JAKARTA - Kehadiran singkong di Bumi Nusantara penuh berkah. Buktinya, pemerintah kolonial Hindia Belanda untung bejibun. Singkong kering (gaplek) jadi salah satu komoditas penting. Bagi kaum bumiputra apalagi. Singkong sumber pangan tambahan.
Pandangan itu tak bertahan lama. Semuanya berubah kala masa penjajahan Jepang. Singkong menjelma jadi makanan pokok. Pengganti beras dan jagung. Kabar buruknya, narasi konsumsi singkong yang tinggi justru tanda meluaskan kemiskinan di Bumi Nusantara.
Singkong atau yang biasa disebut ketela bukan tanaman asli Nusantara. Kedatangan orang Portugis ke Nusantara ada di baliknya. Mereka membawa singkong dari Amerika Selatan. Nyatanya, singkong dapat bertumbuh. Penyebarannya ke wilayah Nusantara mulai masif pada 1850-an.
Perlahan-lahan singkong mampu merebut hati kaum bumiputra. Mereka menjadikan singkok sebagai sumber pangan tambahan. Di Pulau Jawa dan Madura apalagi. Penanamannya berkembang pesat. Singkong pun dielu-elukan kaum bumiputra memiliki kedudukan yang hampir sama dengan kentang di negara-negara barat.
Potensi keuntungan singkong pun telah sampai ke telingga pemerintah kolonial. Produksi singkok yang dapat mencapai 6 jutaan ton setahun ada di baliknya. Belanda menganggap singkong, utamanya olahannya sebagai tepung dapat membawa keuntungan yang cukup besar.
Penanaman masif pun dilakukan. Upaya itu berhasil. Singkong dapat menjadi salah satu komoditas ekspor Hindia Belanda. Pusat pengelolaan singkong pun bertumbuh. Pabrik itu banyak dimiliki oleh orang China dan kaum bumiputra.
“Namun di samping itu, sebagian besar tanaman ini disediakan untuk memproduksi tapioka di pabrik-pabrik yang kebanyakan dimiliki bangsa Cina. Dalam hubungan ini, manufaktur tepung tapioka menjadi pesaing serius tepung kentang. Tepung tapioka dihasilkan oleh pabrik bumiputra disebut sebagai Tepung kampung atau tepung bumiputra, tepung ini termasuk berkualitas rendah. Untuk mencapai kualitas tepung yang layak ekspor masih harus melalui lagi pengolahan final untuk menghasilkan tepung yang bertekstur seperti kristal salju atau mutiara.”
“Sampah atau yang disebut ‘ampas’ sisa hasil produksi dari komoditas ini juga bisa digunakan sebagai makanan ternak. Singkong kering (gaplek) juga termasuk komoditas ekspor penting. Pengolahannya sangat sederhana dan dikerjakan secara eksklusif oleh bangsa Cina dan bumiputra. Akhirnya, ‘tepung gaplek’ yang diolah dari singkong tanpa kulit, menjadi makin penting selama tahun-tahun terakhir ini. Tepung Gaplek di pasar ekspor terutama dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam penyulingan alkohol,” ungkap J. Stroomberg dalam buku Hindia-Belanda 1930 (2018).
Singkong jadi Makanan Pokok
Penjajahan Jepang mengubah segalanya. Beras dan jagung yang awalnya melimpah mulai sulit tersedia. Harga yang mulai melambung tinggi jadi musabab. Mereka yang kaya dan sangat kaya saja dapat mengakses makanan pokok itu. Akibatnya, banyak di antara kaum bumiputra tak mampu mengakses beras dan jagung.
Kaum bumiputra pun berinisiatif mulai menanam ragam tanaman di rumah. Ubi jalar, tomat, bayam, dan yang paling penting singkong. Makanan yang dikenal luas sebagai ubi kayu itu bak naik kelas. Makanan itu menjelma menjadi makanan pokok di zaman penjajahan Jepang.
Ada yang mengganti total beras dengan singkong. Ada pula yang bersiasat menghemat beras dengan cara makan nasi cuma sekali sehari. Sisanya, baru menggunakan singkong. Kondisi itu terpaksa dilakukan semata-mata untuk bertahan hidup.
Segenap kaum bumiputra pun terpaksa menikmati makan singkong sebagai makanan pokok dari kebun sendiri sepanjang masa penjajahan Jepang. Mereka paham gizi dari singkong diyakini tak seberapa, tapi tak ada jalan lain. Karenanya, tingginya angka konsumsi singkong bukan menandakan suatu kebaikan. Tanda itu justru dianggap sebuah tanda kemiskinan telah merajalela di Nusantara.
“Penduduk kota tidak lagi bisa membeli baju dengan bebas karena barang ini lenyap dari pasaran. Orang-orang yang cukup kaya memang tidak harus memakai karung goni seperti orang-orang miskin, namun lambat laun celana panjang pun dipotong untuk dijadikan dua celana pendek. Lelaki tua memakai celana pendek berjalan-jalan di jalanan menjadi pemandangan sehari-hari, sesuatu yang amat langka pada masa sebelumnya. “
“Kehidupan menjadi amat berat, karena daya beli masyarakat semakin rendah. Banyak dari mereka yang akhirnya hanya bisa bercelana dari karung goni. Menjelang 1943 rakyat mulai makan jagung dan singkong setiap hari, karena beras berkurang drastis hampir di seluruh kota,” terang Purnawan Basundoro dalam buku Merebut Ruang Kota (2013).