JAKARTA - Militer Myanmar yang berkuasa pada Hari Kamis membela rencana eksekusi dua tokoh demokrasi terkemuka, sebagai sah dan diperlukan, menentang kritik internasional karena melanjutkan hukuman mati setelah jeda tiga dekade.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Prancis, Amerika Serikat (AS) dan kelompok hak asasi manusia internasional telah mendesak junta untuk tidak menindaklanjuti eksekusi aktivis Kyaw Min Yu dan mantan anggota parlemen Phyo Zeya Thaw, yang kalah banding atas tuduhan terorisme.
Mereka dinyatakan bersalah menyediakan senjata dan membantu mengatur serangan oleh kelompok perlawanan terhadap target negara. Tidak jelas kapan mereka akan dieksekusi, atau bagaimana mereka memohon dalam persidangan mereka, yang sebagian besar dilakukan Myanmar secara tertutup.
Terkait hal ini, juru bicara rezim militer Myanmar Zaw Min Tun mengatakan, ada banyak negara yang menggunakan hukuman mati.
"Setidaknya 50 warga sipil tak berdosa, tidak termasuk pasukan keamanan, tewas karena mereka. Bagaimana Anda bisa mengatakan ini bukan keadilan?," kata Zaw Min Tun dalam konferensi pers yang disiarkan televisi, melansir Reuters 16 Juni.
"Tindakan yang diperlukan diperlukan untuk dilakukan pada saat-saat yang diperlukan," tegasnya.
BACA JUGA:
Rezim militer telah menentang kemarahan asing atas eksekusi tersebut, yang menurut para ahli PBB pekan lalu diputuskan tanpa proses hukum.
"Hukuman mati ini, yang dijatuhkan oleh pengadilan tidak sah dari junta yang tidak sah, adalah upaya keji untuk menanamkan ketakutan di antara rakyat Myanmar," sebut para ahli.
Diketahui, Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta awal tahun lalu, mengakhiri satu dekade demokrasi tentatif yang diperkenalkan setelah lima dekade pemerintahan tentara.
Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus menyatukan situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.