JAKARTA - Erwin Arnada punya cerita panjang di industri media dan hiburan tanah air. Menyelesaikan pendidikan sastra Rusia pada tahun 1987, Erwin memilih untuk memulai karier di dunia fotografi yang di kemudian hari akan menjadikannya sebagai sosok yang paling menarik atensi publik.
Lahir pada 17 Oktober 1963, Erwin mrngawali karier sebagai fotogrefer dari klub sepak bola Persija Jakarta. Pekerjaan itu membuatnya bertemu dengan banyak wartawan dan berkenalan dengan dunia jurnalistik.
Erwin memulai karier jurnalistiknya di majalah mingguan Editor. “Saya kenal lama sama salah satu fotografer yang saya kagumi, terus diajak magang di majalah Editor, tapi sebagai reporter. Liputan pertama saya politik dan ekonomi. Itu hampir satu tahun,” kata Erwin Arnada saat dikunjungi tim VOI di kantornya di Perum Produksi Film Negara, Jakarta Timur beberapa waktu lalu.
Namun, perjalanannya dengan Editor tidak berlangsung lama. Tidak merasa puas hanya menjadi reporter politik dan ekonomi karena passion-ya pada dunia fotografi dan seni kurang tersalurkan, Erwin menerima tawaran dari tabloid Monitor pimpinan Arswendo Atmowiloto sebagai redaktur foto.
“Saya lebih ketemu dan klik di Monitor, lebih passion. Saya memang suka motret, tapi juga dunia hiburan kayak soal film dan musik. Kayaknya lebih pas gitu, jadi ya udah di sana,” ujarnya.
Namun, perjalanannya bersama Monitor juga tidak berlangsung lama. Keberuntungan belum memihak kepada Erwin, tempat ia bekerja dibredel dan pimpinannya, Arswendo dipenjara.
Masih ingin melanjutkan kariernya di industri media dengan berfokus pada dunia hiburan, Erwin bersama beberapa temannya membuat tabloid baru, Bintang Indonesia lewat bantuan salah satu pengusaha kenamaan, Ciputra.
Bekerja 8 tahun di Bintang Indonesia, memutuskan untuk keluar dan mencari tantangan baru. Ia pun membentuk media baru dengan mengincar pasar papan atas. “Saya butuh perkembangan baru karena mentok. Saya mau bikin sesuatu yang beda tapi belum diizinin sama yang punya duit. Yaudah saya keluar, saya bikin lagi baru, tabloid Bintang Milenia, majalah hiburan yang high end,” tutur Erwin.
Memasuki abad ke-21, Erwin mulai merambah ke dunia perfilman. Passion-nya dengan dunia seni dan perkenalannya dengan banyak sineas dan pelaku film membuatnya terlibat sebagai salah satu orang yang berada di balik layar film horor monumental, Jelangkung (2001).
“Akhirnya kesempatan bikin film itu di tahun 2000, film Jelangkung saya produserin,” katanya.
Tidak main-main, industri film Indonesia yang sempat meredup pada masa itu, khususnya film horor kembali bergairah lewat Jelangkung. Bahkan film tersebut berhasil berada di bioskop selama 7 bulan lamanya. Kesuksesan film Jelangkung membuat Erwin semakin banyak terlibat dalam dunia film. Pada periode 2003-2007, setidaknya enam film ia produseri.
Pada pertengahan tahun 2000-an, Erwin diminta oleh rekan-rekannya dari dunia jurnalistik untuk kembali ke dunia yang telah membesarkan namanya itu. Namun, ia sempat menolak untuk kembali.
Meski begitu, Erwin memberi satu pengecualian. Ia bersedia kembali ke dunia jurnalistik jika hanya untuk menerbitkan tabloid khusus dewasa asal Amerika Serikat, Playboy di Indonesia. Keinginannya itu pun terwujud, Palyboy Indonesia pimpinan Erwin Arnada terbit perdana pada 7 April 2006.
Namun, keputusannya meghadirkan Playboy ke Indonesia tidak disambut baik oleh beberapa organisasi masyarakat (ormas). Bahkan, kantor Playboy Indonesia di Jakarta harus dirusak ormas, yang kemudian kantor tersebut berpindah ke Bali.
Playboy Indonesia tidak bertahan lama. Majalah itu pun ditutup setelah mengeluarkan 11 edisi. Lebih sialnya, Erwin sebagai pimpinan redaksi harus berurusan dengan hukum. Sempat diputus tak bersalah pada dua pengadilan awal, Mahkamah Agung pada Oktober 2010 justru menyatakannya bersalah, yang membuatnya harus mendekam di balik jeruji besi.
Namun, setelah Erwin Arnada mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, ia kembali dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari penjara.
Di dalam penjara, Erwin sempat menulis beberapa buku, Rumah di Seribu Ombak, Midnite di Negeri Nonsense dan Rabbit Versus Goliath.
Pasca dinyatakan tidak bersalah dan bebas dari penjara, Erwin lebih memilih untuk menyibukkan dirinya di dunia film dan meninggalkan jurnalistik hingga saat ini. Tidak hanya sebagai produser, kini ia juga aktif sebagai sutradara dan penulis skenario.
Kontroversi dari Playboy Indonesia yang membuatnya harus mendekam di dalam penjara, meski akhirnya dinyatakan tidak bersalah, tidak hanya menjadi perhatian publik Indonesia. Beberapa rekan Erwin sesama pelaku film dan jurnalis dari belahan dunia lain juga mengikuti kisahnya.
Beberapa tahun lalu setelah dibebaskan dari penjara, Erwin sempat menghadiri sebuah festival film internasional dan bertemu dengan banyak pelaku film dari berbagai negara. Di sana, Erwin diminta oleh seseorang yang mengenalnya untuk bercerita mengenai pengalamannya ketika dipenjara.
“Kita tuh ngumpul-ngumpul, ada beberapa director dan produser. Di situ ada yang kenal sama saya, ketemu lagi dan cerita, ‘Eh gimana?’, dia nanya pengalaman di penjara gimana. Konyol banget sih, tapi ya saya ceritain aja,” kisahnya.
“Salah satu director kebetulan filmnya jadi opening di festival itu. Browsing dan dia nanya ‘Ini kamu?’. Dia nanya majalahnya gimana. Teman saya bilang majalahnya sih lebih ke budaya dan fashion. Udahlah di situ cerita lagi sampai bubaran,” lanjutnya.
BACA JUGA:
Keesokan harinya, Erwin kembali bertemu dengan sutradara tersebut. Kemudian, ia ditawari agar kisahnya sebagai jurnalis hingga mendekam di penjara dibuatkan ke dalam sebuah karya film. Tanpa berpikir panjang, Erwin pun menawarkan sutradara dari Meksiko itu untuk membaca jurnal yang telah ia susun sejak menjadi jurnalis hingga akhirnya dipenjara, yang ia beri judul Rabbit In Prison.
Setelah sepakat kisahnya dibuatkan ke dalam karya film, Erwin punya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sutradara dari Meksiko itu. “Tadinya mau semua pemainnya luar dan syutingnya di sana. Itu gak ketemu-temu. Belum lagi urusan kalau yang main orang asing, terus syutingnya di sana, ya itu bukan tentang jurnalis indonesia. Jelas akan berbeda,” ujarnya.
“Saya bilang nuansanya pasti beda. Akhirnya dia ke sini (Indonesia), saya kelilingan cari lokasi. Setelah 3 sampai 4 bulan, akhirnya sepakat kalau bahasanya Inggris enggak apa-apa, tapi aktris atau aktornya Indonesia dan syutingnya di sini,” sambungnya.
Namun, karena pandemi yang melanda seluruh dunia pada tahun 2020 lalu, proyek film tersebut harus terhenti. Saat ini, setelah pandemi berakhir, Erwin mengatakan bahwa proyek film tersebut akan kembali dilanjutkan.
Perjalanan Membuat Legacy
Dari perjalanan panjang dalam dunia jurnaslistik dan film Erwin Arnada menolak untuk berbuat sesuatu hanya berdasarkan pakem-pakem yang sudah ada. Ia punya satu prinsip yang sudah ia terapkan sejak masa mudanya, dimana imajinasi tanpa batas menjadi inspirasinya dalam berkarya.
“Jadi emang kita kan imajinasi jadi inspirasi, kalau kita gak batesin. Imajinasi gak boleh dibatesin. Jangan pernah bilang gak mungkin ketika kita memiliki ide,” kata Erwin.
Mulai dari keputusannya yang justru memilih menjadi fotografer dibandingkan berkarier sesuai bidang yang ia pelajari, sastra Rusia, kemudian beralih ke jurnalis dan memimpin tabloid hiburan besar, hingga turut terlibat dalam dunia film, Erwin selalu mendasarkan keputusannya atas ide-ide yang ia yakini.
Kasus Playboy Indonesia yang menjadi kontroversi jadi salah satu contoh dari imajinasi liar Erwin, yang kemudian hari kasusnya menjadi inspirasi bagi banyak jurnalis untuk memperjuangkan hak dan kebebasannya.
“Saya punya motto I’m not a hero, i’m not a victim, i’m just another version of history. Jadi, saya cuma bagian dari sejarah kecil,” ujarnya.
“Di majalah playboy saya dipenjara dan keluar. Saya gak bisa bilang jadi korban juga, tapi pada saat sekarang ini gak bakal ada media yg kena pasal hukuman seperti saya, karena terbukti itu gak bisa. Orang bilang jadi martir karena gak ada lagi. Jadi, kalau ada wartawan yang bikin majalah Playboy, ya gak bisa dikenai pasal kayak saya, karena itu gak berlaku,” sambungnya.
Tidak hanya itu, cara Erwin Arnada dalam memilih jurnalis ketika ia memimpin sebuah media atau memilih aktor dan aktris untuk filmnya juga diinspirasi dari imajinasi yang tak pernah ia batasi. Ia punya kecenderungan untuk memilih orang-orang baru ketimbang yang sudah memiliki pengalaman.
“Saya berpikir selalu ada yang pertama buat orang dan pekerjaan, first one for everything. Di wartawan itu juga gak pernah ngebajak karyawan lain, saya ke kampus dan nanya mana mahasiswa lu yang pintar. Banyak banget di tabloid bintang itu mahasiswa FISIP yang masih sekolah, belum lulus. Tapi saya pekerjakan karena mereka punya ide baru, itu jadi saya terapin ke film,” tuturnya.
Banyak pelaku film yang memulai kariernya lewat kesempatan yang diberikan Erwin Arnada, sebut saja Upi Avianto yang memulai karier sebagai sutradara film 30 Hari Mencari Cinta dan Dimas Djayadiningrat yang memulai karier sutradara lewat film Tusuk Jelangkung.
Untuk film 30 Hari Mencari Cinta, bukan hanya sutradara yang baru, Erwin juga banyak membawa aktor dan aktris baru yang saat ini sudah menjadi salah satu pemeran papan atas tanah air, diantaranya adalah Vino G Bastian, Nirina Zubir, Luna Maya dan Revaldo.
Pertemuan dengan para aktor baru tersebut punya cerita unik yang berbeda-beda. Erwin Arnada bercerita bagaimana ia bertemu dengan Joanna Alexandra dan Julie Estelle, yang kemudian mengajaknya maing-masing untuk bermain dalam film Catatan Akhir Sekolah (2005) dan Alexandria (2005).
“Contohnya Joanna (alexandra) di Catatan Akhir Sekolah, saya ketemunya di airport. Ketemu Julie Estelle di tangga Citos, ternyata adiknya Cathy Sharon yang baru datang dari Perancis dan saya ajak main di Alexandria,” kisahnya.
Namun, di balik imajinasi liarnya, Erwin Arnada punya keinginan sederhana ketika ditanya apa yang menjadi legacy-nya. Ia memilih untuk menjadi sosok inspiratif bagi anaknya. “Saya lebih mikirin anak saya tahu bahwa bapaknya pernah ngerjain ini itu dan anak saya bangga,” pungkasnya.