Bagikan:

JAKARTA - Praktik bisnis berahi semakin menjamur setelah beberapa tahun Jayakarta ditaklukan kongsi dagang Belanda, VOC dan mengubahnya menjadi Batavia pada 1619. Sempat ada upaya pemerintah kolonial untuk membendung bisnis tersebut di era Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Namun upaya itu sia-sia. 

Timpangnya populasi antara laki-laki dan wanita Eropa yang ada di Nusantara menjadi penyebab utama merebaknya bisnis esek-esek di Hindia Belanda. Bagi seorang Belanda kaya, mudah saja mendatangkan istri ke tanah koloni. Beda kondisi dengan totok yang ekonominya pas-pasan. Mereka cuma punya dua pilihan: memelihara gundik atau mengunjungi rumah bordil.

Dalam catatan Sejarawan Belanda, Leonard Blusse, Ia mencatat tujuh tahun setelah Batavia berdiri –tepatnya pada 1625— rumah-rumah bordil tumbuh subur. Penyebabnya tak lain karena Kota Batavia telah menjadi tempat "rendezvous" (kencan) pelaut-pelaut mancanegara.

“Sehingga rumah-rumah pelacuran tumbuh subur di Batavia yang terletak di depan benteng di kawasan Pasar Ikan,” ungkap Leonard Blusse dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC (1988).

Hal itu sontak membuat Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629), Jan Pieterszoon Coen berang. Coen yang dikenal sebagai penganut Calvinisme fanatik mulai bersiasat menghentikan praktik perzinahan, pergundikan, dan pelacuran. Terkait pelacuran di Batavia kami pun pernah mengulasnya secara lengkap dalam artikel “Lonteku di Batavia.”

Coen memiliki misi untuk menghapus ketiga hal itu dari Batavia. keinginan itu Coen tuangkan dalam beberapa suratnya kepada petinggi VOC, Heeren Zeventien di Belanda. Menurutnya, praktek asusila itu hanya akan mengakibatkan hal-hal negatif, seperti aborsi, pembunuhan bayi, dan terkadang meracuni suami oleh gundik yang cemburu.

Apalagi, dari pergundikan, kata Coen hanya akan melahirkan anak haram yang belum tentu diakui. Sebagai bukti ketegasannya memerangi penyakit moral orang Belanda di negeri Koloni, putri angkatnya sendiri, Sara Specx jadi korban. Sara yang diketahui berzina dengan serdadu rendahan, Pieter Cortenhoeff pun ditindak tegas. Lengkapnya kami pernah mengulas soalnya Skandal tersebut dalam tulisan “Kepala yang Dipenggal dan Tragedi Percintaan di Balik Istilah Hidung Belang.”

“Kenyataannya, pelacuran memang merupakan masalah yang kemudian dihadapi kota ini. Bahkan, orang nomor satu di Batavia itu pernah menghukum putri angkatnya Sara yang kedapatan 'bermesraan' dengan perwira muda VOC di kediamannya (Kasteel Batavia). Si perwira ini dihukum pancung, sementara si gadis didera dengan badan setengah telanjang. Eksekusi dilakukan di Balai Kota (kini Museum Sejarah Jakarta, JI Falatehan, Jakarta Barat),” tulis Alwi Shahab dalam buku Batavia: Queen of The East (2002).

Ilustrasi foto prostitusi di masa lampau (Sumber: Commons Wikimedia)

Hukum pelacuran zaman Belanda

Kendati upaya Coen belum membuahkan hasil, upaya mengurangi bisnis prostitusi tetap berlanjut di masa pemerintahan-pemerintahan Gurbernur Jenderal yang lain. Untuk itu, pada 1642 keluarkan peraturan yang melarang setiap keluarga pemeluk Kristen memperkerjakan perempuan pribumi sebagai pembantu rumah tangga dan melarang setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk berzina. Namun dalam peraturan ini tidak dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ‘perempuan baik-baik’ tersebut.

Alhasil, setelah diterapkan peraturan itu, banyak orang Eropa maupun Asia dihukum oleh pengadilan karena melanggengkan prostitusi dan perzinahan. Dikutip dari Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012), ia mencatat pada 1644 diketahui salah seorang perempuan Asia yang menjadi muncikari para pekerja seks atau lonte dihukum oleh pengadilan setempat.

"Vonis yang dijatuhkan pengadilan atas para mak comblang itu cukup ringan: hanya dua jam berdiri di lapangan di depan Balai Kota dengan papan diikatkan di bawah dagunya yang menyebutkan tindak pidana apa yang telah dilakukannya serta membayar denda 25 real,” ungkap sejarawan asal Belanda, Hendrik E. Niemeijer.

Itu baru hukuman bagi "mak comblang". Untuk pemilik rumah bordil hukumannya lebih berat lagi. Sara van Bali misalnya, pemilik salah satu rumah pelacuran pernah merasakannya. Pada 1644 tercatat, para pegawai kompeni sungguh gemar mendatangi rumah bordil milik Sara untuk menyalurkan kebutuhan biologis kepada seorang pekerja seks bernama Madellena. Saking ramainya, rumah bordil milik Sara mulai tercium otoritas setempat.

"Akibatnya, Sara masuk penjara perempuan selama dua tahun karena ‘mengelola sebuah rumah gulat’ sementara beberapa langganannya dikenakan hukuman cambuk di belakang Balai Kota,” tambah Hendrik.

Setali dengan itu, pemerintah Belanda juga mulai mendirikan Vrouwen-Tuchthuis (panti perbaikan Perempuan). Achmad Sunjayadi dalam buku (Bukan) Tabu di Nusantara (2018), mengungkap panti tersebut bertujuan merehablitisasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa serta melindungi mereka dari kecaman masyarakat.

Ilustrasi foto prostitusi di masa lampau (Sumber: Commons Wikimedia)

Sia-sia

Sayangnya, pemerintah Belanda dianggap kurang serius. Sebab, pada 1766 Kompeni justru mengeluarkan peraturan yang melarang para perempuan penghibur memasuki pelabuhan tanpa izin. Dalam artian, pelacuran menjadi bisnis yang masih medapat toleransi oleh pemeritah kolonial Belanda. disinyalir, kerangka aturan ini adalah buntut dari kebijakan yang dibuat di negeri induk, Belanda.

Peraturan itu, Kata Achmad Sunjayadi diperkenalkan oleh Napoleon yang ketika itu berkuasa di Eropa, termasuk Belanda. Alasannya, banyak serdadu yang merupakan tulang punggung militer menderita penyakit kelamin yang memengaruhi semangat bertempur mereka. Mau tak mau prostitusi menjadi kambing hitam.

“Dengan kata lain, prostitusi tetap diizinkan atau legal dengan persyaratan tertentu, antara lain para perempuan penghibur harus secara teratur diperiksa kesehatannya. Semacam jaminan bagi pelanggan supaya tidak tertular penyakit kelamin. Pengaturan prostitusi ini dikenal selama macam pendudukan Prancis di belanda. ketika Prancis meninggalkan Belanda pada 1813, peraturan ini turut lenyap. Namun, kembali diterapkan di sejumlah kotapraja di Belanda,” ujar Achmad Sunjayadi.

Lalu sejak tahun 1874, pengawasan terhadap prostitusi diserahkan kepada setiap residen. Alhasil, prostitusi pada praktiknya tak banyak yang berubah. Kelebihannya, hanya perempuan publik (istilah pada masa itu) diwajibkan mendaftarkan diri pada polisi dan diperiksa dokter setiap minggu.

Sampai menjelang akhir pemeritahan kolonial Belanda di Indonesia, beragam aturan yang mengatur prostitusi telah dibuat. Intinya sama, prostitusi cenderung diakui sebagai suatu bagian dari bisnis yang berjalan di tanah koloni. Kompeni hanya menguatkan peraturan perihal kesehatan para pekerja seks. Itulah mengapa Kompeni selalu gagal menghentikan pelacuran. Namun, dibanding urusan bisnis lainnya, urusan biologis inilah yang agaknya dipersiapkan secara serius, baik dari adanya payung hukum, bahkan juga infrastruktur.