Pedagang Jepang Menggoyang Dominasi Pedagang China di Hindia Belanda
Deretan toko pedagang Jepang di kawasan Pasar Baru, Batavia pada masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Penjajah Belanda menyukai cara kerja etnis China di Nusantara. Citra orang China ulet bekerja jadi muaranya. Keistemewaan itu membuat Belanda kepincut datangkan banyak orang China untuk menggerakkan ekonomi wilayah jajahan. Utamanya, dalam perdagangan.

Kuasa itu langgeng dalam waktu yang lama. Semuanya berubah kala produk Jepang berkualitas masuk Nusantara pada era 1930-an. Pedagang Jepang lalu mengambil alih pasar Hindia Belanda. Alhasil, Jepang ‘menggoyang’ dominasi pedagang China.

Eksitensi etnis China dekat dengan penjajah Belanda sudah jadi rahasia umum. Kehadiran orang China sudah mendapatkan restu sedari mula maskapai dagang Belanda, VOC menancapkan jerat kolonialisme di tanah Nusantara pada 1619.

Orang China mendapatkan ragam hak istimewa. Dari akses tempat tinggal, pekerjaan, hingga kemudahan bayar pajak. Ajian itu diberikan karena orang China ulet dalam bekerja. Sesuatu yang dianggap Belanda akan membawa keuntungan besar.

Pucuk dicinta ulam tiba. Kompeni bak berpikir jauh melampau zamannya. Orang China mampu jadi penggerak utama Ekonomi di pusat kuasa Kompeni, Batavia (kini: Jakarta). Kemudian menjalar ke wilayah jajahan lainnya. Mereka andal dalam segala bidang. Utamanya, perdagangan.

Toko Jepang Nipponkang di Jalan Raya Pos, Bandung pada masa Hindia Belanda tahun 1930-an. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Banyak di antaranya kemudian menjelma sebagai pedagang sukses. Kondisi itu berlangsung hingga kuasa Kompeni digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kala itu, tiada yang mampu menggoyang dominasi pedagang China.

Mereka menguasai segala lini perdagangan di Nusantara. keistimewaan itu membuat banyak di antara orang China jadi sosok kaya raya. Uang mereka banyak, pun tanahnya bejibun. Narasi mudahnya mencari rezeki di Nusantara jadi motivasi buat orang China yang baru datang dari tanah kelahirannya.

Mereka datang dengan atau tanpa keahlian. Sekalipun kedatangan masif orang China sempat perselisian di masa lalu. Namun, ketergantungan akan orang China yang besar membuat orang Belanda kembali memberi restu.

“Meskipun orang China adalah mata rantai yang sangat diperlukan di antara perdagangan grosir dan eceran di Hindia Belanda, seseorang bisa menyimpulkan dari indikasi saat ini bahwa pedagang menengah Cina berusaha makin banyak untuk mengemudikan impor-impor langsung. Mereka menjadi lebih familier dengan metode perdagangan skala besar, dan meskipun mereka tak akan pernah meletakkan firma-firma yang didirikan sudah lama dari bisnisnya di lokasi-lokasi strategis, layaknya Bangsa Eropa.”

“Tetapi bila dibutuhkan mereka bisa membeli rumah-rumah Eropa dari sebagian keuntungan monopoli, yang telah mereka kumpulkan. Ke depan akan banyak perubahan yang bisa mempengaruhi dunia perdagangan di Hindia Belanda, dan waktu yang akan menunjukkannya,” terang J. Stroomberg dalam buku Hindia Belanda 1930 (2018).

Dominasi Pedagang Jepang

Eksistensi pedagang China berlangsung dalam waktu yang lama. Namun, tak selamanya keberuntungan berpihak kepada pedagang China. Kala kelesuan ekonomi (zaman malaise) menghantam Nusantara pada 1929, banyak di antara pedagang China bangkrut.

Kondisi itu kemudian dimanfaatkan oleh pedagang Jepang, yang notabene sengaja diutus oleh pemerintah Jepang sebagai mata-mata. Mereka disiapkan untuk bersaing dalam bidang perdagangan. Semua aktivitas mereka didukung penuh oleh pemerintah Jepang.

Penanaman modal dilakukan secara masif. Pun orang Jepang mulai membeli banyak konsesi dari perdagangan kayu hingga pertambangan. Hasilnya gemilang. Banyak pengusaha Jepang yang menguasai sumber daya di Hindia Belanda.

Kuasa itu lalu jadi jalan produk-produk dari Jepang membanjiri seantero Nusantara. Antara lain perabot rumah tangga, sepada, tekstil, bir, semen, dan lain sebagainya. Pedagang Jepang pun mulai banyak membangun kios hingga toko.

Pedagang yang ramah, bersahabat, kualitas barang memukau, dan beragam jadi ajian orang Jepang. Semenjak itu banyak di antara rakyat Hindia Belanda, termasuk bumiputra memilih berbelanja di pedagang Jepang, dibanding China. Kaum bumiputra merasa nyaman berbelanja di pedagang Jepang karena mereka dianggap lebih peka dengan penderitaan penjajahan dan mengambil untung sedikit.

Toko Fuji (Fuji Yoko) milik saudagar terkenal asal Jepang di Hindia Belanda, Sawabe Masao di kawasan Malioboro, Yogyakarta. (Twitter/@mbahKJogja) 

Pedagang Jepang pun menganggap langkah mendominasi perdagangan di Hindia Belanda sebagai kemenangan. Sedang penjajah Belanda sendiri justru meremehkan eksistensi dari dominasi pedagang Jepang. Karenanya, Hindia Belanda justru berhasil dikuasai Jepang secara efektif pada 1942.

Semuanya karena banyak di antara pedagang merambah agen intelejen yang diperuntukan untuk memata-matai dan mengamankan sumber daya di Hindia Belanda. Hoegeng Imam Santoso (kemudian dikenal sebagai Kapolri ke-5) telah menyaksikan sendiri eksistensi militer Jepang yang menyamar sebagai pedagang.

“Saya Rasa orang Pekalongan umumnya amat mengenal Kagiyama sebagai pedagang Jepang yang tahu seni menghadapi pembeli dan calon pembeli! Ia contoh unik dan tersendiri untuk itu. Dan tak terbayangkan lain dari seorang pedagang belaka. Toh siapa yang mengenal Kagiyama di tokonya niscaya akhirnya kaget sendiri ketika militer Jepang memasuki Indonesia.”

“Kagiyama yang sebenarnya agaknya bukanlah pedagang: tenyata ia seorang mayor Keigun atau mayor Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang ditugaskan di Pekalongan dan menyamar sebagai pedagang kelontong! Ia seperti semula, kembali jadi asing di mata orang-orang yang mengenalnya, namun ia tetap dalam posisi yang harus dihormati! Kagiyama di mata saya amat misterius. Tak dapat diduga,” terang Hoegeng Imam Santoso sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dan Ibrar Yusra dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).