JAKARTA - Arswendo Atmowiloto adalah seorang penulis serba bisa. Mulai dari menulis cerpen, novel, sampai skenario film. Pembuat film Keluarga Cemara ini namanya semakin dikenal luas sejak tersandung kasus yang dianggap menghina Nabi Muhammad karena jajak pendapat tabloid Monitor yang dipimpinnya. Berikut perjalanan hidupnya.
Arswendo lahir di Surakarta, Jawa Tengah, hari ini 26 November 72 tahun lalu atau pada 1948. Ia mulai dikenal sejak menjadi penulis dan wartawan Indonesia yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar seperti harian Kompas dan majalah Hai. Arswendo juga menulis cerpen, novel, naskah drama, dan skenario film.
Seperti dikutip laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Arswendo pernah kuliah di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, IKIP Solo namun tak tamat. Setelah keluar dari kampus, Arswendo sempat kerja serabutan. Mulai dari buruh pabrik bihun, sampai pemungut bola di lapangan pernah ia jalani.
Baru pada 1971 Arswendo mulai merintis kariernya sebagai sastrawan. Cerpen pertamanya berjudul “Sleko”, yang dimuat dalam majalah Mingguan Bahari. Di samping sebagai penulis, ia juga aktif sebagai pemimpin di Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah, Solo (1972).
Arswendo Atmowiloto adalah pengarang serba bisa yang sebagian besar karyanya berupa novel. Isi ceritannya bernada humoris, fantatis, spekulatif, dan suka bersensasi. Karyanya banyak dimuat dalam berbagai media massa, antara lain Kompas, Sinar Harapan, Aktual, dan Horison. Karangannya antara lain diterbitkan oleh penerbit Gramedia, Pustaka Utama Grafiti, Ikapi, dan PT Temprint. Puluhan karyanya telah dibukukan, sebagian diangkat ke layar televisi dan film.
Kontroversi tabloid Monitor
Nama Arswendo mendadak jadi tokoh karena ia dipersekusi. Kasus penodaan agama seperti yang terjadi pada Ahok bukan kali pertama terjadi. Tahun 1990, Arswendo juga pernah dipenjara akibat kasus penghinaan Nabi Muhammad.
Kasusnya berawal dari jajak pendapat pembaca tabloid hiburan Monitor tentang tokoh yang paling dikagumi. Seperti dijelaskan Monique Rijkers dalam tulisannya yang dimuat Deutsche Welle, pembaca mengirimkan jawabannya melalui kartu pos dan hasilnya diterbitkan di tabloid Monitor yang beroplah sekitar 500 ribu eksemplar.
Hasil jajak pendapat itu memang cukup menggemparkan. Angket itu mendapuk Nabi Muhammad hanya berada di urutan ke-11 sebagai tokoh paling dikagumi di Indonesia, di bawah Arswendo yang berada di urutan ke-10 sementara Presiden Soeharto berada di urutan pertama.
Hal itu sontak membuat orang Muslim marah karena sosok Nabi Muhammad berada di urutan ke-11. Umat lantas mengecam tabloid Monitor. Dan sebagai Pemimpin Redaksi, Arswendo dianggap bertanggung jawab atas hasil jajak pendapat yang terbit pada 15 Oktober 1990 tersebut.
Tabloid Monitor sempat memuat permintaan maaf dalam penerbitan berikutnya namun tetap tak meredam amarah masyarakat dan hakim pun menghukum Arswendo lima tahun penjara. Ia dihukum karena dianggap subversi dan melanggar Pasal 156 A KUHP dan Pasal 157 KUHP.
Dibela Gus Dur
Selain menuntut pemenjaraan Arswendo, warga Muslim yang marah saat itu juga menuntut agar Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tabloid Monitor dicabut. Saat itu, hampir tak ada tokoh yang membela Arswendo kecuali Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alis Gus Dur. Ia tak sepakat SIUPP tabloid Monitor dicabut dan menolak adanya aksi main hakim sendiri.
"Saya tidak setuju dengan pencabutan SIUPP apapun. Bawalah ke pengadilan, itulah penyelesaiannya yang terbaik. Bung Karno zaman kolonial dia dihukum oleh pemerintah kolonial, tapi dia membuat pledoi dalam Indonesia Menggugat, dan itu yang menjadi pegangan hidup bangsa kita saat ini," kata Gus Dur dalam Tabayun Gus Dur (1998).
Dengan demikian, Gus Dur tampak memberikan pelajaran kepada rakyat untuk menghargai otoritas pengadilan dan tidak bertindak menghakimi sendiri. "Saya ingin Muslimin ini mendewasakan diri dalam pandangan agama mereka sendiri dan melakukan hal-hal yang konstruktif, pemekaran cakrawala umat, pembinaan kembali akhlak umat hingga mencapai keseimbangan optimal antara emosi dan rasio," kata Gus Dur.
Atas pembelaan Gus Dur, Arswendo memuji sosok yang dianggap wali tersebut. "Bagi saya Gus Dur itu bukan wali, aslinya sampai sekarang pun saya yakin beliau itu dewa, cuma nyamar jadi kiai. Saya tidak habis pikir, apa untungnya membela saya. Toh saya ngga kenal dekat dengan Gus Dur,” kata Arswendo dalam sebuah acara di PBNU pada 2014.
Di balik tembok penjara, kreativitas Arswendo tidak mati. Sebaliknya, ia berhasil menulis tujuh novel, puluhan artikel dan naskah skenario film.
BACA JUGA:
Salah satu kebangkitan Arswendo yakni saat berhasil membuat cerita drama "Keluarga Cemara" yang mengubah wajah pertelevisian di Indonesia. Kehadiran sosok Abah sebagai seorang tukang becak, ibu pembuat opak dengan ketiga putrinya menyajikan tontonan yang mendidik sekaligus menghibur.
Arswendo meninggal dunia pada 19 Juli di rumahnya di Jakarta Selatan karena mengidap kanker prostat. Jenazahnya kini bersemayam di tempat pemakaman San Diego Hills, Karawang.