Bagikan:

JAKARTA - Sejak dulu, Jakarta selalu paling maju soal transportasi massal. Ratusan tahun silam, sejak Jakarta masih dijajah Belanda, Jakarta sudah memiliki transportasi massal yang khas: trem kuda, yang kala itu jadi primadona di seantero Ibu Kota.

Trem kuda di Batavia dilandasi ide seorang warga Indo-Belanda, Mr. J Babut du Mares. Dijelaskan dalam harian Java Bode terbitan Desember 1860, saat itu Mares melihat keterbatasan transportasi massal di Ibu Kota. Dan trem kuda, adalah solusi di matanya.

Ide mares sampai ke telingga pemerintah kolonial. Tak main-main, mereka, para kompeni dengan keseriusan tinggi merealisasikan rencana pengadaan trem kuda. Perusahaan Dummler & Co. yang juga dikenal dengan Bataviasche Tramweg Maatshappij (BTM) mendapat mandat untuk membangun dan mengoperasikan trem di Batavia.

Dikutip Zeffry Alkatiri dalam Pasar Gambir, Komik Cina & Es Shanghai: Sisi Melik Jakarta 1970-an (2010), selain Mares, seorang Belanda lain bernama Martinus Petrus yang juga pendiri Dummler & Co. ikut andil dalam proyek impian Batavia itu. Lewat perusahaannya, trem kuda mulai dibangun pada 10 Agustus 1867. Petrus meyakini Trem Kuda akan menjelma menjadi menjadi transportasi massal yang efektif, efesien, cepat, dan murah.

Uniknya, material-material untuk pembangunan trem beserta jalurnya tak hanya di produksi di Belanda ataupun Jawa saja. Kompeni turut melibatkan pabrik di Prancis untuk mendatangkan material. Perlahan, trem kuda pun diresmikan di Batavia pada 20 April 1869.

Sementara, kuda-kuda didatangkan dari berbagai daerah di Nusantara, mulai dari Sumba, Tapanuli, Sumbawa, Priangan, hingga Makassar. Kuda-kuda itu digunakan untuk menarik gerbong-gerbong trem di atas rel yang memiliki lebar sepur 1.188 milimeter. Dijelaskan, butuh tiga ekor kuda untuk menarik gerbong kereta berkapasitas 40 penumpang.

Kala itu, trayek dari trem kuda digelar dari Amsterdam Poort (Kota Intan)–Binne Nieuwpoort Straat (Jalan Pintu Besar utara)-Molenvliet (Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk) dan berakhir di Harmoni. Karena tingginya peminat, trayek kemudian dikembangkan --dua bulan setelah diresmikan-- dari Harmoni ke Tanah Abang, Harmoni-Rijswijk (Jalan Veteran)-Kramat, dan berakhir di Meester Cornelis (Jatinegara).

Seketika, trem kuda merebut hati warga Batavia. Saking populernya, warga yang hidup pada zaman itu selalu terngiang-ngiang suara terompet saat trem kuda datang membelah jalanan Batavia. Bagi mereka, bunyi tersebut tak cuma penanda kehadiran trem kuda, tapi juga penanda kemajuan.

“Bila waktu itu kita mendengar suara terompet di tengah-tengah keramaian kota, harap maklum. Suara ini berasal dari kereta kuda. Karena kusir menggunakan terompet sebagai pengganti klakson. Ongkosnya juga tak mahal. Tiap trayek hanya 10 sen agar dapat menjangkau masyarakat luas. Setiap kali ada penumpang yang turun, penjual karcis membunyikan lonceng. Mendengar bunyi lonceng. Kusir akan memutar alat seperti kompas yang berfungsi sebagai rem,” ungkap Alwi Shahab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013).

Bermasalah

Meski begitu digemari, keberadaan trem kuda turut memancing banyak masalah. Yang paling besar adalah masalah kebersihan. Tentu saja. Kuda-kuda bisa buang hajat dan kencing di mana pun mereka mau. Jalanan pun dipenuhi kotoran beserta aromanya yang menyengat.

Selain itu, masalah diperperah dengan banyaknya kematian kuda. Harian Java Bode turut menyoroti hal itu dalam salah satu ulasan tahun 1872. Menurut laporan, sebanyak 545 kuda meninggal.

“Antara lain disebabkan kelelahan. Padahal, ada ketentuan binatang ini hanya diperbolehkan menarik trem tidak lebih satu kali tiap trayek,” ungkap Alwi Shahab, salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta.

Masalah lainnya adalah manajemen keungan yang buruk dan rasisme. Sebagai transportasi umum berbiaya murah, trem kuda bisa dinaiki siapa saja. Di trem kuda, golongan masyarakat Batavia bercampur. Namun, hal itu nyatanya jadi masalah bagi orang Eropa.

Ilustrasi suasana di dalam trem kuda (Sumber: Commons Wikimedia)

Mereka merasa martabatnya direndahkan karena harus satu atap trem dengan kaum bumiputra dan masyarakat dari ras lain. Maklum, hari itu orang-orang Eropa masih merasa merasa sebagai warga nomor satu di Batavia yang harus diprioritaskan dalam segala hal.

Orang-orang Eropa akhirnya berhenti menggunakan trem kuda. Hal itulah yang membuat kompeni menghentikan operasi trem kuda pada 1881.

Trem uap (Sumber: Commons Wikimedia)

Sebagai gantinya, kompeni menghadirkan trem uap pada 1887. Kehadiran trem uap pun jadi akhir cerita dari era trem kuda yang dikenal dengan istilah: zaman kuda gigit besi.

“Tahun 1887 trem kuda dipensiunkan dan diganti dengan trem Uap. Trem uap dari Senen ke Kota, singgah di Tanah Abang. Dalam perjalanan kembali, trem ini selalu mengangkut ikan basah dari Pasar Senin,” tukas Tota M. Tobing dalam tulisan berjudul Pasar Tanah Abang Riwayatmu di buku "Ketoprak Jakarta" (2001).