Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini 214 tahun yang lalu, 28 Juli 1808, Gubenur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels mengeluarkan sebuah maklumat. Daendels meninta perwakilan Belanda di daerah tak lagi memperlakukan penguasa Jawa (raja) dengan istimewa. Dia melakukan reformasi birokrasi demi memerangi korupsi.

Upacara penyambutan dan hadiah-hadiah yang acap kali besar, mulai diberikan sewajarnya. Pun posisi duduk antara Residen dan Raja Jawa harus sejajar. Maklumat itu membuat penguasa Jawa terhina. Mereka seakan dipaksa setara dengan Belanda.

Korupsi adalah masalah yang kerap mengiringi kiprah penjajahan Belanda di Nusantara. Korupsi pula yang mampu meruntuhkan dominasi maskapai perdagangan Belanda, VOC. Era baru pemerintah kolonial Belanda pun dimulai.

Potret Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. (Wikimedia Commons)

Empunya kekuasaan mencoba mengutus seorang Gubenur Jenderal yang berintegritas. Herman Willem Daendels, namanya. Ia diutus ke Hindia Belanda (Kini: Indonesia) dengan dua tujuan. Pertama, menyelamatkan Jawa dari serangan Inggris. Kedua, membenahi sistem administrasi di Jawa.

Ia pun menggebrak sejak awal mula kuasanya. Sisa kekuasaan VOC kemudian diubahnya menjadi sebuah negara modern bernama Hindia Belanda. Ia mengenalkan batas-batas daerah hingga penegakan korupsi. Khusus perihal korupsi, ia tak pernah main-main.

Barang siapa yang mencoba melanggengkan korupsi atau sejenisnya, hukuman berat menanti. Bahkan, sampai hukuman mati. Karenanya, ia digadang-gadang sebagai gubernur jenderal yang pertama menerapkan hukuman mati kepada koruptor di Nusantara.

“Penerus ini adalah Herman Willem Daendels. Seorang Bonaparte telah naik takhta di Belanda, dan sejak itu pertimbangan militer menduduki tempat pertama dalam rencana kolonial Den Haag. Daendels tidak pernah tinggal di Timur, tapi tampaknya dia jenis orang yang cocok untuk membersihkan Batavia yang busuk dan kotor, orang baru yang berdiri di luar klik dan gang, yang tahu apa yang ia inginkan dan bertangan besi.”

“Dari seorang orator revolusioner, pada hari-hari ‘patriot,’ Daendels tumbuh menjadi perwira diktator model Napoleon. Dia masih bicara dalam ungkapan-ungkapan matang bahasa revolusioner, tapi baginya semua itu sudah jadi slogan tanpa makna,” ungkap Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (1965).

Foto tahun 1929 yang menunjukkan Residen Banyumas, Jawa Tengah, JJ vs Helsdingen bersama jajaran pegawai Pemerintah Hindia Belanda. (Tropenmuseum)

Reformasi birokrasi yang dilakukan Daendels efektif. Angka penyelewengan pejabat kolonial berkurang. Pun reformasi itu berimbas pula kepada penguasa Jawa. Kepala residen yang biasanya jadi perwakilan Belanda di daerah diminta untuk tak lagi menghormati penguasa Jawa secara berlebihan.

Ia pun mengeluarkan maklumat khusus untuk itu. Daendels mengimbau mereka tak memberikan lagi hadiah-hadiah yang mahal. Kalaupun ingin memberikan hadiah, maka sewajarnya. Itupun harus seorang pesuruh yang memberikannya. Bukan memberikan langsung.

Semuanya dilakukan Daendels supaya pemerintah kolonial setara, bahkan terlihat lebih besar dibanding penguasa lokal. Karenanya, penguasa Jawa berang bukan main.    

“Dalam peraturan itu ditetapkan bahwa Residen dilarang mempersembahkan sendiri minuman atau sirih melainkan menyuruh salah seorang pesuruh untuk mempersembahkannya (kepada raja). Jika Residen atau Minister hendak mengunjungi Keraton, ia harus datang dengan kereta dan dengan disertai 12 orang penunggang kuda. Tempat duduk Residen harus sejajar dengan tempat duduk raja. Jika Residen sampai dekat raja, maka raja harus berdiri menyambutnya.”

“Ketentuan dan peraturan baru Daendels tersebut membuat hati Sultan menjadi geram dan marah. Sultan menganggap bahwa Daendels dengan peraturan barunya itu sangat menghinakan dan merendahkan martabat dan kewibawaan raja. la dengan tegas menolak peraturan baru tersebut. Dengan demikian maka timbul perselisihan antara Sultan Yogyakarta yang pada waktu itu Sultan Hamengku Buwono II,” tertulis dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta (1977).