JAKARTA - Pada masanya, Jenderal Abdul Haris Nasution adalah salah satu tokoh militer yang punya posisi penting di republik ini. Di Indonesia, cuma ada tiga orang yang punya pangkat Jenderal Besar. Dan AH Nasution salah satunya. Jalan panjang kehidupannya sampai mendapat gelar itu dilalui dengan banyak pertentangan.
Umumnya, AH Nasution dikenal sebagai salah satu jenderal yang berhasil lolos dari Peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Tapi untuk mengenal lebih jauh siapa sosok Nasution, kita bisa melihat rekam jejak karirnya baik dari sisi militer maupun politik. Nasution turut berperan dalam melahirkan Dwifungsi ABRI, membantu Soeharto menjadi presiden hingga 'dikebiri' oleh Soeharto.
Sebelum terjun ke dunia militer, pria yang lahir kemarin 3 Desember satu abad lalu (1918) di Mandailing Natal, Sumatera Utara ini sempat menjadi seorang guru di Palembang pada 1939. Profesi itu tak lepas dari kehendak ayahnya H. Abdul Halim Nasution yang mau anaknya jadi guru agama.
Nasution mengenyam pendidikan dasar di Bukit Tinggi dan melanjutkannya di Bandung, Jawa Barat. Tak lama setelah menjadi guru, ia kemudian tertarik banting setir untuk mendalami militer. Kemudian Pak Nas (sapaan akrabnya) menempuh sekolah militer Belanda, Koninklijke Militaire Academie (KMA), di Bandung, melalui program Corps Opleiding tot Reserve Officieren (CORO).
Pada November 1940 lah karir Nasution di militer dimulai. Ia bergabung menjadi tentara bentukan Belanda Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Kemudian ia diangkat sebagai Vaandrig (Pembantu Letnan) pada kesatuan Infanteri KNIL pada 1941. Setahun kemudian, Nasution merasakan pengalaman perang pertamanya saat melawan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, karir Nasution makin moncer di Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Tak butuh waktu lama bagi Nasution untuk dipercaya sebagai Komandan Wilayah Divisi Siliwangi Jawa Barat.
Nasution dikenal dekat dengan dua jenderal yakni Sudirman dan Urip Sumohardjo. Kedekatan itu bisa dibilang menjadi jalan Nasution untuk mencapai puncak karirnya di militer. Terbukti pasca Jenderal Urip wafat, Jenderal Sudirman menunjuk junior dari Jenderal Urip, yakni Nasution untuk mendampinginya sebagai Wakil Panglima TKR. Posisinya sebagai wakil Jenderal Sudirman membuat pengaruhnya di militer semakin kuat. Pada saat itulah pertentangan-pertentangan dimulai.
KNIL VS PETA
Pertentangan pertama muncul pada medio 1948. Saat itu pemerintah hendak melakukan efisiensi dalam tubuh angkatan bersenjata. Oleh karena itu di bawah Bung Hatta diterapkan kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-ra) di tubuh tentara.
Sebagai wakil Panglima, Nasution dominan dalam melaksanakan program Re-ra. Seperti diketahui, dalam tubuh tentara ada dua "almamater" yakni alumni KNIL dan alumni PETA. Nasution yang merupakan alumni KNIL dianggap tidak proporsional oleh para alumni PETA ketika membagi jabatan. Protes paling keras datang dari alumni PETA, Kolonel Sutarto, Komandan Pasukan Divisi Senopati. Namun Divisi Siliwangi (yang pernah dipimpin Nasution) melawan.
Gesekan antara Divisi Senopati dan Divisi Siliwangi tak terhindarkan. Pada 2 Juli 1948, Kolonel Sutarto yang kerap bersitegang dengan keputusan Nasution, tewas terbunuh, prajuritnya di Divisi Senopati menuduh Divisi Siliwangi sebagai dalang pembunuhan. Namun tuduhan itu terbantah ketika Komandan Divisi Solo, Mayor Ahmadi melakukan investigasi. Ia menemukan bukti jika Kolonel Sutarto dibunuh oleh kalangan PKI, bukan dari militer.
Menentang Sukarno dengan Tank Baja
Memasuki tahun 1950 pertentangan antara KNIL dan PETA dalam tubuh tentara belum padam. Tahun itu, Jenderal Sudirman wafat dan jabatan panglima ditiadakan. Lalu Mayjen TB Simatupang diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), sementara Jenderal Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Mulanya duet antara Simatupang dan Nasution berjalan mulus. Namun ketika mereka berusaha mereorganisasi TKR yang sudah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), gesekan kembali muncul. Nasution dan Simatupang yang sama-sama alumni tentara KNIL dituding membersihkan TNI dari mantan tentara PETA.
Akibatnya Kepala Staf Umum TNI perwira alumni PETA, Kolonel Bambang Supeno menolak. Ia disebut menghadap langsung ke Presiden Sukarno dan DPR untuk menyampaikan protesnya.
Nasution dan Simatupang tak senang dengan manuver Bambang Supeno. Menurut mereka hal itu melawan hierarki militer. Nasution melawan manuver Supeno dengan memecatnya. Tak puas, Nasution juga menuntut pembubaran DPR dengan manyampaikannya secara langsung kepada Presiden Sukarno pada 17 Oktober 1952.
Namun protes yang dilakukan Nasution bisa dibilang kelewat batas. Dalam rangka menyampaikan protesnya, ia datang membawa tank, meriam dan prajurit ke depan istana. Nasution sendiri menamai gerakan ini dengan "Setengah Kudeta."
“Ini tidak ditujukan kepada Bung Karno pribadi, melainkan untuk menentang sistem pemerintahan. Bung Karno harus segara membubarkan Parlemen,” kata Nasution seperti ditulis Cindy Adam dalam Biografi Sukarno Penyambung Lidah Rakyat (2000).
Mendengar pernyataan itu, Sukarno geram "Mataku memerah karena marah. Engkau benar dalam dalam tuntutannmu, tetapi salah di dalam caranya."
Kemudian Nasution menjawab, “Bila ada kekacauan di negara kita, setiap orang berpaling kepada tentara, tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tetapi si prajurit yang harus mati. Wajar bila kami turut berbicara.”
Suasana di Istana memanas, Sukarno lalu membentak Nasution “Mengemukakan apa yang terasa di hatimu kepada Bung Karno, ya. tetapi mengancam Bapak Republik Indonesia, TIDAK! JANGAN SEKAL-KALI!”.
Tak lama selepas itu, Nasution diperiksa oleh Kejaksaan Agung, ia menyatakan diri bertanggung jawab sepenuhnya atau peristiwa itu dan mundur dari jabatannya sebagai KSAD, tapi versi Bung Karno, Nasution diberhentikan.
Pada tahun 1955 politik di Indonesia lagi angot-angotnya. Untuk menimalisir perpecahan di Angkatan Darat, akhirnya, Kabinet Burhanuddin Harahap menunjuk kembali AH Nasution sebagai KSAD. Saat ia masuk, pangkatnya juga naik menjadi Mayor Jenderal.
Pulihnya kepercayaan Sukarno kepada Nasution, menguatkan posisinya khususnya tentara pada kekuasaan. Pada 1958 misalnya, Nasution mencetuskan jalan tengah soal pembagian peran politik dan ekonomi. Konsep yang ia suarakan pada peringatan ulang tahun Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah pada 13 November 1958 tersebut adalah cikal bakal lahirnya konsep "Dwifungsi ABRI."
Hasilnya, tentara tak hanya menjadi menteri, tapi juga gubernur, anggota DPR, bahkan menjadi pejabat perusahaan-perusahaan negara. Sementara Nasution sebagai penyokong utama, diposisikan Menteri Pertahanan Keamanan merangkap sebagai KSAD. Sebelumnya, Menteri Pertahanan selalu diisi oleh politisi sipil, pasca Dekrit 5 Juli 1959, tidak ada lagi politisi sipil yang bersentuhan langsung dengan militer, kecuali langsung kepada Presiden Sukarno.
Mengangkat Suharto lalu dijatuhkan
Pasca keluarnya Dekrit Presiden, bandul politik Sukarno lebih condong ke kiri. Hal itu dapat dilihat dalam doktrin Nasionalis, Agamis, Komunis yang digaungkan Sukarno. Kekuatan politik Islam yang waktu itu diwakili Masyumi yang tak setuju dengan Nasakom, tersingkir. Sisa kekuatan besar tersisa dua poros, akibatnya TNI dan PKI menjadi rival yang kasat mata. Namun, militer adalah kekuatan politik yang mempunyai senjata, tak heran, militer lebih diwaspadai.
Seiring menguatnya PKI, pada 1962 Sukarno menggabungkan semua angkatan militer dan kepolisian dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pada saat itu peran Nasution mulai melemah. Ia diangkat menjadi menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) sementara komando AD diberikan kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai Panglima AD. Sementara kendali tentara sepenuhnya berada di bawah kendali Sukarno.
Namun nafas politik Nasakom tak panjang. Klimaksnya ketika meletusnya G30S, yang menjadi sebab utama kejatuhan Sukarno.
Sementara itu, di ujung masa pemerintahan Orde Lama, Nasution menjadi Ketua Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), ia pula menolak pidato pertanggungjawaban Sukarno (Nawaksara) seluruhnya dan mencabut mandat Sukarno sebagai Presiden. Nasution juga yang mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI pada 12 Maret 1967 dan Presiden definitif pada 27 Maret 1968.
Tapi setelah karpet merah kekuasaan digelar oleh Nasution, setahun kemudian, Nasution sudah tak lagi menjadi Ketua MPR, secara de jure, karir militer dan politik Nasution sebenarnya sudah habis. Soeharto malah menganggap Nasution sebagai rival. Ia dibatasi dan tak tampil lagi di Sekolah Staf Angkatan Darat (Seskoad) dan Akademi Militer. Tahun 1971, Nasution dipensiunkan dari dunia militer sewaktu masih berumur 53 tahun dari jadwal resmi yaitu 55 tahun.
Memasuki 1990-an hubungan Soeharto dan Nasution mulai membaik. Pada tahun itu terjadi apa yang disebut banyak orang sebagai rekonsiliasi nasional antara keduanya serta tokoh lain. Pada Juni 1993, saat Nasution sakit, elit militer terlihat mengunjunginya. Melalui utusannya, Mentri Riset dan Teknologi, B.J. Habibie, Nasution diundang ke IPTN dan PT PAL. Tentu saja, itu semua tak mungkin dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan Soeharto.
Berikutnya, Juli 1993, Soeharto mengundangnya ke Istana Negara dan berlanjut pada undangan pasca perayaan Hari Proklamasi RI pada 18 Agustus 1993. Empat tahun sesudahnya, tepat pada hari ulang tahun TNI, 5 Oktober 1997, Nasution disematkan pangkat Jenderal Besar oleh TNI. Perjalanan Nasution lantas tiba di penghujung. Tiga tahun setelah penyematan sebagai Jenderal Besar, di awal-awal tahun millenium, Nasution wafat 5 September 2000.