Kebesaran Hati Jenderal Urip Sumohardjo dan Terpilihnya Jenderal Sudirman sebagai Panglima TKR
Pelantikan Jenderal Sudirman (Sumber: Perpusnas)

Bagikan:

JAKARTA - Kolonel Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI pertama sekaligus termuda melalui Konferensi TKR, 12 November 1945. Konferensi TKR digelar karena Supriyadi tak pernah muncul sejak ditetapkan sebagai Menteri Keamanan Rakyat sekaligus Panglima TKR oleh Presiden Soekarno.

Keberadaan Supriyadi hingga detik ini masih misterius. Entah ia masih hidup atau wafat. Menurut versi keluarga, Supriyadi telah wafat dalam pemberontakan PETA di Blitar. Kalahnya Supriyadi dan pasukan disebabkan strategi pemberontakan mereka bocor ke pihak Jepang.

Ayah Supriyadi, yakni Darmadi merupakan anggota PETA angkatan pertama. Darmadi satu angkatan dengan Suharto dan AH Nasution. Tahun 1945, Darmadi menjabat sebagai petinggi kejaksaan di Kediri. Darmadi telah mengetahui anaknya akan melakukan pemberontakan PETA di Blitar. Namun posisi Darmadi saat itu sedang ditahan kempeitai Jepang di Kediri.

Adik Supriyadi, yakni Suroto sudah mengikhlaskan kepergian kakaknya, sebagaimana pesan ayahnya yang legowo atas kematian anaknya di medan tempur. Namun yang membuat Suroto dan keluarga besar Supriyadi kesal adalah sikap pemerintah yang sejak dulu sampai sekarang membiarkan rumor kehidupan Supriyadi menjadi misteri.

"Bangsa Jepang yang dibilang biadab saja, usai perang masih mencari dan mengumpulkan tulang belulang pejuangnya di pulau-pulau seluruh Indonesia. Lha, kita yang katanya bangsa religius menghargai jasa pahlawan, kenapa ini terus dibiarkan. Kenapa terus ditutupi," tutur Suroto, dikutip Detik edisi 16 Agustus 2018.

Tidak jelasnya keberadaan Supriyadi membuat para pimpinan TKR resah. Letnan Jenderal Urip Sumohardjo --yang sebelumnya telah dipanggil oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dan diberi mandat sebagai staf umum TKR-- kemudian berkoordinasi dengan pejabat sementara Menteri Keamanan Rakyat, Muhammad Soeljoeadikoesumo. Mereka membentuk empat komandemen di Jawa dan Sumatera.

Komandemen I Jawa Barat dipimpin Jenderal Mayor Didi Kartasasmita. Komandemen II di Jawa Tengah dipimpin Jenderal Mayor Suratman. Komandemen III Jawa Timur ada di bawah pimpinan Jenderal Mayor Muhammad, dan Komandemen IV Sumatera dipimpin oleh Jenderal Mayor Suharjo Harjowardoyo.

Selain memilih empat komandemen, Letnan Jenderal Urip Sumohardjo juga memilih Yogyakarta sebagai Markas Tinggi TKR. Semula, berada di gedung yang kini menjadi Hotel Inna Garuda, lalu dipindahkan ke gedung yang sekarang menjadi Museum TNI AD Yogyakarta. Selanjutnya, untuk menindaklanjuti desakan TKR agar disegerakan pemilihan pimpinan tentara, maka Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, atas izin pemerintah pusat berinisiatif mengumpulkan semua komandemen, panglima divisi dan resimen TKR dan mengadakan rapat besar. Maka lahirlah Konferensi Tentara Keamanan Rakyat di Markas Besar Tentara di Yogyakarta pada 12 November 1945.

Letnan Jenderal Urip Sumoharjo mengundang pimpinan TKR Jawa dan Sumatera, serta para komandan resimen dan divisi ke Yogyakarta untuk menghadiri Konferensi TKR. Pada 12 November, terlaksanalah Konferensi TKR walau jumlahnya tidak komplit. Jawa Timur, misalnya, di mana sebagian petinggi TKR tak datang karena masih sibuk bertempur menghadapi tentara AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945.

Untuk wilayah Sumatera pun tak semua petinggi TKR dapat hadir karena berjaga-jaga akan pecahnya perang seperti di Surabaya. Ternyata kewaspadaan itu benar. Sejak Oktober 1945 sampai 10 Desember 1946 terjadi pertempuran Medan Area, sebuah pertempuran yang memakan waktu lebih lama daripada di Surabaya. Atas kondisi tersebut, maka enam divisi dari Sumatera diwakili oleh satu perwira, yakni Kolonel Mohammad Noeh.

Sementara, wilayah lain tidak terlibat karena masih menjadi wilayah Belanda. Seperti penuturan Pengamat Sejarah Militer, Sarif Idris. "Indonesia Timur dan Kalimantan ketika itu masih dibawah komando Sekutu yang kemudian diserahkan kepada Belanda. Yang milik Republik Indonesia, Jawa dan Sumatra. Makanya nanti ada agresi tahun 1947 dan 1948 untuk rebut Jawa dan Sumatra kan" ujar Sarif saat diwawancarai VOI.

Nama Sudirman

Tidak lengkapnya kehadiran petinggi TKR tersebut tak membuat konferensi batal dilaksanakan. Konferensi TKR dibuka pada pukul 10.00 WIB. Hadir pula sejumlah tokoh, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sunan Pakubuwono XII, Mangkunegoro X serta pejabat sementara Menteri Keamanan Rakyat Muhammad Seoljoadikoesumo.

Dikutip dari buku Guru bangsa: sebuah biografi Jenderal Sudirman karya Sardiman A.M, suasana rapat sempat memanas saat pemilihan kandidat Panglima TKR. Rapat sempat dihentikan beberapa waktu karena kondisi tersebut. Saat itu muncul nama dua tokoh yang dinilai layak menjadi pimpinan TKR, yaitu Letnan Jenderal Urip Sumohardjo dan Kolonel Sudirman. Urip Sumohardjo ketika itu menjabat Kepala Staf Umum TKR dan mendapat dukungan suara mantan anggota KNIL. Sementara, Sudirman kala itu menjabat Panglima Divisi V Banyumas, Jawa Tengah yang didukung mantan anggota PETA.

Setelah berhenti beberapa waktu, sidang yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Holland Iskandar kembali dimulai. Untuk mencegah kembalinya situasi memanas, maka Holland Iskandar meminta seluruh peserta untuk menuliskan nama calon Panglima TKR di atas kertas lalu dituliskan di papan tulis. Hasilnya terdapat delapan nama:

1. M. Nazir (KNIL Laut) 

2. Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Bangsawan)

3. Wijoyo Suryokusumo

4. Urip Sumohardjo (Staf Umum TKR, ex-KNIL) 

5. GPH Purwonegoro (Bangsawan) 

6. Sudirman (Panglima Divisi V, ex-PETA) 

7. Suryadi Suryadarma (Mantan Perwira KNIL) 

8. M. Pardi (Laksamana Kepala TKR Laut) 

Pemilihan dilakukan secara langsung. Setiap peserta konferensi cukup mengangkat tangan sebagai wujud dukungan kepada calon Panglima TKR yang disebutkan panitia pemilihan. Dikutip dari Warta Budaya Dinas Kebudayaan Yogyakarta, jalannya pemilihan berlangsung alot hingga tiga putaran.

Dua calon gugur di putaran pertama. Dua calon lainnya gugur di putaran kedua. Putaran ke tiga terdapat empat nama calon, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, Suryadi Suryadarma dan Kolonel Sudirman. Voting putaran terakhir menetapkan Kolonel Sudirman sebagai pemenang. Sudirman berhasil memperoleh 22 suara. Sementara, Letnan Jenderal Urip didukung oleh 21 suara.

Kolonel Sudirman terpilih menjadi Panglima TKR di usia 29 tahun. Masih sangat muda dibanding kandidat lain yang lebih senior. Selain memilih Panglima TKR, konferensi juga menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Dalam menyikapi hasil pemilihan tersebut, Kolonel Sudirman terkejut dengan hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Urip Sumohardjo.

Hal ini senada dengan ucapan pengamat sejarah militer, Sarif Idri. "Sikap Sudirman agak enggak enakan terhadap pemenangan dirinya. Tadinya Sudirman maunya dipilih saja, jangan voting. Biar bagaimanapun Oerip kan lebih experienced dan senior. Cuma loyalis Sudirman mendesak. Akhirnya diiyakan," tutur Sarif.

Dalam konferensi TKR saat itu memang kenyataannya banyak peserta yang mantan prajurit PETA. Para prajurit mantan PETA ini jelas ragu jika harus memilih Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, mengingat beliau sejak tahun 1914 sudah mengabdi menjadi tentara Belanda, yaitu KNIL. Terlebih lagi kondisi saat itu Belanda sedang bertempur dengan pihak Indonesia, sehingga bagi mereka, lebih aman memilih Kolonel Sudirman yang berlatar belakang mantan tentara PETA bikinan Jepang.

Selain itu, Sarif Idris juga menambahkan terpilihnya Kolonel Sudirman kala itu dibantu pula dukungan Abdul Haris Nasution. "Terpilihnya Sudirman juga tak lepas dari dukungan Nasution waktu itu dengan loyalisnya. Awalnya Nasution setuju saja dengan diangkatnya Oerip. Tapi kemudian karena mayoritas suara pro Sudirman, Nasution ikut suara terbanyak. Kalau ada clash, saya juga yakin Nasution dan loyalisnya merapat ke kubu Oerip karena faktor 'didikan Eropa' (sama-sama ex-KNIL tadi," Sarif.

Kebesaran hati Jenderal Urip

Konferensi TKR tetap rumit dan alot meski telah ada keputusan final. Ada kendala lain untuk sepakati. Kali ini adalah pemerintah pusat, seperti Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Syahrir meragukan kapasitas Sudirman menjadi Panglima Besar TKR. Hal ini akibat Sudirman kala itu baru dua tahun menjadi tentara. Padahal kondisi Indonesia saat itu dalam keadaan perang menghadapi sekutu. Akibatnya dibutuhkan waktu lebih dari satu bulan untuk melantik Sudirman.

Alasan keraguan pemerintah pusat pun beragam. Wakil Presiden Mohammad Hatta menaruh harapan agar Letnan Jenderal Urip Sumohardjo menduduki posisi Panglima TKR karena dinilai lebih berpengalaman dan memiliki pendidikan militer yang tinggi saat menjadi tentara Belanda. Sementara Sutan Syahrir berpandangan pengangkatan menteri tidak dapat dilakukan melalui Konferensi TKR karena hal tersebut merupakan wewenang pemerintah pusat. Apalagi, Sutan Syahrir sudah memiliki calon Menteri Keamanan Rakyat lain, yakni Amir Syafruddin.

Sementara, Bung Karno sempat memanggil Letnan Jenderal Urip Sumohardjo terkait hasil keputusan Konferensi TKR. Dirinya sama sekali tidak mempermasalahkan kekalahan tipis satu suara dalam pemilihan itu. Beliau juga bahkan meyakinkan Bung Karno walau baru sebentar menjadi tentara, Sudirman memiliki kualitas baik sebagai prajurit maupun sebagai pemimpin.

Terkait sikap Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, Safir Idris mengatakan, "Andai Oerip bukan ex-KNIL, dia yang menang (dalam Konferensi TKR). Oerip bukan tipe orang yang ambisius, kalau dia mau, bisa clash antara pendukung. Yang pro dia kan banyak juga."

Lamanya tenggat waktu sejak Konferensi TKR 12 November 1945, barulah pada 18 Desember 1945 Presiden Sukarno melantik Kolonel Sudirman sebagai Panglima Besar TKR di Yogyakarta. Tentu saja proses ini dapat terlaksana setelah Bung Karno berhasil meyakinkan Bung Hatta dan Bung Syahrir untuk menerima hasil Konferensi TKR yang menetapkan Sudirman sebagai Panglima TKR. Kecuali untuk posisi Menteri Keamanan Rakyat, tidak disepakati menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, jabatan itu dipercayai kepada Amir Sjarifuddin. Barulah kelak pada 15 Juli 1948 Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjabat sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Hatta. Sedangkan Letnan Jenderal Urip Sumohardjo tetap mengisi jabatan sebagai Staf Umum TKR.