Bagikan:

JAKARTA - Sesuai dengan urutan sejarah, pada abad ke-17, atau mungkin lebih awal lagi, orang Jepang sudah masuk ke bumi Nusantara sebagai sekelompok komunitas kecil. Dimulai 5 hingga 8 Maret 1942, tentara jepang untuk pertama kali secara paripurna merebut Ibu Kota Hindia-Belanda, Batavia.

Perebutan perlawanan pada saat itu cukup sengit. Tentara Belanda yang tergabung dalam garnisun Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) atau yang dikenal dengan tentara kerajaan Belanda, telah dipukul mundur oleh Jepang, sehingga Ibu kota Hindia-belanda tak memiliki pertahanan lagi.

Betapa tidak, pasukan KNIL yang menghindari serangan malah memilih mundur ke Buitenzorg (Bogor) dan Bandung. Penyerangan itu jelas bukan tiba-tiba.

Dikutip dari tulisan Nino Oktorino dalam buku Pendudukan Jepang di Indonesia (2013), Jepang sudah melangkahkan kaki masuk Nusantara lewat Tarakan, Kalimantan Timur sejak 11 Januari 1942. Langkah itu berlanjut pada 24 Januari 1942 ketika mereka mengusai Balikpapan.

Selanjutnya, penguasaan atas Pontianak menyusul pada 29 Januari 1942, Samarinda pada 3 Februari 1942, dan Banjarmasin pada 10 Februari 1942. Uniknya, pada 14 Februari 1942, Jepang mulai menurunkan pasukan terjun payung di Palembang, dan butuh dua hari saja untuk menguasainya.

Baru setelahnya, pada 1 Maret 1942, tentara ke-16 Jepang mendarat di Teluk Banten, dan Kragan di Jawa Tengah. Setelah 3 hari mengusai Batavia, tepat pada 8 Maret 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang.

Peristiwa itu dituliskan oleh Sejarawan Ong Hok Ham dalam tulisan kolomnya di Majalah Tempo berjudul Emperium Kolonial (1992). Ong mengungkap penyerahan terjadi sebelum tentara KNIL sempat melepaskan tembakan.

Ong pun mengutip sejarawan Belanda, G.G. de Jong yang menegaskan bahwa KNIL sesungguhnya tak memiliki kekuatan yang memadai menghadapi Belanda. Oleh sebab itu, kekalahan adalah sesuatu yang wajar.

“KNIL hanya merupakan sesuatu kekuatan kepolisian yang agak ditingkatkan. Bukan kekuatan militer untuk menghadapi sesuatu perang internasional dan modern. KNIL hanya berfungsi untuk menghadapi kerusuhan dalam negeri.”

Soekarno bersalaman dengan Komandan AD Jepang, Yoichiro Yamamoto (Commons Wikimedia)

Berjubah sahabat tua

Kedatangan Jepang ke Hindia mampu membentuk pandangan akan seorang sahabat yang dengan sigap membantu masyarakat Nusantara terlepas dari belenggu penjajahan Belanda. Narasi itu amat kuat digaungkan sebagai propaganda kekaisaran Jepang, "Tiga A" yang dimulai pada tahun 29 Maret 1942.

Slogan "Tiga A" itu adalah: Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Cahaya Asia. Slogan itu tentu tak lahir dari rahim pemikiran rakyat Indonesia, melainkan dibuat sendiri oleh Jepang untuk memikat hati dan menarik simpati bangsa Indonesia.

Hasilnya, cukup berhasil. Seperti kuasa Jepang atas Indonesia pada tahun 1942 yang melahirkan anggapan baru tentang kebanggaan terlahir sebagai penduduk asli Indonesia sendiri. Dikutip buku L. Ayu Saraswati berjudul Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2013), pendudukan Jepang membuat orang Eropa atau Indo-Eropa yang sebelumnya menganggap dirinya berada di posisi istimewa merosot.

Sebelumnya, mereka yang berdarah campuran Indo-Eropa yang sebelumnya menutupi asal-usul ke-Indonesiaannya, justru malah kemudian mengklaim latar ke-Indonesiaan mereka. Mereka bahkan membuang jauh-jauh status Eropanya.

Tak sampai situ. Jepang yang sejatinya memiliki narasi mengembalikan kebanggaan sebagai orang Asia pun justru turut andil dalam memberikan standar baru dalam kecantikan. Buktinya, perihal kecantikan yang dulunya dipegang oleh orang Kaukasia (Eropa) berubah menjadi kecantikan milik para perempuan Jepang maupun perempuan asli Indonesia.

Bahkan, hal itu dipropagandakan melalui media-media cetak pada masa itu. “Dibuktikan dengan rubrik di Djawa Baroe seperti Poetri Nippon, Bintang Film Nippon, dan Poetri Indonesia jang tjantik molek,” tulis L. Ayu Saraswati.

Kedatangan pasukan Jepang (Commons Wikimedia)

Mereka yang mendukung

Soal propaganda Jepang itu, tokoh-tokoh yang sudah geram dijajah Belanda ratusan tahun lamanya, seperti Buya Hamka, Soekarno, mau pun Sanusi Pane turut angkat suara. Saat itu para pembesar negeri melihat Jepang sebagai harapan yang memutus mata rantai penjajahan Belanda. Kondisi itu sempat tulis Goenawan Mohamad dalam kolomnya di Majalah Tempo berjudul Nippon (2003).

Namun, mereka juga menyatakan kekecewaan lantaran harapan itu nyatanya salah. Hamka, misalnya yang berkata, “Ketika itu Indonesia diduduki Jepang, negeri yang mendamik dada sebagai pembebas Asia, kekuatan yang meneriakkan slogan ‘Inggris kita linggis, Amerika kita setrika!’

"Seperti sastrawan dan tokoh masyarakat di masa itu, Hamka juga menghunus kata ‘berdjoeang’, ‘madjoe’, ‘asia’, dengan tangkas – terkadang terlampau tangkas,” tertulis dalam tulisan Goenawan Mohamad. Di situ, empunya tulisan menulis sajak Hamka yang dimuat Pandji Poestaka pada tahun 1943.

BACA JUGA:


Tak hanya Hamka saja. Tokoh nasional lain seperti Soekarno pun sempat memberikan dukungan kepada Jepang dengan menganjurkan pemuda Indonesia masuk Romusha (kerja paksa), hingga berduyun-duyun orang bekerja sampai ke tanah jauh, sampai sengsara dalam kuasa Jepang.

Gunawan juga menulis, sampai-sampai, “Penyair Sanusi Pane, penganut Theosofi, menganggap perang yang dilancarkan kaum militer dari Tokyo sebagai perang suci. Serta pakar hokum Supomo memandang bentuk Negara fasis di bawah Maharaja Hirohito sebagai teladan,” tutup Goenawan Mohamad.