JAKARTA - Hari ini 80 tahun yang lalu, atau tepatnya 1 Maret 1942, Jepang kali pertama mendaratkan pasukannya untuk menginvasi Jawa. Mereka menitikberatkan perlawanan di tiga wilayah Banten, Indramayu, dan Bojonegoro. Pendaratan itu sebagai ambisi Jepang untuk mengakhiri kekuasaan Belanda di tanah Nusantara. Agresi militer Jepang itu membuat nyali Belanda ciut. Apalagi Jepang mampu menelanjangi kelemahan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Kelemahan itu tak lain terkait persenjataan dan alat perang Belanda yang kuno.
Tiada yang menampik kekuatan militer Jepang pada era 1940-an. Nyali Jepang begitu tinggi. Mereka berani menyerang pangkalan armada Amerika Serikat (AS) di Pasifik, Pearl Harbor pada 1941. Serangan itu membuat pangkalan tersebut luluh-lantak.
Korban dari pihak AS bejibun. Demikian pula kerugiannya. Kemenangan itu mampu mereduksi kekuatan militer AS. Jepang melihatnya sebagai kesempatan. Sebuah kesempatan untuk segera menguasai negara-negara lain di Asia tenggara. Hindia-Belanda, khususnya.
Semenjak itu Jepang telah gencar untuk menebar pasukan intelijennya untuk menyamar dan berbaur dengan penduduk Hindia-Belanda sebagai pedagang. Demi membaca situasi, pikirnya. Penyamaran itu penuh dengan totalitas. Banyak toko-toko barang dagangan Jepang didirikan. Mereka menjual barang berkualitas buatan Jepang dengan harga murah.
Karenanya, barang-barang Jepang jadi buruan. Kepopuleran toko Jepang membuat pedagang yang juga mata-mata Jepang lebih leluasa mengumpulkan Informasi. Terutama dari pembeli. Ketika waktunya tiba, mereka telah siap menaklukkan daerah tersebut dalam waktu singkat.
“Kecuali berusaha menguasai pasaran, Jepang juga berusaha menguasai pengangkutan dengan kapal. Di daerah-daerah pasaran, Jepang menempatkan distributor-distributornya atau agen-agennya sehingga pemasaran barang terkontrol. Banyak toko-toko Jepang didirikan. Ini semua merupakan bukan saja usaha ekonomi, tetapi juga persiapan gerakan militer.
“Itu terbukti ketika Jepang melakukan pendaratan dan kemudian pendudukan Indonesia, ternyata bahwa penguasa-penguasa pertokoan itu adalah opsir-opsir Jepang. Orang-orang Indonesia dibuat tercengang ketika kemudian pemilik-pemilik toko itu memakai seragam militer Jepang dengan pangkat opsir (perwira). Di Yogya terkenal dulu toko Fuji,” ungkap G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad Ke-20 Jilid 1 (1989).
BACA JUGA:
Secara berturut-turut Jepang lalu melumpuhkan wilayah Nusantara. Dari Tarakan, Balikpapan, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Palembang, pendaratan yang paling menentukan adalah saat pasukan Jepang mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa pada 1 Maret 1942. Pendaratan itu dilakukan di tiga tempat. Banten, Indramayu, dan Bojonegoro.
Jepang lalu melancarkan serangan penuh. Angkatan laut, udara, dan darat bersatu padu melawan Hindia-Belanda. Semua itu untuk memuluskan ambisi mengalahkan Belanda di Nusantara. Pun penyerangan itu membuka borok Belanda. Empunya kuasa ternyata tak pernah meningkatkan armada dan angkatan perangnya. Beberapa waktu kemudian, Belanda pun takluk oleh Jepang pada 8 Maret 1942.
“Tentu, runtuhnya Hindia-Belanda bukan saja karena hubungan jelek antara rezim dan rakyat, tetapi juga terletak pada lemahnya alat-alat perang dan infrastruktur militernya yang kuno. Belanda sejak 125 tahun terakitr memang tidak mengalami perang internasional dalam arti sebenarnya,” tutup Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Waktu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).