JAKARTA - Sejumlah perusahaan tekstil di Indonesia tumbang dan terpaksa menutup usahanya.
Mereka juga melakukan berbagai langkah efisiensi akibat penurunan produksi yang signifikan.
Berdasarkan data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara, sedikitnya ada enam pabrik tekstil yang telah gulung tikar dan menyebabkan lebih dari 11.000 pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK.
Adapun keenam pabrik tekstil tersebut adalah PT S Dupantex, PT Alenatex, PT Kusumahadi Santosa, PT Kusumaputra Santosa, PT Pamor Spinning Mills dan PT Sai Apparel.
Sementara Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat mencatat, sudah ada 22 pabrik yang tutup di daerah tersebut.
Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional Ariawan Gunadi mengatakan, pemerintah harus segera mengambil beberapa langkah strategis untuk menyelamatkan industri tekstil di Tanah Air.
"Pemerintah perlu melakukan optimalisasi kebijakan instrumen trade remedies terhadap praktik dumping yang dilakukan oleh China, ini sangatlah penting. Dapat dimulai dengan menerapkan kebijakan safeguard berupa Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) Kain," ujar Ariawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 27 Juni.
Ariawan menilai, kebijakan itu bertujuan melindungi industri dalam negeri dari lonjakan impor kain China yang mengakibatkan kerugian signifikan.
Pelaksanaan kebijakan ini dapat diwujudkan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi dasar pelaksanaannya.
Dia menambahkan, pemerintah juga perlu mengimplementasikan kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).
Kebijakan ini dirancang untuk menyeimbangkan dampak harga rendah tidak adil dari barang impor yang dijual di bawah nilai pasar atau biaya produksi.
Menurutnya, cara lain untuk menyelamatkan industri tekstil adalah dengan menerapkan kebijakan countervailing duties.
Kebijakan ini bertujuan untuk mengimbangi subsidi yang diberikan oleh pemerintah asing kepada eksportir mereka.
"Langkah-langkah strategis ini jika dilaksanakan secara efektif dapat membantu melindungi industri dalam negeri dari praktik perdagangan yang merugikan dan meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di pasar global," ucap Guru Besar Universitas Tarumanagara itu.
Selain itu, kata Ariawan, pemerintah juga perlu mengoptimalkan sistem pemeriksaan bea cukai dengan mengimplementasikan teknologi pemindai berbasis kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).
Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pemeriksaan barang yang masuk dan keluar dari negara.
Dengan pemanfaatan AI, potensi kecurangan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dapat diminimalisir dan upaya penyelundupan barang ilegal bisa dideteksi lebih awal.
BACA JUGA:
Lebih lanjut, Ariawan mengungkapkan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan ancaman terhadap industri tekstil nasional, di antaranya kelebihan pasokan yang menyebabkan gelombang ekspor melebihi permintaan, khususnya di China dan ketegangan geopolitik yang semakin meruncing telah memicu terjadinya fragmentasi hubungan internasional.
Kemudian, nilai tukar rupiah mengalami penurunan yang signifikan terhadap dolar AS. Kurs mata uang Garuda hampir mencapai rekor tertingginya sepanjang sejarah, yakni di kisaran 16.800 per dolar AS serta meningkatnya impor ilegal dengan model borongan/kubikasi dan adanya mafia impor yang menyebabkan penumpukan kontainer di pelabuhan.
Dampak nyata yang dirasakan industri tekstil adalah ketidakstabilan dalam industri tersebut.
Dengan demikian, banyak perusahaan terpaksa mengurangi jumlah karyawannya untuk menekan biaya operasional.
Mengingat, industri tekstil berkontribusi besar terhadap ekspor nasional, maka gejolak di sektor tersebut dapat mengurangi volume ekspor yang pada akhirnya mempengaruhi devisa negara.
"Ketidakstabilan dalam sektor tekstil dapat mempengaruhi rantai pasok dari berbagai industri lain yang bergantung pada produk tekstil. Akibatnya, keseluruhan ekosistem industri yang saling terkait menjadi terganggu, menciptakan efek domino berkepanjangan yang dapat merugikan berbagai sektor ekonomi yang lebih luas," pungkasnya.