Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 85 tahun yang lalu, 24 Juni 1937, Ujung Kulon ditetapkan sebagai suaka margasatwa. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda ingin menjadikan Ujung Kulon di Banten sebagai kawasan penyelamatan satwa dan habitatnya.

Upaya itu dilakukan karena sebelumnya Belanda telah melanggengkan perburuan satwa liar dan buas sejak lama. Di Batavia apalagi. Saban hari pembukaan lahan baru, perburuan dilakukan. Bahkan tak jarang Belanda membuat sayembara perburuan. Satwa pun makin turun jumlahnya.

Banyak cerita muncul dari kekuasaan awal Belanda di Batavia. Dulu kala, kawasan sekitar Batavia masih hutan belantara. Kondisi itu buat orang-orang Belanda di Batavia takut berpergian jauh dari kota. Penyebabnya bukan melulu takut dirampok, tapi karena ancaman dari binatang buas.

Harimau jawa (Panthera tigris sondaica) yang difoto oleh konservasionis asal Belanda, Andries Hoogerwerf di Taman Nasional Ujung Kulon pada 1938. (Wikimedia Commons)

Orang Belanda kala itu takut diterkam binatang buas yang masih berkeliaran secara liar. Dari buaya hingga harimau. Angka kematian karena diterkam binatang buas pun cukup tinggi. Pun maskapai dagang belanda, VOC tak tinggal diam. Mereka membuat sayembara berhadiah bagi siapa saja yang dapat menangkap atau memburu harimau. Aktivitas itu lalu digilai penduduk Batavia.

Sejarawan Belanda, Hendrik E. Niemeijer mengungkap pada 1640-an, sekali sebulan mayat harimau acap kali dipertontonkan di lapangan kasteel. Apa yang dituturkan oleh Hendrik sesuai dengan Catatan Harian Kasteel Batavia. Akan tetapi, ancaman binatang buas tak kunjung reda.

Sebagai solusi, kompeni pun melanggengkan perburuan besar-besaran. Misalnya pada 1644. Kompeni mengerahkan sekitar 800 orang untuk melakukan perburuan. Antara lain terdiri dari 20 penunggang kuda, 100 serdadu, 50 budak dan selebihnya warga Belanda dan kaum bumiputra.

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus), satwa endemik Taman Nasional Ujung Kulon. (Javan Rhino Expedition/David Herman Jaya)

“Setelah 1644 ancaman binatang buas masih juga mengintai mereka yang melangkah ke luar tembok kota atau pun yang menaiki perahu. Mereka harus waspada terhadap puluhan buaya dan ular yang terdapat di sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya sehingga seringkali membuat para pesiar tergopoh-gopoh mendayung perahu kembali ke tembok kota.”

“Sebulan sekali hewan-hewan buas ini pun juga ditangkap dan dipertontonkan di lapangan kasteel dan diseret hingga depan rumah gubernur jenderal. Hewan buas itu tak hanya terdapat di Sungai Ciliwung, Krukut, atau Angke, tetapi bahkan juga di dalam parit-parit serta di luar tembok kota,” ungkap Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Setelahnya, perburuan makin menjadi-jadi. Pembukaan lahan yang masif dari zaman VOC hingga pemerintah kolonial Hindia-Belanda adalah muaranya. Artinya, tiap ada pembukaan lahan, maka perburuan terhadap satwa –dari hewan liar hingga buas-- makin meningkat.

Banteng (Bos javanicus) yang juga hidup di Taman Nasional Ujung Kulon. (Wikimedia Commons)

Aktivitas perburuan otomatis membuat populasi satwa makin menurun. Di Ujung Kulon misalnya. Lokasi tempat hidup badak jawa dan hewan-hewan lain kondisinya tak sedang baik-baik saja.  Ahli botani yang juga pelopor perlindungan alam Nusantara, Sijfert Hendrik Kooders prihatin. Ia pun meminta Belanda untuk menjadikan Ujung Kulon sebagai suaka margasatwa. Belanda pun mengamininya pada 24 Juni 1937.

“Pada 1890, Sijfert Hendrik Kooders melakukan penelitian dan eksplorasi hutan dan satwa di tanah Jawa. salah satunya di Ujung Kulon. Menurut dia, Ujung Kulon masih memiliki ragam flora dan fauna. Dia merekomendasikan agar Ujung Kulon dijadikan kawasan perlindungan alam. Atas rekomendasi itulah pada 1921 gubernur jenderal Hindia-Belanda menetapkan Ujung Kulon sebagai Natuurnomumenten (monument alam).”

“Penyematan status Natuurnomumenten tidak mengurangi perburuan di Ujung Kulon. Kaum konservasionis pun meminta gubernur jenderal untuk mengambil kebijakan pengurangan perburuan ini. Atas desakan itu, pada 24 Juni 1937, penguasa Hindia-Belanda mengubah status Ujung Kulon menjadi suaka margasatwa. Harapannya kawasan ini benar-benar untuk kawasan penyelamatan satwa dan habitatnya,” tutup Pungky Widiaryanto dalam buku Taman Nasional Indonesia: Permata Warisan Bangsa (2021).