yang berkeliaran jadi ancaman serius bagi orang Belanda. Karenanya, pemerintah kolonial Belanda menawarkan hadiah kepada siapa yang mampu menangkap dan membunuh “kucing besar”.

“Catatan harian Kasteel Batavia menuturkan bahwa pada 1640-an sekali sebulan pasti ada mayat harimau yang dipertontonkan di lapangan Kasteel. Karena ancaman harimau masih belum juga reda, Kepala Dewan Peradilan, Joan Maetsuycker memutuskan pada 1644 untuk memimpin sendiri perburuan besar-besaran dan untuk itu dikerahkan 800 orang terdiri dari 20 penunggang kuda, 100 serdadu, 50 budak dan selebihnya adalah warga Belanda dan penduduk asli, warga China, orang-orang Banda dan jawa,” tuturnya di halaman 80.

Pelacuran di Batavia

Selain itu, masalah pelacuran juga tak luput dari pembahasan. Saat itu, bisnis plesiran ini memang berkembang pesat pada awal Belanda bercokol di Batavia. 

Mereka yang bekerja sebagai pekerja seks pun banyak dikategorikan sebagai pelacur jalanan. Ada pula bentuk pelacuran yang terselubung dalam bentuk pergundikan dan penggadaian diri. Atas kombinasi pergundikan dan penggadaian, para pekerja seks di Batavia berjumpa dengan para mak comblang atau pemilik pelacuran yang umumnya bernama “mamie”.

Karena itu, pada awal Belanda di Batavia, justru orang Eropa lah yang banyak membuka rumah bordil. Salah satu rumah pelacuran yang terkenal ketika itu ialah losmen “de berebijt” (gigitan beruang) milik Hubert Yselstein. Kepopuleran itu didapat karena rumah pelacuran milik Hubert adalah yang paling sering tercatat di arsip pengadilan setempat. Kami pun pernah mengulas secara lengkap terkait pelacuran pada artikel “Lonteku di Batavia.”

“Losmen itu terletak agak jauh dari tembok kota, di Jalan Jaccatra (sekarang Jalan Jakarta) dan tidak hanya terkenal sebagai tempat pelacuran, tetapi juga sebagai ajang perkelahian, arena main anggar, serta sebagai arah jambak-jambakan rambut,” tulisnya di halaman 189.

Perlawanan budak

Terlahir sebagai budak di Batavia adalah hal yang paling menyedihkan. Siapapun majikannya, baik itu orang Belanda, Portugis, Moor, ataupun China, budak-budak tersebut sering dipukuli karena masalah sepele. 

Budak biasanya diikat, dicambuki, dan segala macamnya. Sekali pun punya majikan baik, masalah justru hadir pada lingkungan yang selalu merendahkan budak. Juga tak jarang para budak dipukuli karena berada dalam kasta terendah di masyarakat Batavia.

Untuk itu, banyak di antaranya melakukan perlawanan. Yang terparah adalah mereka memutuskan untuk bunuh diri. Misalnya, ketika mendapatkan kesempatan keluar rumah setelah disiksa habis-habisan oleh majikan, budak langsung berlari ke warung penjual pisau, lalu menusuk dadanya sendiri.

“Cara perlawanan lain yang juga sering dilakukan para budak adalah meracuni majikannya. Cara ini cukup sering dan teratur terjadi di Batavia dan memang cukup mudah dilakukan,” tertulis di halaman 200.

Kongko di serambi rumah

Sementara itu kebiasaan unik orang Belanda dalam melawati waktu senggang adalah dengan bersantai ria (kongko) di serambi atau emperan rumah. Bagi orang Belanda, serambi rumah bak sebuah pos ronda paling mengasyikkan. 

Nongkrong di serambi rumah menjadi lokasi observasi yang bagus untuk segala masalah yang terjadi belakangan di Batavia. Namun, mereka yang memiliki serambi rumah hanya terbatas pada orang kaya dan sangat kaya saja.

“Para pria dengan penuh kenikmatan mengisap pipa, minum seteguk arak atau segelas anggur dari Tanjung Harapan (Afrika Selatan), sementara para wanita sibuk menuang dan minum teh sambil mencicipi kue-kue kering; tidak ketinggalan, sirih dan pinang untuk menyegarkan mulut,” tulis Niemejer.

Itulah ringkasan yang hadir dalam buku ini. Meski begitu, masih banyak kisah menarik lainnya yang diulas oleh penulis. Seperti masalah Muslim di Batavia, Katolik di Batavia, eksistensi penganut Calvinisme, bisnis gula, bisnis arak, dan lain sebagainya.