JAKARTA – Sejarah hari ini, 116 tahun yang lalu, 9 Februari 1807, Raja Belanda, Louis Napoleon (Lodewijk Napoleon) mengintruksikan Marsekal Herman Willem Daendels untuk bersih-bersih birokrasi di Hindia Belanda (kini: Indonesia). Adik Napoleon Bonaparte itu ingin pejabat korup peninggalan maskapai dagang Belanda, VOC hilang dari Nusantara.
Sebelumnya, pejabat VOC gemar melakukan korupsi. Dari pejabat tinggi hingga kelas serdadu. Agenda korupsi itu berlangsung dalam waktu yang lama. Petaka muncul. Ajian korupsi membuat VOC bangkrut dan bubar.
Gaya hidup pejabat Kompeni mewah bukan main. Saban hari mereka berpesta, memelihara banyak budak, dan menghamburkan uang untuk membeli kemewahan. Eksistensi itu terus ditonjolkan seiring tumbuh kembang VOC.
Masalah muncul. Gaya hidup mewah pejabat Kompeni tak hanya ditopang dengan gaji semata. Sebab, gaji seorang pejabat VOC sekedar saja – jika tidak mau dikatakan kecil. Kekayaan itu hanya bermuara pada satu hal: korupsi.
Praktek curang pejabat Kompeni dilanggengkan secara ramai-ramai. Dari pejabat tinggi hingga menular kepada pegawai rendahan. Pun Ajian korupsi yang dilakukan bermacam-macam. Mereka mampu menipulasi timbangan, jual-beli kedudukan, hingga monopoli perdagangan.
Pejabat VOC pun untung bejibun. Sedang VOC sendiri harus merana menutup biaya besar dari perdagangan rempah yang dilakoni. Tiada yang mampu mengubahnya. Sebab, nyali petinggi yang korup hanya memikirkan uang semata. Praktek itu kemudian membuat Kompeni menelan pil pahit: bangkrut dan bubar.
“VOC seperti semua organisasi politik/ekonomi zaman itu, hanya memberikan gaji nominal, sekadar uang pengikat. Seorang Gubernur Pantai Utara Jawa, misalnya, hanya digaji 80 gulden sebulan – dan meminta gaji tersebut diberikan saja kepada keluarganya di Holland (Belanda). Karena itu para pejabat VOC, yang seharusnya berdagang demi kepentingan majikannya, justru berusaha demi keuntungan sendiri.”
“Dalam ketentuan pejabat VOC memang dapat berusaha sendiri –setelah berdagang untuk VOC—dan itu disebut marshandel (perdagangan sisa). Namun, kapal-kapal VOC yang berangkat dari Jawa memuat demikian banyak barang perdagangan sisa milik pribadi pejabat VOC, dan hanya sedikit barang resmi,” ungkap sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).
Kompeni yang bangkrut membuat Belanda dalam kondisi terpuruk. Kondisi itu diperparah pula oleh keberhasilan Prancis menaklukkan Belanda. Kuasa Prancis atas Belanda membuat Napoleon Bonaparte menunjuk adiknya, Louis Napoleon sebagai penguasa baru Negeri Kincir Angin.
Kekuasaan itu membuat Prancis ikut berperan penting dalam mengembangkan wilayah koloni. Louis tak ingin wilayah jajahannya masih seperti zaman VOC dengan pegawai yang korup. Ia pun segera menginstruksikan Daendels untuk menjadi pemimpin baru (Gubernur Jenderal Hindia Belanda).
Louis Napoleon pun menuliskan instruksi penting kepada Deandels pada 9 Februari 1807. Ia ingin Daendels –setibanya di Nusantara-- segera mengubah birokrasi di Hindia Belanda. Segala macam praktek korupsi diinstruksikan untuk dibabat habis dan Daendels melaksanakannya dengan baik dari awal pemerintahan pada awal tahun 1808.
“Daendels mengemban tugas yang diberikan Raja Louis dari Hollandia (bertakhta 1806-1810) dengan kekuasaan yang besar untuk melakukan reformasi terhadap pemerintahan yang korup warisan VOC (9 Februari 1807). Ia juga diberi pangkat militer tertinggi sebagai Maarschalk van Holland (Marsekal Holandia) untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.”
“Selama masa jabatannya selama 41 bulan sebagai wakil raja penjajah, Daendels meninggalkan nama yang abadi. Dia tidak bermaksud melakukan reformasi sepele terhadap beberapa adat-istiadat kuno, atau sekadar mengutak-atik hal-hal kecil untuk membawa Perserikatan Dagang Hindia Belanda (VOC) ke era modern. Ia melakukan perubahan dari akar batangnya. Pemerintahannya mengubah dunia politik dan sosial di Jawa,” ungkap sejarawan Peter Carey dan Farish A. Noor dalam buku Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda 1808-1830 (2022).