Bagikan:

JAKARTA - Vietnam pernah dapat predikat sebagai salah satu negara terkorup dunia. Korupsi berjalankan secara sistematis, dari atasan hingga bawahan. Niatan pemberantasan korupsi memang pernah didengungkan. Namun, tak dapat menyentuh pejabat dan petinggi partai penguasa: Partai komunis Vietnam.

Semuanya berubah pada 2016. Nguyen Phu Trong ada di baliknya. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Komunis itu membuat gerakan antikorupsi tungku pembakar. Pejabat tinggi ditangkap. Bahkan, dua Presiden Vietnam --Nguyen Xuan Phúc dan Vo Van Thuong sampai mundur.

Praktek korupsi sudah lama mewabah di seantero Vietnam. Sistem satu partai yang dianut Vietnam jadi musabab. Kondisi itu membuat Partai Komunis Vietnam jadi penentu segalanya. Jika partai menghendaki korupsi berjamaah, maka korupsi dapat merajalela.

Perjumpaan Sekjen Partai Komunis Vietnam, Nguyen Phu Trong dengan Presiden Joe Biden di Amerika Serikat pada 2023. (Wikimedia Commons

Tiada yang dapat menyetop perilaku koruptif itu. Pejabat setempat, apalagi. Partai itu bak tameng bagi pejabat yang korup. Kondisi itu membuat pejabat hingga anggota partai terlalu sibuk untuk menjadi kaya raya dengan korupsi, ketimbang bekerja. Rakyat pun jadi korban.

Semuanya berubah kala Nguyen Phu Trọng menjabat pimpinan tertinggi Partai Komunis sedari 2011. Sekjen Partai Komunis itu sudah gerah dengan praktek korupsi yang merajalela. Ia ingin memberantas korupsi dan memurnikan Partai Komunis Vietnam dari koruptor.

Pesimisme pun mengiringi keinginan Trong. Nyatanya, Trong mampu membungkam banyak pihak. Nyali tinggi. Ia membuat gerakan antikorupsi tungku pembakar. Partai Komunis bak mengambil alih kuasa pemerintah dalam menindak koruptor.

Perjumpaan Presiden Vietnam, Nguyen Phu Trong dengan Presiden, Vladimir Putin di Rusia pada 2018. (Wikimedia Commons)

Hasilnya gemilang. Barang siapa yang kedapatan korupsi segera dihukum. Sesuai namanya, tungku pembakar, gerakan antikorupsi itu mampu dengan cepat menjalar seperti api menghukum koruptor.

Pejabat yang dipecat karena korupsi dan di penjara bejibun. Trong pun sampai memberikan dua opsi kepada para koruptor supaya tak dibikin malu oleh Partai Komunis Vietnam. Pertama, Trong meminta pelaku korupsi mengundurkan diri dan akan dihukum ringan. Kedua, mereka yang tak mengakui dan kedapatan korupsi akan hukum berat.

“Sejak Trong memulai kampanye antikorupsi ‘tungku pembakar’ pada tahun 2016, tak terhitung banyaknya pejabat yang dipecat, diberhentikan dari partai, atau dipenjara karena korupsi. Misalnya, Menteri Kesehatan saat itu, Nguyen Thanh Long dan duta besar Vu Hong Nam, secara resmi dipecat tahun lalu karena tindakan korupnya seputar respons pandemi COVID-19 di negara tersebut.”

“Beberapa pakar berpendapat bahwa partai tersebut kini ingin menciptakan ‘budaya pengunduran diri,’ sehingga para pejabat yang tidak bertanggung jawab dapat mengambil tindakan sebelum mereka harus disingkirkan. Trong menyarankan agar mereka yang mengundurkan diri diberikan hukuman lebih ringan. Trong berpendapat tidak baik jika semuanya dihukum berat, atau dicopot dari jabatannya,” terang David Hutt dalam tulisannya di laman The Diplomat berjudul Vietnam’s Anti-Corruption Drive Can Never Go Far Enough (2023).

Dua Presiden Vietnam Mundur

Imbas gerakan antikorupsi yang digulirkan Trong menjalar ke segala lini. Pejabat negara kian ketakutan dalam mengeluarkan perizinan. Ketakutan itu membuat pertumbuhan ekonomi di Vietnam melambat. Sebab, pejabat enggan memberi lampu hijau terkait proyek pengadaan barang atau investasi baru.

Mereka beranggapan dengan tak memberi lampu hijau, maka mereka terhindar dari korupsi. Kondisi itu membuat Trong diminta untuk mengendorkan sedikit kampanye antikorupsi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Trong pun justru menjawab dengan terus menindak mereka yang korup, atau membantu koruptor.

Apalagi, kala Trong menjadi Presiden Vietnam era 2018-2021. Tiada pejabat yang berani bermain mata dengannya. Kondisi itu berlangsung hingga ia turun takhta dan memilih fokus kembali sebagai Sekjen Partai Komunis Vietnam.

Masalah muncul. Penerusnya sebagai Presiden Vietnam, Nguyen Xuan Phuc justru memiliki kekurangan. Ia bukan orang yang tepat untuk memimpin Vietnam. Phuc dianggap memiliki masa lalu buruk kala ia menjadi Perdana Menteri era 2016-2021.

Presiden Vietnam 2021-2023, Nguyen Xuan Phuc yang mengundurkan diri karena terlibat korupsi. (Anadolu Agency)

Phuc dinilai bertanggung jawab atas korupsi yang dilakukan beberapa menteri senior.  Masing-masing dua wakil perdana menteri dan tiga menteri. Kondisi itu membuat Phuc yang notabene Presiden Vietnam memilih opsi mengundurkan diri dan pensiun pada Januari 2023.

Kondisi yang sama hadir lewat pengganti Phuc, Vo Van Thuong. Awalnya Presiden Vietnam itu dianggap figur antikorupsi sekalipun penerus kebijakan Trong. Nasib berkata lain. Alih-alih berani melebihi Trong, Thuong dianggap tak jauh beda dari Phuc.

Thuong dianggap main mata dengan koruptor. Thuong memilih opsi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Vietnam pada Maret 2024. Fakta itu membuat gerakan antikorupsi yang digulirkan Trong terhitung efektif.

Presiden Vietnam 2023-2024, Vo Van Thuong yang juga harus mengundurkan diri karena terlibat korupsi. (Wikimedia Commons)

Suatu gerakan yang disebut Trong sebagai ajian membasmi korupsi dari bumi Vietnam. Sekalipun rakyat Vietnam takut tabiat korupsi akan kembali lagi kala Trong yang sudah sepuh meninggal dunia atau pensiun dari jabatan Sekjen Partai Komunis.

“Kampanye ini meluas hingga ke tingkat atas kepemimpinan partai dalam beberapa tahun terakhir. Pendahulu Thuong, Nguyen Xuan Phuc, mengundurkan diri pada Januari 2023. Kepergiannya terjadi setelah pihak berwenang mengatakan bahwa jajarannya terlibat korupsi.”

“Antara lain dua wakil perdana menteri dan tiga menteri. Mereka diangga melakukan korupsi sehubungan dengan dua skandal yang melibatkan distribusi alat tes COVID-19 dan pemulangan warga Vietnam selama pandemi. Pada bulan Maret 2023, Thuong lalu mengganti Phuc jadi presiden Vietnam,” ujar Sui Lee Wei dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Vietnam’s President Resigns Over Communist Party Breaches, State Media Says (2024).