Bagikan:

JAKARTA - Soeharto dan Orde Baru (Orba) punya cara sendiri melihat prajurit TNI yang punya potensi. The Smiling Jenderal menjadikan mereka sebagai ajudan pribadi. Kecakapan seorang ajudan dinilainya dengan teliti. Barang siapa yang berhasil menjadi ajudan dengan baik, niscaya akan kebagian manfaat.

Beda hal dengan mereka yang tidak menjalankan dengan baik. Mereka boleh jadi diasingkan. Contoh sukses seorang ajudan Soeharto yang menjadi tokoh besar melimpah. Wiranto, misalnya. Ia ajudan yang kemudian jadi Panglima TNI.

Posisi sebagai ajudan presiden era Orba tak dapat dianggap remeh. Posisi itu jadi ujian paling menentukan dalam karier militer seorang prajurit. Efektivitas bekerja sebagai ajudan tak perlu dipertanyaan. Barang siapa yang dapat melayaninya dengan baik, sudah pasti jalur kariernya berjalan mulus.

Semua itu karena Soeharto termasuk pemimpin yang teliti. Ia dapat menilai seseorang dari posisinya sebagai ajudan. Loyalitas dan kapabilitas bisa langsung dilihatnya. Namun, Soeharto butuh bantuan orang lain dalam mencari ajudan.

Kandidat ajudan kadang kala muncul dari saran dari Kapolri atau Panglima TNI. Rekomendasi pun tak pernah satu atau dua. Kadang juga bisa mencapai belasan hingga puluhan prajurit. Puncaknya, Soeharto atau keluarganya – biasanya Ibu Tien atau anak dan menantu—memengaruhi penilaian.

Mantan Panglima TNI, Wiranto dan Prabowo Subianto yang sempat dekat lalu renggang kala Soeharto lengser. (ANTARA)

Tanpa dukungan itu kiranya sulit bagi siapa saja menjadi ajudan presiden. Ambil contoh kala nama Wiranto muncul jadi ajudan. Lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) pada 1968 itu takkan bisa jadi ajudan tanpa bantuan dari keluarga Soeharto.

Pucuk dicinta ulam tiba. Eksistensi Wiranto di militer dipahami oleh menantu Soeharto, Prabowo Subianto. Andil Prabowo (kini: Presiden Indonesia ke-8) besar. Ia menyarankan orang yang mengurus pangkat dan jabatan Kostrad, Kivlan Zen memasukkan nama Wiranto sebagai kandidat ajudan Presiden Soeharto.

Wiranto yang notabene lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) pada 1968 direkomendasikan bersama 13 perwira lainnya. Puncaknya, Soeharto memilih Wiranto jadi ajudannya dari 1989-1993.

“Prabowo Subianto, pada Januari 1989 melalui Kivlan Zen menyarankan Wiranto untuk menjadi ajudan Presiden. Saran ini disampaikan Kivlan Zen kepada Pangkostrad, walaupun sebenarnya antara Kivlan zen dan Wiranto ada ketidakcocokan, terutama karena Wiranto mengagalkan Kivlan Zen menjadi Komandan Batalyon pada Oktober 1985.”

“Saat itu, Kivlan Zen menjadi siswa SusDanYon dan Wiranto sebagai Komandan Sekolah SusDanYon di Pussenif Bandung. Namun, untuk menghormati Prabowo, Kivlan Zen tetap menyampaikan usulan ini kepada Pangkostrad dan KASAD. Akhirnya Wiranto diangkat menjadi ajudan Presiden,” ujar Kivlan Zen dalam buku Refleksi Internal TNI AD 1945-2021 (2021).

Dari Ajudan ke Panglima TNI

Wiranto senang bukan main bisa menjadi ajudan Presiden Soeharto. Jabatan itu diseriusinya. Ia tak mau terlihat sebagai ajudan amatir. Ia mencoba meriset bagaimana Soeharto dalam kesehariannya. Soeharto dianggap mudah tersinggung.

Urusan jadi runyam kala Soeharto tersinggung. Soeharto dianggapkan sering mendiamkan orang yang tak disukainya dalam waktu yang lama. Wiranto pun mulai mencoba memahami suasana hati Soeharto dari omongan rekan-rekannya yang pernah berjumpa Soeharto.

Hari pertamanya jadi ajudan pun dilakukan dengan kerja keras. Handoko Prasetyo rekan Wiranto yang sama-sama jadi ajudan Soeharto menuturkan hari pertama Wiranto diisi dengan mempelajari buka-tutup pintu mobil dinas Soeharto.

Tugas itu harus jadi mendasar karena bisa jadi biang keladi Soeharto tersinggung kalau keras-keras menutup pintu. Wiranto pun memangkas kumisnya karena ada isu Soeharto tak suka orang memiliki kumis.

Wiranto pun belajar cepat melayani Soeharto. Hasilnya gemilang. Soeharto kagum dengan cara kerja Wiranto. Soeharto pun tak jarang membagikan pengalamannya kepada Wiranto, dari bermain golf hingga siasat perang. Wiranto pun kerap mendampingi Soeharto ke ragam hajatan negara.

Jaringan Wiranto kian luas karenanya. Keakraban itu membuat Soeharto bak menyiapkan Wiranto menjadi pemimpin TNI di masa yang akan datang. Benar saja. karier Wiranto langsung melesat setelah jadi ajudan Soeharto.

Wiranto menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kasdam Jaya) era 1993-1994, Kodam Jaya era 1994-1996, Panglima Kostrad era 1996-1997, Kepala Satuan Angkatan Darat (KASAD) era 1997-1998. Puncaknya, Wiranto kemudian dilantik sebagai Panglima TNI pada Februari 1998.

“Hanya satu tahun tiga bulan, Wiranto kembali memperoleh promosi ketika ià diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Belum genap setahun-tepatnya delapan bulan-ia ditunjuk sebagai Panglima Angkatan Bersenjata. Handoko berucap: Dalam pengamatan saya, Pak Harto memang menyiapkan Pak Wiranto untuk menjadi pemimpin Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Panglima TNI),” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Satu Ayunan di Pintu Mercy (2009).