Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 211 tahun yang lalu, 4 Agustus 1811, Inggris menyerbu pemerintah kolonial Hindia Belanda. Penyerangan itu dilakukan dengan kekuatan penuh. Inggris membawa 60 kapal perang dengan 12 ribu pasukan.

Semuanya bermuara dari ambisi Thomas Stamford Raffles (kemudian jadi: Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda) ingin menguasai Nusantara. Raffles memahami kekuatan Hindia Belanda semenjak ditinggal Daendels melemah. Ia pun tanpa ampun menaklukkan lawannya.

Boleh jadi kekuasaan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels sebentar. Namun, dampaknya cukup besar. Ia merestorasi tubuh pemerintahan kolonial. Empunya kuasa yang tadinya penuh pejabat korup, mulai dibenahinya. Barang siapa yang kedapatan korupsi, hukuman pun menanti. Bahkan, sampai dihukum mati.

Lukisan potret Sir Thomas Stanford Raffles karya George Francis Joseph. (Wikimedia Commons)

Karenanya, Daendels menjadi salah satu pelopor yang berani menghukum mati koruptor di Nusantara. Baginya, tiada ampun bagi cecunguk yang merugikan pemerintah kolonial. Alias pejabat korup hanya jadi benalu dari roda pemerintahan.

Kecakapannya dalam memimpin berimbas kepada raja-raja Jawa dan pejabat bumiputra. Daendels menegaskan tiada yang membedakan mereka dengan raja Jawa. Posisinya setara. Segala macam seremoni berlebihan yang dilakukan untuk menyabut raja dipangkas. Duduk pun harus sejajar. Tak pelak kemarahan pun datang.

Lengkap sudah. Daendels dibenci pejabat korup dan Raja Jawa. Akan tetapi, nyala api semangat Daendels memimpin pun harus padam. Kaisar Napoleon Bonaparte membutuhkan jasanya untuk memimpin peperangan. Daendels dipanggil pulang ke Prancis pada 29 Juni 1811.

Peta Jawa dalam buku mahakarya Sir Thomas Stanford Raffles, The History of Java. (Wikimedia Commons)

“Penarikan Daendels ke Negeri Belanda disertai pengangkatannya sebagai seorang panglima. Di sana dia diberi instruksi untuk memimpin kesatuan Wurtemberg dan terlibat dalam penyerbuan ke Rusia tanggal 22 Juni 1812. Setelah Napoleon kalah di Waterloo dan Belanda merdeka kembali, Daendels menawarkan dirinya kepada King Willem I, namun kurang mendapat respons,” ungkap Joko Darmawan dalam buku Sejarah Nasional: Ketika Nusantara Berbicara (2017).

Kepergian Daendels langsung dimanfaatkan Inggris untuk menyerbu Batavia pada 4 Agustus 1811. Inggris dapat ke Batavia dengan kekuatan penuh: 60 kapal perang dengan 12 ribu pasukan. Penyerbuan itu tak lain atas inisiasi dari Raffles.

Benteng Marlborough di Bengkulu, salah satu sisa penjajahan Inggris di Indonesia. (Antara)

Di mata Raffles, Nusantara adalah negeri surga. Kekayaan alamnya tiada dua, demikian pula budayanya. Nusantara dianggapnya sebagai pusat peradaban tinggi zaman dulu kala. Oleh karenanya, sayang jika tak segera dikuasai.

“Diperlukan waktu hampir 24 empat jam untuk menyelesaikan pendaratan 12 ribu orang dari kapal di Cilincing. Angkatan perang Inggris terdiri atas resimen Eropa dan India yang hampir sama besarnya.”

“Diduga bahwa orang India akan mengatasi iklim Jawa dengan lebih baik daripada orang Eropa, namun segera terlihat bahwa tak ada seorang pun yang kebal terhadap racun rawa dan teriknya matahari. Belum terjadi pertempuran, namun udara busuk sudah membantai barisan pertama infanteri pada akhr hari pertama, dan bakal segera memakan korban pertama,” tegas Tim Hannigan dalam buku Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa (2015).

Penyerbuan Inggris terhadap Belanda di Batavia menjadi bagian sejarah hari ini, 4 Agustus 1811 di Indonesia.