Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 75 tahun yang lalu, 26 Maret 1949, penjajah Belanda dengan jubah Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) jatuhkan vonis mati kepada Robert Wolter Mongisidi. Pejuang kemerdekaan itu dianggap kerap merepotkan Belanda.

Satu-satunya opsi yang bisa diambil Belanda adalah membunuhnya. Sebelumnya, amarah Mongisidi terbakar kala Belanda kembali berniat menguasai Indonesia. Ia pun tak ingin lagi hidup bak bangsa terjajah. Perlawanan pun dilakukan. Sekalipun maut jadi risiko utamanya.

Niatan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia mendapatkan tentangan dari sana-sini. Mereka tak ingin kembali lagi hidup sebagai bangsa terjajah. Hidup terhina dan jadi bangsa kelas tiga. Robert Wolter Mongisidi pun tak mampu menahan amarah mengingat nelangsanya hidup sebagai bangsa terjajah.

Pria kelahiran Malalayang, Manado 14 Februari 1925 yang sehari-hari hidup sebagai guru merasa terpanggil melawan Belanda. Armada perang NICA yang datang bejibun tak jadi soal. Kondisi itu tak lantas buat nyali Mongisidi yang hijrah ke Makassar menciut.

Keluarga Wolter Mongisidi melakukan ziarah ke makamnya di Makassar pada 1950. (Wikimedia Commons)

Amarahnya justru kian tak tertahankan. Ia pun mencoba mengabdikan dirinya untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Makassar. Mongisidi bergabung dengan laskar Laskar Lipan Bajeng. Momentum itulah ia banyak berkenalan dengan pejuang kemerdekaan termasuk Maulwi Saelan.

Kehadiran laskar itu tak lain untuk mewujudkan cita-cita Indonesia dapat mempertahankan kemerdekaan. Mongisidi dan Laskar Lipan Bajeng lalu meleburkan diri dalam Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada 17 Juli 1946.

Semenjak itu nama Mongisidi kesohor dalam perang gerilya. Ia berkali-kali merepotkan Belanda. Sekalipun dengan persenjataan terbatas. Alih-alih hanya lihai dalam mengatur strategi perlawanan, Mongisidi juga lihai dalam mencari informasi. Kuasa itu membuat Mongisidi kerap unggul kala kontak senjata terjadi.

“Laskar Lipan Bajeng adalah kumpulan pejuang muda yang bermarkas di Polongbangkeng, Takalar. Sebagian besar anggotanya, termasuk Emmy, Wolter, juga Maulwi Saelan, adik lelaki Emmy, adalah pelajar dari Sekolah Menengah Pertama Nasional Makassar. Mereka membentuk pasukan lantaran memiliki cita-cita yang sama: melawan penjajah Belanda yang merangsek ke Sulawesi Selatan sejak September 1945.”

“Walaupun Wolter pergi bukan untuk berperang, Emmy tampak berat hati melepasnya. Emmy tahu perjalanan ke kota akan sulit dan berbahaya karena semakin banyak tentara NICA menduduki sebagian besar wilayah di sekitar Makassar,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Kandas Cinta Beda Agama (2017).

Sejumlah siswa SMU membersihkan makam salah satu Pahlawan Nasional, Robert Wolter Monginsidi di Taman Makam Pahlawan Panaikang, Makassar, Sulsel, Jumat (9/10/2012). Kegiatan tersebut dalam rangka Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November. (Antara/Dewi Fajriani/Koz/Spt/12)

Gebrakan perlawanan yang dilakukan Mongisidi dan kawan-kawan buat Belanda gerah. Mereka jadikan Mongisidi sebagai target penting. Usaha itu membawakan hasil. Mongisidi dapat ditangkap dan di penjara pada 27 Oktober 1947.

Penangkapan itu membuat Mongisidi lantas tak dapat berbuat banyak. Ia mengisi hari-hari dengan menulis syair di penjara. Masalah muncul. Mongisidi dianggap bertanggung jawab terhadap banyaknya serangan ke Belanda di Makassar.

Narasi itu membuatnya divonis penjajah Belanda hukuman mati pada 26 Maret 1949. Suatu hukuman yang dirasa dapat memutus mata rantai perlawanan bangsa Indonesia. Nyatanya anggapan itu salah besar. Boleh jadi Mongisidi telah dieksekusi regu penembak pada 5 September 1949, tapi kepergiannya justru jadi bahan bakar perlawanan yang lebih besar.

“Selanjutnya Monginsidi mengisi harinya dengan menulis syair. Syair-syair Mongisidi bisa dibilang religius. Dia menulisnya diatas kertas apa saja, termasuk kertas bekas bungkus roti kiriman kawan-kawannya: Vonis mati pengadilan membuat mimpinya untuk terus belajar mati. Menulis adalah kegiatan penting Mongisidi yang menunggu hukuman matinya.”

“Monginsidi menjalani hukuman mati di hadapan regu tembak tentara Belanda, seperti tuntutan mati oleh Jaksa Agung NIT Soumokil pada 26 Maret 1949. Walter dan kawan-kawannya dituduh sebagai gerombolan tidak bertanggungjawab yang mengacau layaknya penjahat atau ekstrimis,” terang Petrik Matanasi dalam buku Pemberontak Tak (Selalu) Salah (2009).