Bagikan:

JAKARTA - Sejarah kretek tak pernah bisa lepas dari sosok Nitisemito. Ia adalah bos rokok kretek paling sukses di Nusantara pada zaman Belanda. 

Kesuksesan dalam membangun kerajaan bisnisnya mengundang decak kagum Presiden Pertama RI Soekarno. Bahkan totok sekalipun rela bekerja kepada seorang bumiputra tersebut. Tak heran bila ia mendapat julukan Raja Kretek dari Kudus.

Lahir pada 1863 di Kudus, Nitisemito punya nama kecil Roesdi Bin Soelaiman. Bapaknya adalah seorang kepala desa. 

Nitisemito pun menikmati masa kecilnya yang memiliki darah biru dengan mengemban status sebagai priyayi desa. Akan tetapi, Nitisemito tidak mengenyam pendidikan formal seperti anak kepala desa lainnya.

Jiwa sebagai pembaharu sudah tertanam sejak ia berumur 17 tahun. Saat itu ia menolak untuk melanjutkan ayahnya sebagai abdi negara. Nitisemito lebih berhasrat menjadi pedagang. 

Suatu hari Nitisemito pernah mencoba peruntungannya dengan merantau ke Malang. Dengan sedikit modal dari ayahnya, ia sempet mencoba bekerja sebagai buruh jahit dan membuka rumah jahitnya sendiri. Namun bisnisnya kandat karena persaingan begitu ketat. Ia pun pulang kampung.

Di Kudus, Nitisemito mulai merintis usaha baru dari nol. Hampir segala barang pernah ia jajaki, mulai dari kerbau, minyak kelapa, sampai juragan dokar. Namun hasilnya nihil.

Sampai suatu ketika terbesit dalam benaknya untuk meracik rokok kretek dan menjualnya. Di sini lah titik baliknya sebelum menjadi raja. 

Dikutip dari Bedjo Riyanto dalam buku Siasat Mengemas Nikmat (2019), Nitisemito mulai mengais rejeki dengan menjual rokok buatannya secara kecil-kecilan pada 1910. Perlahan tapi pasti, setelah 12 tahun menjajakan rokok, ia mulai menuai keuntungan besar.

Membangun industri

Nitisemito pun mendirikan usaha rokok klobit dengan merek Tjap Kodong Mangan Ulo (Cap Kodok Makan Ular). Namun, karena menjadi bahan tertawaan Nitisemito mengganti mereknya dengan gambar tiga lingkaran sebagai label tanpa disertai tulisan atau nama produk. Keunikan itulah yang membuat produk rokok Nitisemito sukses dan laris di pasaran. 

Orang-orang menyebutnya dengan ragam nama, seperti ‘Bal Teloe’, ‘Bal Tiga’, atau ‘Tiga Bola’. Kesuksesan itu membawa Nitisemito sebagai pionir industri rokok kretek pertama bumiputra. Itu pula yang menjadikannya dijuluki Raja Kretek (kretek kooning) oleh masyarakat Hindia Belanda.

Lewat kesuksesan Bal Tiga, Nitisemito mulai menerapkan manajemen modern dengan pemusatan produksi pada satu areal pabrik. Semula para buruh linting membawa pekerjaannya ke rumah masing-masing, menjadi mereka bekerja langsung di pabrik dengan melinting rokok dalam jam kerja tertentu, setiap harinya. Sebagai bentuk keseriusan, Nitisemito kemudian memperkerjakan akuntan kulit putih H.J Voren dan akuntan dari pemerintah kolonial Belanda bernama Poolman.

Perkembangan pesat itu, membuat rokok Bal Tiga malang-melintang di kota-kota besar di seluruh Nusantara. Wilayah jangkauan pemasaran meliputi Pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, bahkan mampu mengekspor ke negeri Belanda. Sebagaimana yang diungkap J.A. Noertjahyo dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000), Cap Bal Tiga lalu secara resmi mulai digunakan tahun 1924-1925.

“Antara tahun 1930-1934 produksinya baru sekitar 2-3 juta batang/ hari. pada tahun 1938, produksinya melonjak tajam hingga mencapai 10 juta batang/ hari dengan buruh sekitar 10 ribu orang,” ungkap J.A. Noerjahyo.

Inovatif

Nitisemito selalu menemukan cara untuk membuat barang dagangannya diburu orang. Ia adalah seorang inovator. Bahkan bisa dibilang ia menjadi salah satu pelopor yang menerapkan strategi pemasaran kreatif di Nusantara. 

Nitisemito terhitung berani mencoba hal-hal baru. sampai-sampai, dirinya membentuk departemen pemasaran yang berjumlah 20 orang hanya untuk mengenalkan Bal Tiga ke seluruh Nusantara. Karena itu, Nitisemito melampau para pengusaha di zamannya, termasuk mereka kaum Eropa.

Beberapa di antaranya Nitisemito menggunakan teknik marketing menjual Bal Tiga dengan iming-iming hadiah, seperti jam dinding, gelas, arloji, piring cantik, hingga sepeda. Hadiah itulah yang membuat penjualan Nitisemito makin naik dan Bal Tiga mencapai puncak kejayaannya. Rekaman kesuksesan Bal Tiga sempat diungkap kembali oleh Ratih Kumala dalam novel sejarahnya berjudul Gadis Kretek (2012).

Ratih mengungkapkan set poci dan cangkir bergambar tiga buah ring hadiah dari kretek Bal Tiga, sering memenuhi rumah-rumah kaum bumiputra di masanya. Kretek buatan Nitisemito begitu terkenal dan besar gara-gara cara promosi yang tak lazim pada zamannya.

“Ketika pada masa jayanya, Kretek Bal Tiga memberikan banyak hadiah dengan logo kretek di hadiah tersebut. Mulai dari piring kecil sebagai tempat makanan ringan, tempat geretan, set poci, nampan, sampai yang paling besar adalah sepeda. Hadiah-hadiah itu bisa didapat dengan cara menukarkan sejumlah kemasan Kretek Bal Tiga,” cerita Ratih.

Tak hanya itu, Nitisemito pun sering mengiklankan produknya dengan menjadi sponsor acara pertunjukan-pertunjukan tradisional dan teater modern. Kiranya, tak terhitung lagi berupa banyak acara seperti wayang kulit, ketoprak, wayang orang, dan sandiwara/tonil yang telah disponsori oleh Nitisemito.

Itu masih belum seberapa. Nitisemito pernah membuat heboh penduduk di kota Bandung, Bogor, Batavia, Semarang, dan Surabaya dengan promosi hebatnya. Kala itu, Nitisemito menyewa sebuah pesawat Fokker F.VII milik kompeni. Pesawat dengan moncong putih dengan nomor punggung PK-AFC disewa oleh Nitisemito seharga 200 gulden untuk setiap penerbangan.

Kisah itu belakangan dijadikan novel sejarah oleh Iksaka Banu dengan Judul Sang Raja (2017). Iksaka Banu menuliskan suasana saat pesawat Fokker terbang di atas sebuah lapangan yang ramai dihuni warga masyarakat. Seketika, dari atas Fokker berhamburan ribuan kertas putih seperti hujan. Warga langsung mengambil selebaran itu dan berteriak kegirangan.

“Ketika kami (Tim Bal Tiga) berkumpul kembali di kantor, semua petugas lapangan melaporkan temuan yang sama. Baik di Surabaya, Semarang, Buitenzorg (Bogor), bahkan Batavia, berhari-hari para pengunjung terus memperbincangkan pesawat yang menyebarkan pamflet itu. Dan laporan pemasukan bulan-bulan berikutnya cukup menggembirakan. Harga rokok berhasil ditahan di batas 6 sen untuk waktu yang lama,” tulis Iksaka Banu.

Disanjung presiden

Kesuksesan sang raja kretek sampai dipuji Soekarno saat berpidato dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Konon, Nitisemito adalah pendukung utama Sarekat Islam (SI) dan sering kali membantu perjuangan kemerdekaan.

“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua,” ujar Bung Karno.

Beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, yakni pada 7 Maret 1953 Nitisemito wafat. Ia dimakamkan di Krapyak, Kudus.

Kepergiannya sekaligus menutup cerita dari kesohornya Bal Tiga. Ragam konflik internal, dinamika politik yang berkembang, serta tidaknya regenerasi jadi penyebab utama bangkrutnya Bal Tiga. 

Meski kerajaannya telah runtuh, nama Nitisemito tetap dikenang. Gelarnya sebagai Raja Kretek dari Kudus abadi hingga detik ini.