JAKARTA - Media sosial Twitter diramaikan dengan perbincangan soal temuan jalur trem peninggalan masa penjajahan Belanda. Konstruksi rel itu ditemukan di bawah beton jalan kawasan Glodok, Jakarta Pusat. Proyek MRT, secara tak sengaja menemukan sejumlah artefak bersejarah.
Jalur trem ini ditemukan pada Agustus lalu, ketika PT MRT Jakarta melakukan kegiatan tes tanah untuk pembangunan MRT fase 2, rute Bundaran HI-Kota. Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta Silvia Halim menyebut pihaknya masih menginvestigasi temuan itu bersama para arkeolog.
Dihubungi VOI, Jumat, 24 Desember, Silvia menolak menjelaskan lebih detail proses investigasi ini. Ia meminta kami menunggu hingga Senin, 27 Desember, di mana PT MRT Jakarta akan menjelaskan pada publik soal proses pembangunan MRT fase 2, termasuk temuan jalur trem ini.
Dalam investigasinya, PT MRT Jakarta terus berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan Tim Sidang Pemugaran (TSP). "Senin nanti akan dipaparkan. Salah satunya mengenai ini," kata Silvia.
Temuan harta karun
Sebelumnya, PT MRT Jakarta juga menemukan sejumlah artefak bersejarah di lokasi proyek MRT Jakarta fase 2. Benda-benda bersejarah itu diperkirakan berasal dari abad 18-20 Masehi.
Ragam artefak itu terdiri dari peluru, botol tembikar, fragmen keramik China dan Eropa hingga gigi bovidae, semacam hewan pemamah biak seperti kerbau dan bison.
Seluruhnya ditemukan di 14 titik penggalian di area pembangunan MRT fase 2A, tepatnya mulai dari kawasan bawah tanah Jalan MH Thamrin hingga sebagian Jalan Medan Merdeka Barat.
Kini temuan-temuan itu telah dipajang di visitor center, sebuah ruang galeri yang dibangun pihak MRT Jakarta.
Sejarah trem di Batavia
Pada masa penjajahan Belanda, trem adalah sistem transportasi yang mengoneksikan akses pergerakan manusia di Batavia. Ada tiga jenis trem yang pernah beroperasi: trem kuda, trem uap hingga trem listrik. Semuanya meninggalkan cerita menarik.
Trem kuda
Trem kuda, misalnya. Trem kuda di Batavia dilandasi ide seorang warga Indo-Belanda, Mr. J Babut du Mares. Dijelaskan dalam harian Java Bode terbitan Desember 1860, saat itu Mares melihat keterbatasan transportasi massal di Ibu Kota. Dan trem kuda, adalah solusi di matanya.
Ide mares sampai ke telinga pemerintah kolonial. Tak main-main, mereka, para kompeni dengan keseriusan tinggi merealisasikan rencana pengadaan trem kuda.
Perusahaan Dummler & Co. yang juga dikenal dengan Bataviasche Tramweg Maatshappij (BTM) mendapat mandat untuk membangun dan mengoperasikan trem di Batavia. Dikutip Zeffry Alkatiri dalam Pasar Gambir, Komik Cina & Es Shanghai: Sisi Melik Jakarta 1970-an (2010), selain Mares, seorang Belanda lain bernama Martinus Petrus yang juga pendiri Dummler & Co. ikut andil dalam proyek impian Batavia itu.
Lewat perusahaannya, trem kuda mulai dibangun pada 10 Agustus 1867. Petrus meyakini trem kuda akan menjelma menjadi menjadi transportasi massal yang efektif, efesien, cepat, dan murah.
Kuda-kuda didatangkan dari berbagai daerah di Nusantara, mulai dari Sumba, Tapanuli, Sumbawa, Priangan, hingga Makassar. Kuda-kuda itu digunakan untuk menarik gerbong-gerbong trem di atas rel yang memiliki lebar sepur 1.188 milimeter.
Dijelaskan, butuh tiga ekor kuda untuk menarik gerbong kereta berkapasitas 40 penumpang. Kala itu, trayek dari trem kuda digelar dari Amsterdam Poort (Kota Intan)–Binne Nieuwpoort Straat (Jalan Pintu Besar utara)-Molenvliet (Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk) dan berakhir di Harmoni.
Karena tingginya peminat, trayek kemudian dikembangkan --dua bulan setelah diresmikan-- dari Harmoni ke Tanah Abang, Harmoni-Rijswijk (Jalan Veteran)-Kramat, dan berakhir di Meester Cornelis (Jatinegara). Seketika, trem kuda merebut hati warga Batavia.
Saking populernya, warga yang hidup pada zaman itu selalu terngiang-ngiang suara terompet saat trem kuda datang membelah jalanan Batavia. Bagi mereka, bunyi tersebut tak cuma penanda kehadiran trem kuda, tapi juga penanda kemajuan.
Meski begitu digemari, keberadaan trem kuda turut memancing banyak masalah. Yang paling besar adalah masalah kebersihan.
Kuda-kuda bisa buang hajat dan kencing di mana pun mereka mau. Jalanan pun dipenuhi kotoran beserta aromanya yang menyengat.
Selain itu, masalah diperperah dengan banyaknya kematian kuda. Harian Java Bode turut menyoroti hal itu dalam salah satu ulasan tahun 1872. Menurut laporan, sebanyak 545 kuda mati.
“Antara lain disebabkan kelelahan. Padahal, ada ketentuan binatang ini hanya diperbolehkan menarik trem tidak lebih satu kali tiap trayek,” ungkap Alwi Shahab, salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta.
Trem uap
Setelah trem bertenaga kuda pada 1869, penduduk Batavia mulai mengenal trem bertenaga uap sejak 1882. Seketika, trem uap mendapatkan sambutan hangat di Batavia. Trem uap bahkan dianggap sebagai alat angkutan umum paling modern sekaligus paling mematikan di masanya.
Kehadiran trem uap dianggap sebagai penerus eksistensi trem kuda yang memiliki banyak masalah. Pemerintah Belanda dan firma Dummler & Co. putar otak mengganti trem kuda dengan steam tramway engines atau yang lazim dikenal trem uap.
Penulis H.J.A Dufarc, dalam buku yang banyak membahas sejarah trem di Batavia dan Surabaya, Trams en Tramlijnen, De Elektrische Stadstrams op Java (1972), menjelaskan tahap awal kehadiran trem uap. Saat itu kompeni memanfaatkan jalur trem kuda. Hal itu berlangsung hingga semua fasilitas berangsur-angsur diganti dan rampung pada tahun 1884.
Namun, trem uap yang ada di Batavia tak seperti trem uap di negara lain. Jika biasanya lokomotif trem uap diisi air lalu dipanaskan dengan api batu bara atau api kayu untuk menghasilkan uap, trem uap di Batavia lokomotifnya terdiri atas sebuah ketel yang disebut remise.
Di pangkalannya di Kramat, remise diisi uap yang telah memiliki tekanan tertentu. Berbekal uap kalengan ini, trem cukup kuat bergerak di "lijn" (lintasan) dari Kramat ke Kota (Oud Batavia), lalu ke Meester Cornelis (Jatinegara) dan kembali lagi ke pangkalannya untuk mengisi mengisi bahan bakar dengan uap kalengan tadi.
Tiap trem uap lewat, bunyi khas loncengnya begitu melekat dalam ingatan warga Batavia. Di atas lokomotif tampak masinis bumiputra berdiri dengan petugas yang siap menyalakan api. Biasanya masinis ditemani pula oleh dua orang kondektur bumiputra yang berseragam, tapi tanpa alas kaki. Sementara, kepala kondekturnya adalah orang Eropa yang lazimnya pensiunan tentara.
Walau sempat dielu-elukan oleh warga Batavia, kehadiran trem uap pada akhirnya menghadirkan ragam masalah, terutama di musim hujan. Hal itu tak lain karena inovasi uap kalengan bukanlah penemuan yang sempurna.
Alhasil, ketika hujan turun, trem uap jadi sering mogok karena uap kalengan tersebut telah mendingin. Di musim kemarau pun begitu. Kekuatan dari tenaga uap kadang kala tak memadai untuk menarik gerbong-gerbong melintasi jembatan Kramat --jembatan yang menghubungkan Kramat Bunder dan Kwitang.
Akibatnya, warga Batavia sering kali melihat trem uap tak bisa melalui jembatan. Kendati demikian, masalah trem mogok tak terlalu besar dibanding masalah kecelakaan yang disebabkan kehadiran trem uap. Angka kecelakaan akibat trem uap di Batavia menempati angka paling tinggi. Tak main-main. Trem uap dijuluki sebagai “pembunuh terbesar yang berkeliaran di Kota Betawi.”
“Soalnya, suatu saat pernah ia (trem uap) menelan korban selang empat jam sekali. Orang Betawi senang bergurau lantas memakai inisial NITM untuk berolok-oloknya: Naik Ini Tentu Mati,” ditulis dalam tulisan berjudul Naik Ini Tentu Mati di buku Ketoprak Jakarta (2001).
Trem listrik
Teknologi transportasi massal di Batavia atau Jakarta sudah berkembang pesat sejak akhir abad 19. Setelah trem bertenaga kuda muncul pada 1869, lalu berevolusi menjadi trem bertenaga uap pada 1882, hingga berhasil mengadopsi trem listrik pada April 1899.
Trem listrik bahkan lebih dulu ada di Batavia sebelum di negeri Belanda. Tercatat, negeri Kincir Angin baru mengadopsi moda transportasi publik ini pada Juli 1899, atau lebih tepatnya tiga bulan setelah Batavia. Hal ini lantas menjadi buah bibir seisi kota.
Pembuatannya pun tak tanggung. Selain lijn (lintasannya) yang dibangun hampir di seluruh wilayah penting Batavia, jadwal beroperasinya pun sudah sibuk yakni tiap 10 menit sekali.
Sama seperti trem-trem sebelumnya, kelas penumpang di trem listrik pun dibedakan. Kelas satu dengan harga tiket 15 sen biasanya ditumpangi orang-orang Eropa.
Lalu, kelas dua dengan harga tiket 10 sen, biasanya berisi penumpang dari orang-orang timur asing, seperti China, Arab, dan India. Terakhir, kelas tiga diperuntukkan bagi kaum bumiputra dengan tarif 5 sen. Sekali jalan, trem mampu menarik tiga gerbong.
Seperti dikutip Mona Lohanda dalam bukunya Sejarah Para Pembesar yang Mengatur Batavia (2007), mulanya trem listrik dikelola oleh perusahaan Batavia Elektrische Tram Maastschappij (BETM). Lalu ketika Burgermeester (Walikota) Batavia, Ir. Voorneman menyadari potensi besar perusahaan ini pada 1925, ia menggabungkan perusahaan tersebut dengan Nederlandsch-Indische Tramweg Maatchappij (NITM), hingga lahirlah Bataviasch Verkeers Maatschappij (BVM).
Rute trem listrik ini berkembang sampai enam jalur. Pertama, Pasar Ikan-Kampung Melayu. Kedua, Pasar Ikan-Gondangdia, Ketiga, Pasar Ikan-Gondangdia via Sawah Besar. Keempat, Pasar Ikan-Tanah Abang. Kelima, Tanah Abang-Jakarta Kota. Keenam, Jakarta Kota-Jembatan Lima.
Berkat kesohornya trem listrik, Penulis Belanda, Louis Couperus dalam novelnya yang berjudul De Stille Kracht (1900) sampai memuat perkara eksistensi trem listrik di Batavia. Couperus menyebut orang Eropa yang menggunakan trem listrik kala itu sebagai bentuk kikirnya mereka di negeri koloni Belanda.
“Di pagi hari, ketika ia berbelanja di toko-toko di Rijswijk dan Molenvliet, yang, beberapa diberi nama Prancis, mencoba memberi kesan pusat belanja wilayah selatan sebuah kemewahan Eropa, Eva melihat eksodus ke Kota Lama orang kulit putih. Eksodus itu memadati trem dengan beban putih kematian. Banyak, yang sudah kaya, tetapi belum cukup kaya untuk tujuan-tujuan mereka, naik trem bersama kereta-kereta mereka ke Klub Harmoni, ke mana mereka naik trem untuk menghemat kuda mereka,” cerita Couperus.
Eksistensi trem listrik nyatanya berumur panjang. Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda, jaringan trem listrik masih beroperasi di beberapa jalan utama Jakarta. Antusias masyarakat Indonesia kala itu cukup tinggi akan kendaraan pengangkut umum peninggalan kolonial Belanda pada awal 1950-an.
Sayangnya, pada sekitar tahun 1959 trem listrik dihentikan pengoprasiannya. Usut punya usut, penghentian tersebut tak lain karena persoalan kekurangan dana untuk merawat dan meremajakannya. Oleh sebab itu empunya kebijakan memutuskan untuk menyetop operasi trem listrik. Sampai-sampai, bekas relnya nyaris tak tersisa.
“Bekas relnya sekarang sudah tertutup aspal jalanan, tidak ada bekasnya lagi. Pada waktu penggalian di pinggir jalan di daerah Kota untuk proyek peremajaan Kota Tua oleh Pemerintah DKI Jakarta pada 2006, telah ditemukan beberapa bekas rel trem listrik ini. Tiang-tiang penyangga kabel listriknya pun sudah tidak ada lagi. Sungguh sayang sekali trem listrik ini dihilangkan,” tulis Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada, Diah Ayu Wardani, dan Yudhistira Mahabharata.