JAKARTA - Di mata orang-orang bumiputra, boleh jadi Marsekal Herman Willem Daendels adalah biangnya penjajah. Ia dikenal sebagai pelopor kerja rodi di Nusantara. Tapi di sisi lain, ia juga yang memodernisasi Hindia Belanda. Daendels membenahi carut marut pengelolaan negara bekas kongsi dagang VOC, utamanya soal korupsi yang ia perangi hingga menerapkan hukuman mati.
Mas Galak, panggilan Daendels bagi orang-orang melayu, memperoleh kekuasaan di Hindia Belanda berkat Napoleon Bonaparte, kaisar dari Prancis. Daendels, kata Napoleon dianggap sebagai kekuatan besar yang mampu mereformasi Nusantara.
Kiprah Mas Galak sebagai jenderal dalam memimpin legiun Batavia saat Revolusi Prancis jadi bukti. Lantaran itu, Napoleon memerintahkan adiknya, Louis (Lodewijk) Napoleon yang menjadi Raja Belanda untuk segera mengirim Daendels ke Jawa.
“Tinggal satu pilihan saja bagi saya dan itu telah saya laksanakan, yakni memilih prinsip-prinsip yang teguh, lalu menerapkannya sesuai keadaan. Saya melakukan itu sejak semula agar langsung dapat mencegah dan memperbaiki semua tindakan salah, tanpa mengacaukan seluruh keadaan,” ungkap Daendels saat diutus ke Hindia-Belanda.
Raja Louis kemudian mengangkatnya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru pada 1808. Kepergian Daendels ke tanah harapan disusupi dua titah utama dari Raja Louis. Pertama, menyelamatkan Jawa dari serangan Inggris. Kedua, membenahi sistem administrasi di Jawa.
Sejarawan Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018) mengungkapkan Daendels sejak awal sudah membuat gebarakan di Nusantara. Jejak VOC kemudian digantikan dengan negara modern bernama Hindia Belanda oleh Daendels.
“Daendels hendak menerapkan negara modern yang diciptakan napoleon di koloni Belanda. Negara modern ini mengenal batas-batas daerah, wilayah, hierarki kepegawaian, serta tindakan antikorupsi dan penyelewengan lain yang menjadi kezaliman pada zaman VOC. Korupsi di antara pejabat Belanda di koloni menjadi sasaran Daendels, yang lalu terkenal sebagai: Tuan Besar Guntur,” tulis Ong Hok Ham.
Dalam konsepsi Daendels, para bupati dinyatakan sebagai pegawai kolonial. Artinya, bagian dari aparat kekuasaan atau birokrasi Hindia Belanda. Namun Daendels mengerti keistimewaan bupati sebagai aparat tidak bisa disamakan dengan para pejabat Belanda.
Oleh karena itu, para bupati dan pangreh praja (pegawai bumiputra) dinyatakan sebagai Volkshoofden, para pemimpin rakyat. Mereka ditempatkan di bawah pejabat Belanda yang disebut “saudara tua.”
Gebrakan itu membuat Daendels menaikkan seluruh gaji semua pegawai pemerintah, termasuk para bupati dan stafnya. Langkah itu sebagai bentuk memutus mata rantai pungutan liar (pungli). Suatu praktek yang telah hadir dari zaman kerajaan nusantara sedari abad 13. Lebih lengkapnya terkait pungli kami telah mengulasnya dalam tulisan “Akar Sejarah Korupsi di Indonesia dan Betapa Kunonya Mereka yang Hari Ini Masih Korup.”
Tak hanya itu, gebrakan lain Daendels adalah menghapus posisi gubernur dan direktur Pantai Timur Laut Jawa, yang dilakukannya pada 13 Mei 1808 di Semarang. Sejarawan Peter Carey dalam buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia (2016), menyebut langkah ini sebagai jalan mulus komunikasi langsung antara gubernur jenderal dan para residen di keraton Jawa Tengah-Selatan. Disinyalir, inilah langkah pertama dalam rencana Daendels untuk memusatkan pemerintahan kolonial di Batavia.
Hukuman mati
Dalam pemerintahannya, sang marsekal juga melarang penyogokan pejabat, memainkan timbangan harga komoditas, dan menerima hadiah. Bila nekat korupsi, mereka akan dianggap melakukan tindak pidana dan mendapat hukuman berat. Sebagai gambaran, pegawai yang melakukan korupsi aset-aset negara sebanyak 3.000 ringgit akan divonis dengan hukuman mati.
"Selama masa jabatannya yang tiga tahun lebih sedikit itu, Daendels berhasil mengurangi korupsi. la menimbulkan rasa takut di kalbu para pejabat dan pegawai karena sifat tabiatnya, yaitu pada zamannya ia betul-betul bersedia mengeksekusi (menghukum mati) pejabat yang korup. la mengembangkan sistem kontrol yang bagus sehingga tidak ada kesempatan bagi pejabat membelokkan duit ke dalam kantong mereka,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia (2009).
Sebagai bukti, Daendels tak segan-segan menghukum mati perwira andalannya untuk mempertahankan Maluku dari serangan Inggris, Kolonel JPF Filz. Sekalipun yang dilakukan Filz bukan korupsi secara langsung. Akan tetapi, tindakan Filz dianggap tak bertanggung jawab karena gagal menyematkan komoditas rempah-rempah milik negara pada 1810.
Pada saat itu, Filz memimpin pasukan gabungan Belanda, Jawa dan Madura mencapai 1.500 orang. Singkat cerita, pasukan Filz keok oleh 600 tentara Inggris dan India yang menyerang benteng Victoria.
Filz lantas mengambil langkah seribu ke Laetitia di Bukit Batu Gantung, ia membangun pertahanan di sana. Namun, upayanya itu kembali gagal.
“Akan tetapi pertahanan ini tidak berlangsung lama dan segera dipatahkan. Akhirnya Kolonel Filz menyerahkan seluruh Pulau Ambon kepada Court,” tulis Djoko Marihandono dalam Sejarah Benteng Inggris di Indonesia (2009).
BACA JUGA:
Berita jatuhnya Ambon telah sampai ke telinga Daendels. Daendels terpukul. Sebab, yang diutus bukan perwira biasa, melainkan Filz perwira andalan. Setelah dirinya dilepaskan Inggris dan kembali ke Batavia, Filz diseret ke Mahkamah Militer. Tak lama kemudian ia dijatuhi hukuman mati.
Dalam laporan Inggris, Filz dihukum mati karena tidak mampu mempertahankan Maluku. Akan tetapi, sumber Belanda menyebutkan pemerintah Daendels mengambil keputusan itu setelah Filz diyakini mengorbankan seluruh kekayaan negara agar bisa selamat. Sesuai aturannya, mereka yang menghilangkan aset-aset negara seharga 3.000 ringgit ke atas akan divonis dengan hukuman mati.