Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 55 tahun yang lalu, 15 November 1967, Panglima ABRI, Jenderal Soeharto menganugerahkan penghargaan Satyalencana Penegak kepada Mangil Martowidjojo. Mantan pemimpin Detasemen Kawal Pribadi (DKP) itu dianggap berjasa kepada negara.

Ia menjalani perannya sebagai ajudan presiden dengan baik. Namun, penghargaan itu tak cukup membuat posisi Mangil aman-aman saja. Ia kemudian segera disingkirkan Soeharto seperti loyalis Bung Karno yang lainnya. Mangil kemudian menjadi tahanan militer selama tiga tahun.

Loyalitas Mangil Martowidjojo tak perlu diragukan. Ia telah menjadi ajudan Soekarno sejak lama. Bahkan, semenjak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia digaungkan. Raden Said Soekanto (kemudian jadi: Kapolri Pertama) telah menugaskan Mangil untuk mengawal Soekarno dan Mohammad Hatta di Pengangsaan Timur 56.

Ia dengan siap sedia mengaman jalannya peristiwa bersejarah itu. Penugasannya mengawal Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tak lantas berakhir. Ia ikut menjadi salah satu polisi yang mengawal Soekarno, Hatta, Fatmawati, dan lainnya naik kereta menuju Yogyakarta.

Mangil Martowidjojo (paling kanan) bersama Presiden Soekarno. (Istimewa)

Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai awal mula pindahnya Ibu Kota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Setelahnya, karier Mangil terus moncer. Ia dipercaya Soekarno untuk menjadi pimpinan dari DKP. Sebuah badan yang banyak orang kenal sebagai Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres).

Kepercayaan Soekarno kepada Mangil terus meningkat. Pun dalam berbagai upaya percobaan pembunuhan Soekarno, Mangil selalu terdepan dalam menyelematkan nyawa Putra Sang Fajar. Bung Karno pun tak pernah meragukan peran Mangil. Ia tak mau minta pengamanan tambahan. Sebab, Mangil dan lainnya sudah lebih dari cukup.

“Di samping itu, untuk menjaga keamanan di lingkungan Istana, dibentuk Datasemen Pengawalan Chusus (DPC), yang direkrut dari anggota Corps Polisi Militer (CPM) Angkatan Darat, dipimpin Mayor CPM Djokosuyatno, yang naik pangkat jadi Letnan Kolonel CPM. Penjagaan keselamatan pribadi presiden beserta keluarganya dipercayakan kepada Detasemen Kawal Pribadi (DKP) dari Angkatan Kepolisian yang dipimpin Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo.”

“Ia naik pangkat menjadi Ajun Komisaris Besar Polisi (Letkol Polisi). Sebagian besar dari mereka sudah menjadi pengawal Soekarno sejak Ibu Kota masih berada di Yogyakarta. Yang menarik, menurut Soekarno, sebanyak 300 orang yang memiliki jenis darah sama denganku bertindak sebagai pengawal pribadi,” ungkap Asvi Warman Adam dan kawan-kawan dalam buku Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno (2014).

Kepimpinan Mangil dalam DKP diakui oleh Soeharto. The Smiling General yang menjabat sebagai Panglima ABRI menyadari peran besar mangil dalam mengawal presiden. Tugas itu dikerjakan mangil dengan baik.

Kunjungan Bung Karno ke Blitar di kawal Detasemen Kawal Pribadi pada 24 Mei 1952. (Wikimedia Commons)

Sebagai apresiasi, Soeharto menganugerahkan Satyalencana Penegak kepada Mangil pada 15 November 1967. Penghargaan itu disambut baik. Namun, kebahagiaan Mangil tak bertahan lama. Statusnya yang dianggap sebagai loyalis Bung Karno membuatnya mendekam di penjara militer tiga bulan setelahnya.

“Tanggal 15 November 1967, Jenderal Soeharto, selaku Panglima ABRI, menganugerahkan Satyalencana Penegak kepada Mangil. Tiga bulan kemudian, awal bulan Februari 1968, Kolonel CPM Tahir, selaku Ketua Tim Pemeriksa Pusat, memberi perintah kepada Direktur Polisi Militer Angkatan Darat untuk memasukkan Mangil dalam tahanan militer.”

“Nasib manusia selalu naik turun. Mangil ditahan di rumah tahanan militer selama tiga tahun lebih, tanpa pernah diajukan sama sekali ke sidang pengadilan, sebagai saksi, apalagi jadi tersangka,” ungkap Julius Pour dalam buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010).