JAKARTA – Tanggal 28 September di Indonesia diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Ikrar kebangsaan ini lahir dari Kongres Pemuda Kedua, yang digelar di bawah pimpinan Soegondo Djojopoespito di tiga tempat di Jakarta pada 27-28 September 1928.
Ketiga tempat tersebut adalah Katholieke Jongenlingen Bond, Oost Java Bioscoop, dan Indonesische Clubgebouw. Kongres diikuti sembilan perkumpulan kaum muda di Hindia Belanda, yaitu: Jong Java, Jong Celebes, Jong Soematra, Jong Bataksbond, Sekar Roekoen, Pemoeda Indonesia, Jong Islamieten, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar2 Indonesia.
“Perceraiberaian itu wajiblah diperangi, agar kita dapat bersatu” begitu sambutan Soegondo dalam pembukaan kongres di Gedung Katholieke Jangenlingen Bond pada 27 September 1928.
Singkat cerita, dari kongres yang diikuti sembilan perkumpulan kaum muda di Hindia Belanda tersebut lahirlah sebuah keputusan: Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku Bertumpah Darah yang Satu, Tanah Air Indonesia; Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku Berbangsa yang Satu, Bangsa Indonesia; Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Ketidakpuasan Terhadap Parpol
Seusai Perang Dunia I banyak gerakan dan organisasi bermunculan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Mereka bertujuan sama yaitu nasionalis, namun berbeda-beda dalam taktik, tujuan langsung, serta ketajaman persepsi tentang arti kemerdekaan berbangsa.
Organisasi-organisasi itu muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap partai politik (parpol) yang kerap bersikap ambigu. Para pemuda lantas berontak terhadap kondisi tersebut.
Pemberontakan kolektif yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pemuda di berbagai negara, pada dasarnya bertujuan melakukan perubahan politik, sosial, dan budaya di tempat mereka berada.
Para kaum muda mengajak masyarakat untuk pindah haluan. Mereka khawatir akan kemungkinan ancaman pergolakan politik, kehilangan hak-hak sipil, kerusakan lingkungan sosial, hingga kondisi ekonomi yang memburuk.
BACA JUGA:
Menurut sosiolog Karl Mannheim (1928), konstelasi generasi mencerminkan disposisi mental yang berbeda dari setiap generasi. Para pemuda berusaha memberikan cakrawala intelektual yang berbeda, dalam sebuah persepsi sejarah yang sangat spesifik.
Yang terjadi di Hindia Belanda tentu saja perasaan sebagai warga negara kelas dua akibat kolonialisme. Sehingga tuntutan untuk bebas dan merdeka dari belenggu penjajahan lantas digaungkan.
Buah Percepatan Industri
Percepatan industri yang terjadi di Eropa pada akhir abad ke-19, membuat kaum muda pribumi di Hindia Belanda tergugah. Mereka merasa lebih “melek” terhadap perubahan di luar sana. Pengetahuan dan pengalaman generasi yang lebih tua dianggap sudah tak lagi relevan.
Hal ini dibarengi dengan perkembangan kultus pemuda, seiring produksi industri, perkembangan budaya perkotaan, dan ekonomi kapitalis. Situasi tersebut mengutamakan kaum muda, karena mereka dianggap lebih kuat, lebih dinamis, dan lebih terbuka terhadap perubahan.
Sementara di sisi lain, generasi tua yang kolot masih berada di pusat kekuasaan politik. Mereka juga berusaha untuk mempetahankan keberadaan mereka sebagai penentu masa depan, dan tentu saja sudah sarat kepentingan untuk mempertahankan kemapanan.
Reformasi pendidikan masa itu juga menjadi penentu para pemuda pribumi Hindia Belanda untuk lebih berpartisipasi dalam politik. Rasa percaya diri mereka semakin tinggi berkat keberadaan media massa yang mulai tumbuh. Kondisi seperti ini sangat diperlukan, khususnya di masa pergolakan.
Sebagai generasi yang bakal mengambil alih kekuasaan, kaum muda perlu dianggap oleh para pendahulu yang sudah lebih tua. Persepsi semacam ini yang akhirnya menyulut pergerakan kaum muda Hindia Belanda, hingga akhirnya melahirkan Sumpah Pemuda. Dan itu adalah salah satu peristiwa terbesar dalam perjalanan Bangsa dan Negara Indonesia.