Sejarah Tumpeng: Sudah Ada Sejak Agama Samawi Belum Masuk ke Nusantara
Tumpeng (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Tumpeng adalah makanan masyarakat Jawa yang kini sudah kesohor hampir ke seluruh Indonesia. Penyajian tumpeng biasanya nasi yang dibentuk kerucut dan ditata bersama lauk-pauknya. Menurut penelusuran, tumpeng sudah ada sejak agama samawi belum masuk ke Nusantara. Uniknya, pergantian zaman membuat nilai yang tersirat dalam tumpeng hanya bergeser, bukan berganti.

Secara etimologis, istilah tumpeng merupakan singkatan dalam bahasa Jawa yakni “tumapaking panguripan-tumindak lempeng-tumuju Pengeran” yang artinya “tertatanya hidup-berjalan lurus-kepada Tuhan”. Bentuknya yang kerucut menyimbolkan bahwa manusia seyogyanya harus hidup menuju jalan Tuhan. 

Sementara itu secara terminologis, tumpeng adalah jenis makanan tradisional yang hampir selalu disajikan saat pelaksaan ritual sesajen dalam tradisi masyarakat Jawa. Itulah salah satu alasan mengapa tumpeng punya nilai sakral sehingga membuat makanan ini seringnya dihidangkan pada momen-momen penting, seperti yang paling umum yakni saat kita berulang tahun.

Asal tumpeng

Sampai sekarang tak ada yang tau pasti kapan pertama kali tumpeng dijadikan hidangan makanan. Namun M. Zein Ed-Dally dalam tulisannya yang bertajuk Makanan Tumpeng dalam Tradisi Bancakan (2019) menjelaskan, tumpeng telah disebutkan di dalam naskah sastra Ramayana, naskah sastra Arjuna Wijaya, dan Kidung Harsa Wijaya. 

Dalam dua naskah terakhir, tercatat tumpeng menjadi makanan yang selalu dihidangkan dalam setiap perayaan pesta. Hal tersebut juga diperkuat oleh Serat Centhini yang menyebut tumpeng identik dengan berbagai macam peristiwa makan bersama atau bancakan.

Menurut rangkuman dari kitab tersebut, tumpeng sudah ada terhitung sejak sebelum masuknya agama yang diakui pemerintah saat ini masuk ke bumi Nusantara khususnya Jawa dan sekitarnya. Saat itu masyarakat masih menganut kepercayaan Kapitayan. 

Seperti dijelaskan P.Mus dalam bukunya L’inde vue de L’Est. Cultes Indiens etindigenes au Champa yang dikutip Mojok, dijelaskan penganut Kapitayan ini memuja tuhan yang mereka sebut Sanghyang Taya, yang dipercaya memiliki sifat Tu atau To yang terdiri atas dua sifat yakni kebaikan dan ketidakbaikan.

Tu dipercaya tersembunyi dalam berbagai benda yang mengandung kata Tu seperti watu (batu), tu-ngkub (bangunan suci), tu-nda (bangunan berundak), tu-k (mata air), tu-mbak (jenis lembing), tu-nggak (batang pohon) serta yang lain.

Dalam pemujaannyapun juga digunakan sesajen yang mengandung kata tu, seperti tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam), tu-mbu (tempat bunga) serta yang lain. Sejak era ini, terbukti bahwa tumpeng, sudah diasosiasikan dengan makanan sesajen.

Bukti lain bahwa tumpeng ada sejak era Kapitayan adalah dengan adanya mantra yang wajib dipanjatkan sebelum memasak tumpeng. Bunyinya: "Ni Towok, kulo niat adang Tumpeng." Artinya, "Ni Towok, saya berniat untuk memasak Tumpeng."

Tumpeng (Sumber: Wikimedia Commons)

Pergeseran nilai

Seiring dengan masuknya berbagai pengaruh religiusitas agama, baik itu Hindu, Budha, hingga Islam, banyak pergeseran nilai yang sebelumnya diyakini oleh masyarakat. Pada era Hindu-Buddha misalnya, tumpeng baru dibuat dalam bentuk kerucut yang menyerupai gunung. 

Tumpeng dengan bentuk kerucut kata Zein, mencerminkan masyarakat Hidnu yang meyakini bahwa gunung Mahameru merupakan tempat bersemayamnya para dewa dan arwah leluhur mereka. Sehingga perlu untuk disucikan serta dikeramatkan, salah satunya dengan menyajikan makanan persembahan yang menyerupai gunung Mahameru.

Lalu ketika Islam masuk dan memengaruhi kebudayaan lokal masyarakat Jawa, pemaknaan tumpeng kembali bergeser, namun hanya sebatas aspek kerohanian. Muslim tak lagi meyakini pada benda-benda yang memiliki kekuatan ghaib sebagaimana dalam keyakinan kapitayan maupun pada dewa-dewi sebagaimana dalam keyakinan Hindu-Buddha, melainkan diyakini pada Allah sebagai zat yang menciptakan segalanya.

Bagi Muslim, pergeseran tujuan berkeyakinan tersebut berimplikasi, salah satunya pada teks mantra atau doa yang dimodifikasi dengan penambahan pujian kepada Allah dan selawat kepada Nabi Muhammad. Dengan demikian, bisa dibilang setiap kali muncul pengaruh eksternal, baik dari ajaran agama maupun dari perkembangan budaya, akan sekaligus menggeser --bukan menghapus-- nilai serta prinsip yang sebelumnya dipahami dan diyakini oleh masyarakat.