Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, delapan tahun yang lalu, 1 November 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang para ulama dan pimpinan Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke Istana Negara. Jokowi mengimbau ulama untuk menjaga keutuhan NKRI.

Sebelumnya, aksi Gubernur DKI Jakarta, Ahok yang secara serampangan mengartikan surat Al Maidah 51 dikecam banyak pihak. Suasana segera panas dijadikan ajian politik identitas dalam rangka kampanye Pilgub 2017 mendatang dan memecah belah umat Islam.

Banyak negara di dunia mulai memisahkan antara ranah politik dan agama. Kondisi itu membuat agama tak jadi barang ‘dagangan’ para politikus. Belum lagi potensi penistaan agama karena memainkan ayat-ayat suatu kitab suci.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah merasakannya apesnya mengutip ayat Al Quran dengan serampangan. Ahok yang dalam kapasitasnya sebagai pemimpin Jakarta mengutip Surat Al Maidah 51 dalam kunjungan kerjanya ke Kepulauan Seribu pada September 2016.

Ahok menganggap Surat Al Maidah 51 sering dijadikan alat kebohongan untuk menjatuhkan mereka yang nonmuslim. Pernyataan itu membangun dua persepsi. Pandangan pertama Al Maidah membohongi masyarakat. Pandangan kedua mengarah kepada pemakai Al Maidah yang membohongi masyarakat.

Ulama dan pemimpin Ormas Islam memberikan penyataan setelah berjumpa Presiden Jokowi didampingi Menko Polhukam, Wiranto. (Biro Pers Kepresidenan)

Rakyat pun berang dan menganggap pernyataan pertama jadi satu-satunya pesan yang ingin dimainkan Ahok. Pro dan kontra pun muncul. Tak jarang pula ada kaum ulama yang lebih dulu panas tanpa berpikir akibat lebih lanjut.

Kondisi itu membuat rakyat Indonesia terbelah. Keberagaman yang dulu dijunjung tinggi kian terganggu. Suasana panas lalu semakin diperparah oleh kubu lawan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang, Anies Baswedan, dan Sandiaga Uno. Kampanye identitas coba dimainkan. Amarah masyarakat pun kian mudah tersulut.

Mereka dianggap telah tersinggung dengan pernyataan Ahok. Kondisi itu kemudian digaungkan ke mana-mana. Front Pembela Islam (FPI) dan lainnya mulai bersiap menggalang dukungan untuk aksi besar-besaran menuntut Ahok di penjara.

“Anies-Sandi sukses dengan meluncurkan kampanye identitas yang sangat sektarian, termasuk (dengan seruan prejudis) di rumah-rumah ibadah, yang rawan memicu konflik horizontal dan vertikal (karena mantan pasangan Ahok kemudian jadi Presiden). Populisme memang secara sadar diadopsi dan diluncurkan dengan mengorbankan kelompok minoritas demi meraih kursi kekuasaan,” ujar Poltak Partogi Nainggolan dalam buku Transisi dan Kandasnya Konsolidasi Demokratis Pasca-Soeharto (2021).

Potensi konflik besar yang bersinggungan dengan agama dapat kapan saja terjadi. Presiden Jokowi pun segera ambil sikap pada 1 November 2016. Jokowi mengundang segenap ulama dan petinggi dari Ormas Islam: Muhammadiyah, NU, dan MUI.

Jokowi bermaksud mengajak seluruh ulama dan Ormas Islam untuk menjaga keutuhan NKRI. Bukan malah memecah belah. Ia menginginkan ulama untuk segera bertindak menenangkan suasana demi teduhnya situasi politik di Indonesia.

Jokowi menganggap Islam dan Keindonesiaan tak harus dipertentangkan. Keberagaman adalah nilai penting dan jadi kekuatan Indonesia.

"Kami berharap bahwa ulama juga berani mengambil sikap tegas bahwa antara Islam dan ke Indonesiaan bukan harus dipertentangkan, tetapi marilah kita bersama-sama kita jaga, kita pelihara, kita perjuangan ke-Indonesiaan kita.”

"Kita percaya para ulama merupakan penerus nabi dan tugasnya membawa kabar yang baik, menjaga umat, memberikan peringatan, memberikan tuntunan kepada umat dan kita semuanya," kata Jokowi sebagaimana dikutip laman kompas.com, 1 November 2016.