Bagikan:

JAKARTA - Dulu kala, Jakarta adalah hutan belantara. Bahkan ketika Kongsi Dagang belanda VOC menaklukkan Jayakarta dan membangun Kota Batavia pada 1619. Sepinya Batavia kemudian membawa orang Belanda ke dalam ketakukan. Mereka takut kotanya tiba-tiba diserang prajurit-prajurit gerilya, bandit, dan rampok. Atau yang lebih menakutkan orang-orang Belanda, yaitu serangan binatang buas yang begitu banyak berkeliaran di setiap sudut Batavia.

Di awal penjajahan Belanda di Batavia, bersantai ria adalah yang jarang dilakukan warga. Alasannya, barang siapa yang berani melangkah keluar Nieuwe Poort (Gerbang Baru), lalu melintasi kawasan hutan belukar, mereka harus bertaruh nyawa. Binatang buas, seperti banteng, harimau, badak, babi, dan buaya masih banyak berkeliaran.

Sejarawan asal Belanda, Hendrik E. Neimejer menyebut harimau sebagai binatang buas yang sering mangkal di dekat tembok Kota Batavia. Menurutnya, dalam kurun waktu 50 tahun pertama Belanda di koloni, perihal binatang buas yang berkeliaran jadi ancaman serius bagi orang Belanda. Karenanya, empunya kuasa menawarkan hadiah kepada siapa yang mampu menangkap dan membunuh “kucing besar”.

“Catatan harian Kasteel Batavia menuturkan bahwa pada 1640-an sekali sebulan pasti ada mayat harimau yang dipertontonkan di lapangan Kasteel. Karena ancaman harimau masih belum juga reda, Kepala Dewan Peradilan, Joan Maetsuycker memutuskan pada 1644 untuk memimpin sendiri perburuan besar-besaran dan untuk itu dikerahkan 800 orang terdiri dari 20 penunggang kuda, 100 serdadu, 50 budak dan selebihnya adalah warga Belanda dan penduduk asli, warga China, orang-orang Banda dan jawa,” tuturnya Hendrik dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Harimau di Kebun Binatang Tjikini (Sumber: Perpusnas)

Namun, upaya itu tak efektif. Rombongan yang dikerahkan untuk menyisir kawasan ommelanden (luar kota) selama dua hari tak menemukan seekor pun harimau. Alhasil, mereka kemudian pulang ke dalam kota dengan rasa kesal. Setelahnya, ancaman binatang buas makin banyak dijumpai. Apalagi, bagi orang Belanda yang hendak pergi ke luar kota ataupun menaiki perahu.

“Mereka harus waspada terhadap puluhan buaya dan ular yang terdapat di Sungai CIliwung dan anak-anak sungainya, sehingga seringkali membuat para pesiar tergopoh-gopoh mendayung perahu kembali ke dalam tembok kota. Sebulan sekali hewan-hewan buas ini pun juga ditangkap dan dipertontonkan di lapangan Kasteel Batavia dan diseret hingga di depan rumah Gubernur Jenderal,” tambah Hendrik.

Ancaman binatang buas bagai tak pernah usai. Dikutip  Denys Lombard, dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid I (1996), dikisahkan bagaimana harimau masih sering berkeliaran di jalan-jalan Batavia. Beberapa di antara warga yang jadi korban harimau adalah 14 orang penebang kayu di Ancol pada 1659.

Lukisan yang dibuat pendeta Valentijn, kata Lombard dapat menjadi bukti bagaimana keberadaan hewan buas menjadi ancaman. Dalam lukisan itu Valentijn tampak sedang menembak seekor binatang buas di lapangan kasteel pada tahun 1694. Aneka binatang buas yang membuat warga Batavia bergidik ketakutan kemudian diabadikan menjadi nama sejumlah parit, seperti Parit Harimau (Tigersgracht), Parit Buaya (Kaaimansgracht), serta Parit Badak (RInocerosgracht).

Pun hal yang sama berlaku untuk kawasan-kawasan di kota berjuluk Ratu dari Timur. Banyak di antara kawasan yang dinamai sesuai dengan populasi binatang buas yang berkembang di wilayahnya masing-masing. Sebut saja, Rawa Buaya, Rawa Badak, Jaga Monyet, Gang Kancil, hingga Pasar Ular.

Pembantaian hewan

Perburuan harimau di masa lampau (Sumber: Commons Wikimedia)

Pada akhirnya, pemerintah kolonial Belanda semakin kewalahan dengan banyaknya binatang buas yang mengacam penduduk Batavia. Upaya mereka melakukan perburuan besar-besaran sungguh tak efektif. Alhasil, pada tahun 1762, kompeni menawarkan hadiah uang 10 real kepada para pemburu yang berhasil membunuh 27 harimau dan macan kumbang.

Bahkan pemerintah disebut-sebut memberlakukan hal yang sama untuk perburuan buaya di Batavia. Dampaknya, banyak orang-orang di Batavia termasuk kaum bumiputra yang semangat memburu buaya. Setiap hari orang-orang terlihat menenteng buaya masuk ke dalam Batavia untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Suatu hari, kompeni curiga karena mereka melihat masih banyak buaya di alam liar, padahal rasanya begitu banyak buaya yang ditangkap warga. Mereka lalu melakukan investigasi atas hal itu. Akar masalahnya pun ketahuan.

“Di kemudian hari baru ketahuan bahwa mereka bukan menangkap buaya, melainkan mengambil telurnya untuk ditetaskan. Setelah dipelihara beberapa bulan, anak buaya ini dibawa kepada schout (polisi) agar mendapat hadiah. Sejak itu, pemberian hadiah dihentikan dan buaya dibiarkan berkembang biak di pantai utara Pulau Jawa, termasuk sungai-sungai besar di Batavia,” ujar Zaenudin HM dalam buku Kisah-kisah Edan Seputar DJakarta Tempo Doeloe (2016).

Surat kabar Java Bode, dalam laporan tahun 1884 mengungkap daerah Batavia yang masih dihuni harimau adalah Tanah Abang, Mangga Besar, Sunter, Tanjong Priok, dan Kemayoran. Saking populernya harimau (macan), salah satu jago Betawi bernama Murtado menjadikan nama Macan Kemayoran sebagai julukannya. Kami pernah membahasnya dalam tulisan “Kisah Murtado, Jagoan Betawi di Balik Julukan Persija Macan Kemayoran”.

Perlahan-lahan, karena hutan-hutan di Batavia terus dibabat, harimau dan hewan-hewan buas lainnya menyingkir ke tempat yang lebih sepi di wilayah Banten lantaran Banten saat itu masih memiliki banyak hutan belantara. Berbeda dengan Batavia yang hutannya makin habis dijadikan lahap pertanian dan perumahan warga Belanda.