Bagikan:

JAKARTA - Korupsi yang menggurita di Indonesia adalah warisan sejarah. Praktik pungutan liar (Pungli) bahkan makin langgeng saat Kompeni menancapkan kuasanya di Nusantara.  

Tak cuma pejabat Belanda, pejabat bumiputra turut melanggengkan korupsi. Tindak-tanduk hidup mewah demi menghidupi keluarga jadi alasannya. Walhasil, jabatannya dimanfaatkan untuk menarik uang sogok, upeti, serta menggelapkan pajak. Kemudian kebiasaan itu diteruskan pejabat bumiputra, setidaknya sampai hari ini.

Praktik pungli bermula dari kebanyakkan kerajaan tradisional –Majapahit, Mataram, dan Kerajaan lainnya—memberi kuasa penuh kepada seorang pejabat bumiputra untuk mengendalikan ekonomi di wilayah tertentu. 

Dan dari situ pejabat yang berasal dari kalangan priayi “kasarnya” mendapatkan makan. Kami pernah mengulas panjang lebar terkait penyebab uatma korupsi dalam tulisan Akar Sejarah Korupsi di Indonesia dan Betapa Kunonya Mereka yang Hari Ini Masih Korup.

Kerajaan mataram, misalnya. Raja-raja Mataram pada zamannya banyak memberikan kuasa ke para pejabat bumiputra sejumlah cacah. Yakni, kesatuan petani yang terdiri dari empat orang laki-laki. Alhasil, kedudukan finansial, politik, dan militer pejabat diukur dari jumlah cacah mereka. semakin banyak cacah yang dikuasai, semakin tinggi kedudukannya dimata jelata.

Sejarawan Ong Hok Ham menjelaskan cacah itu kemudian diberi sebidang tanah tanah (dua bau) dengan sebagaian dari hasil tanah tersebut diserahkan kepada pejabat. Selain itu, sang priayi berhak menggunakan tenaga cacah untuk keperluan kediaman, pendirian irigasi, jalan-jalan, jembatan, perkebunan, dan lain sebagainya.

Setiap orang yang ingin punya kepentingan menyurus izin atau memanfaatkan cacah, maka harus berurusan dengan pejabat bumiputra tersebut. Tak jarang untuk memuluskan urusan, tiap orang harus menyerahkan upeti atau uang pelicin kepada pejabat. Oleh sebab itu, posisi sebagai pejabat bumiputra entah itu bupati, demang, hingga bekel jadi rebutan.

Seiring perkembangan zaman, Raja Jawa kemudian menjaul jabatan itu sebagaimana kebiasaan kerajaan-kerajaan Eropa. "Kedudukan bupati di daerah penting, misalnya, dijual 10 ribu real atau lebih, dan dibayar sebelum jabatan diduduki."

Komersialisasi semacam ini menolong keuangan negara, tapi merupakan beban yang besar bagi rakyat, sebab semua pengawasan keuangan oleh pusat jadi lepas sama sekali. Kedudukan bupati atau demang dan bekel (pengumpul pajak/upeti) pada tingkat bawah bahkan dapat dibeli oleh siapapun, termasuk keluarga bekas pemberontak atau pedagang China dna swasta Belanda, tulis Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).

Lahan persawahan (wikimedia commons)

Praktek jual-beli jabatan

Korupsi yang tumbuh subur jadi buah dari kebiasaan jual jabatan. Lantaran itu penjelasan kultural praktik korupsi pejabat bumiputra di nusantara sering dihubungkan dengan bukti-bukti kebiasaan-kebiasaan kuno orang Jawa. Lewat penjualan jabatan seorang pejabat bumiputra sering kali menawarkan uperi atau persembahan kepada para penguasa. Kebiasaan ini menjadi akar dari penyuapan. Sebagai gantinya, para pejabat sering kali memeras rakyat untuk tetap melanggengkan kebiasaan hidup mewahnya.

“Di dalam kebudayaan tradisional Jawa, yang mana loyalitas kepada keluarga lebih besar daripada loyalitas kepada negara, kewajiban para pegawai publik di dalam kantornya adalah sekunder, dan yang utama adalah kewajiban  pada keluarga dan komunitas. Setiap kesempatan bagi ekonomi atau pekerjaan keluarga itu dipandang sah,” tutur Sri Margana dalam buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia (2016).

Akibatnya, jabatan seperti bekel saja menjadi layaknya seorang “raja kecil.” Sebab, ia dapat berfungsi sebagai penarik pajak, sekaligus memiliki kekuasaan menunjuk petani yang akan diberi kekuasaan menggarap tanah. Berdasarkan itu pekerjaan sebagai bekel jadi rebutan. Bekel dapat meningkatkan gengsi dalam bidang sosial, ekonomi, maupun kultural.

Pun hal yang sama berlaku kepada jabatan lainya, terutama bupati. Sejak sistem tanam paksa (cultuur stelsel) diresmikan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Johannes van den Bosch (1830–1833) pada 1830 jadi bukti.

Kerja paksa itu mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, dan teh. Kebijakan itu pun menjadi ladang subur berlangsungnya aksi pungli paling hebat bagi para bupati.

Para pekerja tanam paksa (wikimedia commons)

Foya-Foya dan Hidup Mewah

Dikutip dari Soegeng Reksodihardjo dalam buku Dr. Cipto Mangunkusumo (2012), selain bupati mendapatkan subsidi keuangan sebesar 500 gulden hingga 1.500 gulden dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Persenan dari tanah paksa tetap mereka nikmati. Seperti juga hak-hak atas tenaga bakti (200 orang) setahun, dan upeti serta hak-hak adat lainnya.

“Dapat dikatakan bahwa masa Cultuur Stelsel merupakan masa ‘aksi pungli’ yang paling hebat di satu pihak mengalirkan berjuta-juta gulden ke kas Negara Belanda serta menggemukkan para bupati. Sedangkan rakyat jelata menjadi semakin kurus kering dan melarat. Anehnya rakyat pada waktu itu tetap diam saja, tidak mau memberitahukan kesengsaraan mereka untuk minta diringankan. Semuanya dijalankan saja dengan penuh ketaatan,” ungkap Soegeng Reksodihardjo.

Pada akhirnya, kebiasaan pungli dan bermewah-mewahnya membuat bupati memiliki kebutuhan yang lebih besar daripada keperluan residen (Belanda) dengan keluarga inti, seperti anak dan istri. Hal itu dikarenakan seorang bupati memiliki keluarga besar berupa famili dan anak-pinak, apalagi jika memiliki istri lebih dari satu. Semuanya –keluarga besar—itu dinafkahinya dan diberi pekerjaan.

Tak hanya itu, para bupati juga harus mengeluarkan dana untuk keperluan pesta, selamatan, dan memberi makan rumah tangga. Kira-kira, satu bupati membutuhkan sekitar 2 ribu pikul beras setahun. Berbeda dengan keluarga biasa Belanda atau China yang cuma 25 pikul.

“Tradisi loyal terhadap famili dalam budaya masyarakat Jawa merupakah salah satu etika kebangsawanan. Kewajiban dia sebagai pegawai publik kepada kantornya adalah kewajiban kedua dari kewajiban mereka kepada keluarga dan komunitasnya. Loyalitas model tersebut jelas telah menjadi salah satu akar dari tumbuhnya bahkan menguatnya mental dan perilaku korup,” tutup Erlina Wiyanarti dalam jurnalnya Korupsi Pada Masa VOC dalam Multiperspektif.