JAKARTA – Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 24 Maret 2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan rakyat Indonesia harus berani memisahkan antara politik dan agama. Jokowi menyebut hal itu penting karena fenomena kontestasi politik belakangan kerap menggunakan sentimen agama supaya menang.
Sebelumnya, politik identitas kerap hadir dalam kontestasi politik sekelas Pilkada. Narasi itu kian kuat kala Pilkada DKI Jakarta 2017 digelar. Kampanye identitas menjelma jadi siasat ampuh untuk menarik suara.
Pesta demokrasi sudah seharusnya dirayakan dengan suka cita. Namun, narasi itu hanya berlaku di atas kertas. Pelaksanaan di lapangan justru sering kali berbeda. Ambil contoh dalam pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2017.
Mulanya Pilkada yang menghadirkan tiga pasangan Cagub-Cawagub berjalan dengan gegap gempita. Apalagi, dua di antaranya adalah calon kuat – Anies Baswedan dan Sandiaga Uno melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)- Djarot Saiful Hidayat.
Kedua pasangan mencoba berkampanye dengan mengadu gagasan. Namun, kubu Anies dan Sandi tak merasa adu gagasan adalah satu-satunya cara untuk menang. Siasat lainnya digunakan untuk menang: politik identitas. Siasat itu dianggap ampuh karena lawannya --Ahok-- berasal dari agama minoritas.
Kampanye politik identitas pun punya pengaruh besar. Masing-masing pendukung Cagub-Cawagub dibuat tak akur. Bahkan, di antara keluarga yang beda pilihan terjadi permusuhan. Politik identitas pun mulai merasuk dalam rumah-rumah ibadah.
Instruksi memilih mereka yang seiman terjadi. Kondisi itu menjalar ke mana-mana. Efek yang paling dashyat adalah mereka yang pro terhadap Ahok tapi Muslim takkan mau sholatkan jenazah jika meninggal dunia. Spanduk itu muncul di beberapa masjid di Jakarta.
Kondisi itu jelas mencoreng wajah Indonesia yang multikultural. Perbedaan seharusnya jadi kekuatan, bukan bagian dari melemahkan satu sama lainnya.
“Anies-Sandi sukses dengan meluncurkan kampanye identitas yang sangat sectarian. Termasuk (dengan seruan prejudis) di rumah-rumah ibadah, yang rawan memicu konflik horizontal dan vertikal (karena mantan pasangan Ahok kemudian jadi Presiden). Populisme memang secara sadar diadopsi dan diluncurkan dengan mengorbankan kelompok minoritas demi meraih kursi kekuasaan,” terang Poltak Partogi Nainggolan dalam buku Transisi dan Kandasnya Konsolidasi Demokratis Pasca-Soeharto (2021).
Presiden Jokowi pun mengendus hadirkan politik identitas dalam Pilkada DKI Jakarta putaran pertama. Ia menganggap hal itu lama-lama justru membawa perpecahan, ketimbang persatuan. Ia ingin menghentikan tren politik identitas dalam Pilkada.
BACA JUGA:
Ia pun mengimbau seluruh rakyat Indonesia untuk memisahkan antara politik dan agama pada 24 Maret 2017. Pemisahan itu dilakukan menghindari konfik horizontal akan suku dan agama. Sebab, keragaman adalah kekuatan Indonesia yang sebenarnya. Kekuatan yang mempersatukan, bukan memisah.
"Memang gesekan kecil-kecil kita ini karena pilkada, karena pilgub, pilihan bupati, pilihan wali kota, inilah yang harus kita hindarkan. Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik.”
"Saya hanya ingin titip ini mumpung pas di Sumatera Utara, ingin mengingatkan semuanya bahwa bangsa kita terdiri dari macam-macam suku dan agama, bermacam-macam ras. Suku yang saya ingat, Suku Gayo, Suku Batak, Suku Sasak, Suku Minang, Suku Dayak, Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Betawi, yang paling ujung timur Suku Asmat, Suku Bugis, dan yang lain-lainnya," sebut Jokowi saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara sebagaimana dikutip laman Kompas.com, 24 Maret 2017.