Bagikan:

JAKARTA - Dulu kala, industri tekstil pernah jadi hal yang tak terpikirkan di Nusantara. Serbuan produk tekstil dari berbagai negara jadi alasannya. Kondisi itu membuat orang-orang di Hindia Belanda (kini: Indonesia) merasa nyaman.

Semuanya berubah kala resesi ekonomi (Depresi Besar) melanda dunia pada 1929. Barang tekstil dari Jepang mulai mendominasi. Barang tekstil dari Belanda kalah saing. Penjajah Belanda pun tak mau kalah. Mereka mencoba membangun industri tekstil dalam negeri supaya tak keranjingan impor.

Kaum bumiputra dulunya belum mengenal industri tekstil. Kondisi itu karena mereka membuat kebutuhan tekstilnya sendiri, jadi baju hingga seprai. Pekerjaaan menenun itu dilakukan dalam skala terbatas.

Alias, hanya menjadi pengisi waktu kosong kala mereka tak bekerja di ladang atau sawah. Kondisi itu berlangsung di seantero nusantara. Namun, tidak dengan penjajah Belanda. Orang Eropa memiliki cara instan dalam mendapatkan kebutuhan tekstilnya sendiri.

Baju atau kain ala Eropa mulai didatangkan dari berbagai negara ke Nusantara. Kondisi itu membuat orang Belanda terlena. Mereka tak lagi memikirkan pembangunan industri tekstil. Upaya impor tekstil dari luar dianggapnya sudah lebih dari cukup.

Seorang buruh pabrik tekstil di Tegal, Jawa Tengah pada masa Hindia Belanda sedang mengurusi gulungan-gulungan benang. (Wikimedia Commons)

Belakangan eksistensi impor tekstil makin menjamur di Nusantara. Kaum bumiputra mulai melirik produk tekstil luar. Semuanya dikarenakan perkembangan transportasi dan hadirnya Terusan Suez. Sesuatu hal yang mampu memangkas jarak tempuh ke Nusantara.

Produk tekstil pun hadir hingga ke desa-desa. Kaum bumiputra mulai mengadopsi tampilan ala orang Eropa dalam kehidupan sehari-hari, sekalipun masih terbatas. Kondisi itu membuat Hindia Belanda bak outlet utama barang-barang tekstil dari negara lain.

Barang siapa yang menjual ke Hindia Belanda, niscaya akan untung besar. Populasi penduduknya saja di tahun 1920-an bisa mencapai 51 juta orang lebih. Artinya Nusantara sudah dikenal sebagai pasar tekstil dunia sedari dulu.

“Hindia Belanda menjadi negara tropis par excellence, dengan populasi sebagian besar 51,5 juta penduduk (36,7 juta di Jawa dan Madura, dan 14,8 juta di Pulau-pulau luar) negara ini, secara alami Hindia Belanda bertransformasi menjadi salah satu outlet utama barang-barang tekstil seperti kemeja, kain seprai, kain katun halus, dan sebagainya.”

“Sama sekali tak mungkin bila permintaan yang lebih mendesak untuk jenis barang ini pengadaannya (hanya) dikerjasamakan di Cina dan India Inggris, meskipun industri tekstil di negara-negara itu sedang berusaha meningkatkan persediaan kebutuhan yang diinginkan dengan membangun industri-industri rumahnya,” ujar J. Stroomberg dalam buku Hindia Belanda 1930 (2018).

Bangun Industri Tekstil

Ketergantungan seisi Nusantara terhadap produk tekstil luar terus berlanjut. Namun, keinginan membangun industri tekstil sendiri mulai muncul. Pemerintah Hindia Belanda lalu menginisiasi munculnya industri tekstil dengan mendirikan pusat pelatihan Textiel Inrichting Bandoeng (TIB) atau Institut Tekstil Bandung pada 1922.

Kehadiran TIB kemudian mendorong munculnya industri tekstil di Majalaya Bandung. TIB memiliki andil dalam bidang kajian alat tenun, pencelupan, desain pola, hingga manajemen bisnis. TIB memang berkembang menghasilkan industri tenun, tapi berjalan lambat.

Semuanya berubah kala Depresi Besar menyapa dunia pada 1929. Dampak dari resesi ekonomi itu menghantam Indonesia dengan kencang. Barang tekstil impor dari negara Belanda mulai kehilangan tajinya.

Barang itu kalah dengan tekstil dari Jepang. Barang Jepang memenuhi hampir seluruh pasar di Hindia Belanda. Penjajah Belanda kemudian tersadarkan. Mereka tak bisa terus-terus mengandalkan impor dari negeri Belanda dan kalah saing pula.

Inisiasi menggenjot industri tekstil di Nusantara muncul. Perusahaan-perusahaan besar mulai menampung banyak buruh menganggur karena depresi ekonomi. Mereka dipekerjakan sebagai buruh industri tekstil setelah berguru ke TIB.

Hasilnya gemilang. Perusahaan besar tekstil berkembang. Bahkan, Beberapa buruh ikut membuat industri rumahan di Bandung, lalu menyebar di seantero Hindia Belanda.

TIB pun mampu menunjang kehadiran dan keterjangkauan alat menenun. Harganya murah dan kualitas hasil tekstilnya tinggi. TIB mampu memproduksi Alat Tenun Bukan Mesin dan Alat Tenun Mesin. Orang-orang dari berbagai daerah pun kian banyak dikirim ke Bandung untuk belajar menenun.

Kondisi itu membuat Nusantara dibanjiri produk-produk dalam negeri. Sekalipun pemerintah tetap mengontrol impor barang tekstil supaya tak merusak pasar barang tekstil dalam negeri. Industri tekstil nusantara perlahan-lahan berkembang pesat – kadang juga jadi over production.

Potret tumbuhnya industri tekstil di Bandung era Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

“Pengontrolan terhadap barang-barang impor memberikan keuntungan yang besar bagi pengusaha domestik, terutama yang memproduksi sarung dan kain panjang. Alasannya adalah para penenun bumiputra belum siap untuk berkompetisi dengan produk impor yang berkualitas lebih baik karena teknik pembuatannya yang rumit.”

“Pada tahun 1934, sistem kuota impor diperluas mencakup produk sarung. Tujuan utamanya adalah untuk memulihkan posisi sarung Belanda yang sebelumnya mengalami penurunan akibat kemajuan produk Jepang. Belanda akhirnya sukses menguasai 90,8 persen dari total pasar sarung yang ada dan menyingkirkan Jepang dari pasar Jawa,” ujar Resmi Setia dalam buku Gali Tutup Lubang itu Biasa: Strategi Buruh Menanggulangi Persoalan dari Waktu ke Waktu (2005).