Pieter Erberveld hingga Oey Tambah Sia: Crazy Rich Era Kolonial yang Dihukum Mati Penjajah Belanda
Potret eksekusi hukuman mati di Batavia tempo dulu. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Eksistensi seorang crazy rich telah hadir sejak era penjajahan Belanda. Ambil contoh sosok Pieter Erberveld crazy rich era VOC dan Oey Tambah Sia era pemerintah kolonial Hindia Belanda. Orang kaya dan sangat kaya itu dapat membeli apa saja, bahkan dengan sangat mudah.

Segala macam hasrat mampu diwujudkan. Namun, satu hal yang tak dapat beli: hukum. Keduanya dianggap mengganggu ketentraman di Batavia. Belanda menghukum mati keduanya dengan cara yang sadis khas penjajah.

Orang kaya dan sangat kaya kerap muncul di era penjajahan Belanda. Kekayaan itu bisa dari mana saja. Apalagi, di era berjayanya kongsi dagang Belanda, VOC. Jalan menjadi seorang kaya raya terbuka lebar, dari cara perjuangan hingga korupsi.

Para crazy rich pun tersebar di seantero Batavia. Pieter Erberveld, salah satunya. Pieter yang kerap disapa Tuan Gusti tercatat sebagai salah satu orang kaya di Batavia. Rumahnya berada di kawasan elit Jacatraweg (kini: Jalan Pengeran Jayakarta).

Ia terkenal sebagai tuan tanah di Batavia. Sekalipun banyak tanah diperoleh Pieter dari warisan orang tuanya. Kekayaan itu membuat sosok Pieter kesohor. Alih-alih sosoknya banyak dikenal oleh Belanda saja, Pieter justru banyak akrab dengan kaum bumiputra karena kemurahan hatinya.

Monumen pecah kulit dengan tengkorak Pieter Erberveld di Batavia. (Wikimedia Commons)

Kompeni pun mencoba mencari gara-gara. Ratusan hektar tanah milik Pieter coba direbut. Kompeni menggunakan kuasanya yang membuat tanah Pieter tampak tak sah. Kondisi itu membuat amarah Pieter muncul.

Siasat pun dimainkan. Ia berencana melakukan makar dengan skala besar. Ia ingin membunuh seluruh orang Belanda di Batavia. Ia juga mengajak seorang ningrat bumiputra, Raden Kartadria untuk memuluskan rencana makar.

Pieter memberikan opsi hari penyerangannya jatuh antara pada Tahun Baru atau Imlek pada 1722. Suatu momen yang dianggap tepat untuk menyerang Belanda karena mereka tengah menikmati kemeriahan pesta. Masalah muncul. Rencana Pieter dan rekan-rekan bumiputranya bocor.

Kompeni ambil sikap dan segera menangkap seluruh antek-anteknya. Empunya kuasa kemudian mengeksekusi semua yang terlibat dengan keji. Pieter sendiri dieksekusi dengan cara paling menyakitkan.  

Kaki dan tangan diikat ke empat kuda. Kemudian, kuda-kuda itu berlari berlawanan arah yang membuat kulit Pieter pecah. Kepala Pieter pun dipengal dan ditancapkan ke tombak. Setelahnya, tengkorak kepalanya ditempatkan di suatu prasasti kutukan di Jacatraweg (kini: prasasti pecah kulit sudah dipindah ke Museum Taman Prasasti).

“Tiga hari sebelum pembunuhan orang-orang Kompeni hendak dilancarkan, semua peserta pertemuan, yang sedang berlangsung di rumah Erberveld, ditangkap. Peserta rapat ini dihadapkan pada pengadilan luar biasa, yang ditekan oleh Gubernur Jenderal. Karena tiada bukti, mereka disiksa dengan kejam sampai mengaku; lalu dihukum mati.”

“Hukuman mati dilaksanakan pada tanggal 22 April 1722. Erberveld dan Kartadria bersama 17 pengikut orang bumiputra (di antaranya tiga orang wanita) dibunuh secara sadis di lapangan sebelah selatan Benteng Batavia (kini: daerah sekitar Jalan Tongkol). Tubuh mereka semua dicincang dan jantung dicopot. Erberveld sendiri lalu ditarik ke empat penjuru dengan empat kuda sampai pecah menjadi empat bagian,” ujar Sejarawan, Adolf Heuken dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016).

Crazy Rich Banyak Ulah

Crazy rich era pemerintah kolonial Hindia Belanda tak mau kalah. Oey Tambah Sia, namanya. Oey kaya raya karena mewarisi harta –tanah, usaha, hingga perhiasan—orang tuanya. Kekayaan itu membuat pria yang lahir pada 1827 tumbuh jadi pribadi yang suka foya-foya.

Kebiasaannya mengumbar kekayaan tiada dua. Ia kerap memulai ritual kesombongan dengan buang air besar di kali depan rumahnya. Ia selalu bercebok dengan uang kertas. Aktivitas itu membawa kehebohan. Sebab, setelah Oey selesai buang hajat, orang-orang memperebutkan uang kertas itu.

Kebiasaan itu belum seberapa besar. Oey dikenal pula bak pezina nomor wahid di Batavia. Ia merasa mampu menaklukkan wanita mana saja –gadis atau janda-- dengan kekerasan dan uangnya. Kondisi itu membuat banyak orang tua menutup rumahnya kala Oey lewat.

Potret ilustrasi terkait sosok Oey Tambah Sia. (Wikimedia Commons)  

Mereka tak ingin Oey dengan centengnya melihat anak gadis mereka. Sebab, kala Oey sudah melihat, hampir pasti wanita yang ada di rumah itu dapat dikencaninya. Oey bahkan memiliki haremnya sendiri di Ancol. Harem itu bernama Bintang Mas. Di sana, Oey kerap bersenang-senang dengan berganti-ganti wanita.

Masalah muncul kala Oey jatuh cinta kepada pesinden, Mas Ajeng Gunjing. Mulanya Mas Ajeng ditempatkan di Bungalow Bintang Mas. Belakangan, Oey tertarik memboyong pulang ke rumahnya di Tangerang. Petaka pun muncul. Oey terbakar cemburu.

Ia membunuh saudara Mas Ajeng, Mas Sutejo yang membuatnya cemburu secara diam-diam. Namun, pembantu Oey melihat semua kejadian itu. Oey pun meracuninya. Oey lalu memfitnah seorang China rivalnya, Liem Soe King sebagai pelakunya. Niatan itu tak berhasil.

Buku yang mengisahkan kehidupan Oey Tambah Sia, karangan Tjoa Boan Soeij. (Wikimedia Commons)

Pemerintah Hindia Belanda ambil sikap. Penyelidikan dilakukan. Oey dianggap terbukti melakukan pembunuhan dua pembunuhan. Narasi itu membuat Oey divonis hukuman mati. Ia pun dihukum gantung pada 1856.  

“Oey betah tinggal di rumah menikmati bulan madunya. Setelahnya kebinalannya kambuh lagi. Ia hampir tak pernah pulang. Sebagian besar waktunya dilewatkan di Bintang Mas, Ancol untuk bersenang-senang dengan istri bekas tukang kelontongnya itu.”

“Agaknya dia belum puas dengan istri sah dan sejumlah simpanan tetap maupun sementara. Ia masih saja memangsa anak orang. Gadis-gadis banyak yang menjadi korban nafsunya. Konon, para orang tua Betawi main ketat mengurung anak dara mereka. Mereka bahkan dilarang melongok dari pintu atau jendela rumah karena khawatir riwayat Gang Kenanga akan berulang. Oey jadi lebih sering memangsa istri-istri orang dengan bantuan kaki tangannya, karena gadis sukar diperoleh,” terang Siswandi dalam buku Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988).