Kata Makian yang Populer di Zaman Kolonial
Aktivitas Bersepeda di Weltevreden Batavia (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kata makian umumnya keluar ketika seseorang beradu argumen atau ada sesuatu yang tak berjalan sesuai dengan ekspektasi. Makian yang umumnya keluar adalah nama hantu, sentimen ras, nama binatang, hingga persenggamaan dan alat kelamin.

Ungkapan makian, di Jakarta, sudah ada sejak zaman dulu. Bahkan ketika Jakarta masih bernama Batavia dan jauh sebelum itu.

Dikutip dari L. Ayu Saraswati dalam bukunya Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2013), warna kulit jadi pembeda kategori sosial. Perbedaan ini yang membuat kata makian itu muncul.  

"Sepanjang abad ke-17 dan ke-18, catatan-catatan kesaksian orang-orang Eropa menstereotipkan pribumi Hindia berkulit gelap sebagai pemalas, bodoh, dan lacur," tulis Ayu Saraswati.

Selanjutnya, menurut Nicolaus de Graaff dalam bukunya berjudul Reisen van Nicolaus de Graaff, na de vier gedeeltens des werelds (1701), pada masa itu, kebanyakan orang Eropa yang ada di Indonesia, terlalu malas mengasuh dan membesarkan anak mereka. Karenanya, mereka menggunakan budak untuk mengasuk anak.

Ketika dewasa, anak-anak orang Eropa tadi mulai mempelajari dan terbiasa bahasa Melayu serta Portugis. Bahasa ini pula yang mereka gunakan ketika melontarkan cacian kepada budak yang tak menuruti perintah.

"Maka mereka akan dicaci-maki dengan sebutan pelacur jelata, anak pelacur, anak anjing, bahkan terkadang lebih buruk dari itu," kata De Graaf.

Tak hanya budak, wanita berkulit gelap juga sering jadi sasaran makian pada saat itu. Meski wanita itu menikah dengan serdadu Belanda, kadang mereka dapat makian dari orang sekitar. Bahkan, dari suaminya sendiri. Mereka disebut negrose hoer yang bisa berarti orang hitam yang bau busuk.

Dalam perkembangannya, kata makian yang sejatinya tak pantas diungkap di muka umum, malah jadi barang bukti penting dalam pengadilan. Sebab, dari kata makian itu, muncullah perkelahian. 

Fenomena itu ditulis oleh Achmad Sunjayadi dalam bukunya berjudul (Bukan) Tabu di Nusantara (2018). Dia mengungkap, dalam dokumen-dokumen pengadilan di Belanda pada abad ke-17 tercatat kata makian sering kali menjadi pelengkap bukti konflik.

Dia menyebut kasus Johan Bitter, anggota mahkamah pengadilan di Batavia yang menikahi Cornelia van Nijenroode, putri Cornelis van  Nijenroode dengan gundik dari Jepang. Johan yang berkonflik dengan Cornelia sering memaki perempuan tersebut dengan kata-kata kasar.

“Setiap hari ia mencacinya sebagai hoerendop (perempuan sundal). Binatang, berwajah setan, dan segala hal yang buruk,” demikian bunyi dokumen tersebut dalam pengadilan.

Selain itu, sebagai contoh makian lainnya dalam bahasa Belanda sempat ceritakan dengan ilustrasi dari serdadu Belanda, Jan Pieterz. Dalam ceritan itu, dia mengungkap kebencian seseorang bernama Van Batavia kepada istri ayahnya, Pieter Perera yang bekerja sebagai tukang cukur. 

Ia berkata, “Mijn Vader is doot en voor den duyvel, gij spelt nu mooi weer met sijn geldt.” (ayahku mati karena setan itu, sekarang perempuan itu menghabiskan uangnya).

Tak sampai di situ, dia juga memaki ibu tirinya dengan kata makian: “Hoer, onbeschaemd vercke, teef, kochelaresse!” (pelacur, babi tak tahu malu, anjing betina, Penipu!).